***"Sungguh ayah mertuamu baik-baik saja?" Siska bertanya pada Bela saat mereka ada di mall. Di dalam toko buku yang lumayan ramai. Sepulang dari kampus dan pergi ke sini dengan memesan taksi online."Iya, bapak yang jaga di sana.""Apa yang sebenarnya terjadi, Bel?" Siska meraih sebuah buku tebal dari rak buku romance, membaca blurb di belakang dan menoleh pada Bela. Yang masih melihat-lihat setiap judul buku yang ada di hadapannya."Bapak bilang ayah baru saja jatuh. Makanya ada luka memar di dadanya. Pasti dia nggak mau aku sama mas Nial khawatir. Dia nggak cerita."Siska mendorong napasnya dengan sedikit cemas. Orang tua memang selalu seperti itu sampai kapanpun. Bahwa mereka tidak ingin anak-anak mereka cemas dan merahasiakan rasa sakit mereka untuk diri sendiri."Kamu sudah izin sama Pak Nial 'kan kalau mau ke sini?" "Iya, Sis. Mas Nial yang minta aku ke sini sama kamu. Dia bilang aku nggak usah kepikiran karena dia nanti sore akan jenguk ayah.""Ya sudah."Mereka beralih ke
"Wah! Jangan bilang kamu nggak tahu kalau sebenarnya aku yang meminta Vida menjebakmu?"Jika ada kata kasar yang ada pada level tertinggi, Bela benar-benar akan menumpahkannya pada Jenni. Dia aneh! Jika biasanya orang-orang ingin kejahatannya disembunyikan, tapi Jenni lain. Dia malah membukanya di depan korban.Di mana korban itu adalah Bela. Bela yang mengalami trauma akibat peristiwa malam itu.Bela berjalan mendekat pada Jenni, benar-benar ingin mencakarnya sekarang. Apalagi saat perempuan itu melanjutkan dengan,"Apa Nial berusaha melindungiku? Apa dia nggak ingin kamu tahu aku yang melakukannya? Hm ... jadi aku harus berterima kasih pada Nial?"Bela tertawa lirih dibuatnya. Ia masih lurus memandang Jenni, dagunya terangkat seperti sedang menantang meski hatinya hancur berkeping-keping. Kenyataan Nial menyembunyikan kebenaran besar ini membuat ulu hatinya nyeri. Tapi itu nanti saja. Dia bisa membahasnya di rumah. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya membuat peremp
"Dia benar-benar marah denganku."Nial berujar saat ia memasuki kamar. Melihat keadaan di dalam yang berantakan. Dengan bantal dan selimut yang dilempar ke lantai. Dengan paper bag berisi buku yang tampak baru, telah dibuang begitu saja. Nial berdesah kesal.Bukan kesal pada Bela. Ia kesal pada dirinya sendiri yang tidak becus menjaga perasaan istrinya.Apalagi mendengar penjelasan Kim di bawah tadi bahwa Bela pergi tanpa pamit dan terlihat baru saja menangis dan hal itu membuat kepalanya semakin pusing. Ia tahu di mana Bela berada saat ini. Tapi ia harus mandi sebentar agar beban hatinya sedikit berkurang.Dan di sinilah Nial sekarang, ia menengok arlojinya, pukul sembilan malam lewat beberapa menit. Ia menggosokkan kedua tangannya dan memasukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Ia menyandarkan punggungnya di pintu gerbang rumah seseorang.Menunggu dengan gelisah.***Bela sedang berjalan menuju rumah ayahnya setelah jalan-jalan sepanjang sore untuk menghilangkan rasa kesalnya dan
Bela sedang mengeluarkan macaroni schotel dari dalam oven. Untuk snack malam ini selagi Nial bekerja di dalam kamar. Tiga hari pasca ia minggat dari rumah. Hendro juga sudah dibawa pulang, keadaannya membaik. Padahal Nial memintanya agar tinggal bersamanya di rumah ini, tapi dia menolak. Dia bilang bisa jaga diri, lagi pula di rumah miliknya ada orang-orangnya.Bela perlahan mengeluarkan barang panas itu. Saat ia berbalik, ia terkejut. Rasanya jantungnya sudah hampir lepas saat melihat Nial berdiri di sana dengan tersenyum."Astaga! Mas Nial kenapa berdiri di situ?"Nial mengerucutkan bibirnya mendengar Bela memarahinya. Intonasi bicaranya meninggi dan ia tahu kalau istrinya itu kesal."Berdiri di sini pun sekarang nggak boleh?" Nial balik merajuk."Boleh, Mas! Aku nggak melarang. Tapi kamu tahu 'kan aku sedang mengeluarkan barang panas. Nanti kalau kamu terluka bagaimana?"Bela berjalan melewati Nial, meletakkan hasil karyanya di atas meja makan. Selagi Nial masih mengawasinya berja
"Kita akan berjauhan lagi nih ceritanya?"Bela benar-benar tidak percaya. Baru saja rasanya, bahkan masih terasa kemarin Nial pergi ke Amerika secara tiba-tiba. Rasanya dia masih bisa mencium bau udara hangat di Seattle. Tapi malam ini Nial berpamitan akan pergi ke Jepang."Hanya sebentar, Sayang."Nial tersenyum melihat wajah cemberut Bela."Sebentar apanya? Satu minggu itu lama loh.""Hm ... iya-iya, lama. Maaf ya!""Apa dari dulu Mas Nial sering pergi-pergi begini?""Sering, lebih sering malah. Karena banyak yang harus diurus sana-sini. Tapi semenjak jadi CEO, Mas Nial-mu ini sedikit lebih lama di Jakarta. Nggak harus terbang ke sana ke mari.""Mas pergi dengan Kak Jerry?""Iya.""Kalau begitu, kamu juga jaga hati untukku."Bela menyentil hidung Nial."Iya, Sayang. Mas pasti jaga hati untukmu. Lagi pula bagaimana caranya Mas bisa berpaling dari wajah cantik ini? Coba katakan bagaimana caranya?""Mulai merayu!"Nial bangkit, meraih pinggang Bela dan membuatnya duduk di atas meja ma
***Tujuh hari setelahnya ….…."Pak Nial ingin langsung menuju tempat yang kamu katakