Jenni heran ke mana perginya Nial dan Bela sejak mereka kesal karena kedatangannya. Terakhir kali mereka terlihat berjalan ke arah sini. Dan Jenni pergi mengikuti mereka.Namun, bukannya menemukan Nial--karena ia berharap bisa bicara dengan Nial saja--dia malah menemukan jasnya yang tergeletak di atas sandaran sofa.Dan orangnya?Ada di dekat lemari. Sedang menunduk memeluk pinggang seorang perempuan yang ia kunci agar tidak bisa bergerak.Dan jari-jari lentik yang melingkar di belakang leher Nial itu adalah milik Bela, tentu saja. Nial tidak akan sekalap itu jika itu bukan Bela.Jenni memegang pouch-nya erat-erat. Saat ia mengharapkan dengan sepenuh hati Nial masih meletakkan sebagian hati padanya, namun semuanya terasa sia-sia.Dia telah kalah oleh Bela. Kalah dari anak kecil yang membuat Nial bertekuk lutut itu. Anak kecil yang mengendalikan Nial, membawa pergi hatinya sekaligus memilikinya seutuhnya.Bibir Jenni bergetar, mengatup rapat. Dingin dan pucat selagi dua bibir di sana s
***"Apa aku membuat kesalahan lagi? Astaga kepalaku pusing."Hendro memijit keningnya yang terasa sakit. Ia merasa bersalah pada Nial dan juga Bela yang pasti kecewa karena ada Jenni di pesta ulang tahunnya. Pesta yang harusnya hanya diisi oleh orang dekatnya.Ia memang mengundang orang tua Jenni, tapi siapa sangka malah anaknya yang datang.Ia lebih merasa bersalah pada Bela. Nial benar saat mengatakan kalau Jennilah dalang sebenarnya dari peristiwa buruk yang nyaris saja menghancurkan hidup anak menantunya.Dan malam ini perempuan itu malah ia biarkan melenggang bebas di dalam rumahnya. Harusnya ia mengusirnya saja.Hendro terus mengemudi. Memikirkan hal semalam telah membuat tengkuknya terasa berat. Dadanya juga sesak. Cidera akibat jatuh saat di kamar mandi tempo hari kini tiba-tiba terasa sakit.Ia menepikan mobilnya. keinginannya untuk segera sampai di kantor harus ia gagalkan begitu saja karena ia kesakitan.Rasa bersalahnya semakin besar saat ia memikirkan Bela dan Nial. Bela
"Ayah?!"Bela terkejut karena saat ia turun dari taksi online, ada kerumunan di sebelah barat kampusnya. Ia dan Siska ikut ke sana dan melihat seorang lelaki yang dikeluarkan dari mobil dalam keadaan pingsan. Itu adalah Hendro."Ayah!"Bela sekali lagi memanggilnya saat petugas medis yang mungkin saja di panggil oleh orang yang menemukannya pingsan di pinggir jalan."Anda mengenalnya?" Salah satu petugas medis bertanya dan Bela mengangguk dengan cepat."Iya, itu ayah mertuaku.""Tolong ikut kami!"Bela memandang Siska yang tatapannya mengartikan, 'It's okay! Just follow him!'"Apa yang terjadi, Pak?" Ia bertanya pada salah seorang petugas medis yang membawa Hendro memasuki ambulans. Mereka masuk dan melesat di atas jalan raya yang lengang pagi ini."Tekanan darahnya sangat rendah. Apa dia punya riwayat cedera akhir-akhir ini? Di dadanya ada luka lebam yang belum sepenuhnya pulih."Bela pusing, melihat Hendro tak berdaya di atas brankar seperti membuatnya mengalami kekhawatiran yang da
***"Sungguh ayah mertuamu baik-baik saja?" Siska bertanya pada Bela saat mereka ada di mall. Di dalam toko buku yang lumayan ramai. Sepulang dari kampus dan pergi ke sini dengan memesan taksi online."Iya, bapak yang jaga di sana.""Apa yang sebenarnya terjadi, Bel?" Siska meraih sebuah buku tebal dari rak buku romance, membaca blurb di belakang dan menoleh pada Bela. Yang masih melihat-lihat setiap judul buku yang ada di hadapannya."Bapak bilang ayah baru saja jatuh. Makanya ada luka memar di dadanya. Pasti dia nggak mau aku sama mas Nial khawatir. Dia nggak cerita."Siska mendorong napasnya dengan sedikit cemas. Orang tua memang selalu seperti itu sampai kapanpun. Bahwa mereka tidak ingin anak-anak mereka cemas dan merahasiakan rasa sakit mereka untuk diri sendiri."Kamu sudah izin sama Pak Nial 'kan kalau mau ke sini?" "Iya, Sis. Mas Nial yang minta aku ke sini sama kamu. Dia bilang aku nggak usah kepikiran karena dia nanti sore akan jenguk ayah.""Ya sudah."Mereka beralih ke
"Wah! Jangan bilang kamu nggak tahu kalau sebenarnya aku yang meminta Vida menjebakmu?"Jika ada kata kasar yang ada pada level tertinggi, Bela benar-benar akan menumpahkannya pada Jenni. Dia aneh! Jika biasanya orang-orang ingin kejahatannya disembunyikan, tapi Jenni lain. Dia malah membukanya di depan korban.Di mana korban itu adalah Bela. Bela yang mengalami trauma akibat peristiwa malam itu.Bela berjalan mendekat pada Jenni, benar-benar ingin mencakarnya sekarang. Apalagi saat perempuan itu melanjutkan dengan,"Apa Nial berusaha melindungiku? Apa dia nggak ingin kamu tahu aku yang melakukannya? Hm ... jadi aku harus berterima kasih pada Nial?"Bela tertawa lirih dibuatnya. Ia masih lurus memandang Jenni, dagunya terangkat seperti sedang menantang meski hatinya hancur berkeping-keping. Kenyataan Nial menyembunyikan kebenaran besar ini membuat ulu hatinya nyeri. Tapi itu nanti saja. Dia bisa membahasnya di rumah. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya membuat peremp
"Dia benar-benar marah denganku."Nial berujar saat ia memasuki kamar. Melihat keadaan di dalam yang berantakan. Dengan bantal dan selimut yang dilempar ke lantai. Dengan paper bag berisi buku yang tampak baru, telah dibuang begitu saja. Nial berdesah kesal.Bukan kesal pada Bela. Ia kesal pada dirinya sendiri yang tidak becus menjaga perasaan istrinya.Apalagi mendengar penjelasan Kim di bawah tadi bahwa Bela pergi tanpa pamit dan terlihat baru saja menangis dan hal itu membuat kepalanya semakin pusing. Ia tahu di mana Bela berada saat ini. Tapi ia harus mandi sebentar agar beban hatinya sedikit berkurang.Dan di sinilah Nial sekarang, ia menengok arlojinya, pukul sembilan malam lewat beberapa menit. Ia menggosokkan kedua tangannya dan memasukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Ia menyandarkan punggungnya di pintu gerbang rumah seseorang.Menunggu dengan gelisah.***Bela sedang berjalan menuju rumah ayahnya setelah jalan-jalan sepanjang sore untuk menghilangkan rasa kesalnya dan
Bela sedang mengeluarkan macaroni schotel dari dalam oven. Untuk snack malam ini selagi Nial bekerja di dalam kamar. Tiga hari pasca ia minggat dari rumah. Hendro juga sudah dibawa pulang, keadaannya membaik. Padahal Nial memintanya agar tinggal bersamanya di rumah ini, tapi dia menolak. Dia bilang bisa jaga diri, lagi pula di rumah miliknya ada orang-orangnya.Bela perlahan mengeluarkan barang panas itu. Saat ia berbalik, ia terkejut. Rasanya jantungnya sudah hampir lepas saat melihat Nial berdiri di sana dengan tersenyum."Astaga! Mas Nial kenapa berdiri di situ?"Nial mengerucutkan bibirnya mendengar Bela memarahinya. Intonasi bicaranya meninggi dan ia tahu kalau istrinya itu kesal."Berdiri di sini pun sekarang nggak boleh?" Nial balik merajuk."Boleh, Mas! Aku nggak melarang. Tapi kamu tahu 'kan aku sedang mengeluarkan barang panas. Nanti kalau kamu terluka bagaimana?"Bela berjalan melewati Nial, meletakkan hasil karyanya di atas meja makan. Selagi Nial masih mengawasinya berja
"Kita akan berjauhan lagi nih ceritanya?"Bela benar-benar tidak percaya. Baru saja rasanya, bahkan masih terasa kemarin Nial pergi ke Amerika secara tiba-tiba. Rasanya dia masih bisa mencium bau udara hangat di Seattle. Tapi malam ini Nial berpamitan akan pergi ke Jepang."Hanya sebentar, Sayang."Nial tersenyum melihat wajah cemberut Bela."Sebentar apanya? Satu minggu itu lama loh.""Hm ... iya-iya, lama. Maaf ya!""Apa dari dulu Mas Nial sering pergi-pergi begini?""Sering, lebih sering malah. Karena banyak yang harus diurus sana-sini. Tapi semenjak jadi CEO, Mas Nial-mu ini sedikit lebih lama di Jakarta. Nggak harus terbang ke sana ke mari.""Mas pergi dengan Kak Jerry?""Iya.""Kalau begitu, kamu juga jaga hati untukku."Bela menyentil hidung Nial."Iya, Sayang. Mas pasti jaga hati untukmu. Lagi pula bagaimana caranya Mas bisa berpaling dari wajah cantik ini? Coba katakan bagaimana caranya?""Mulai merayu!"Nial bangkit, meraih pinggang Bela dan membuatnya duduk di atas meja ma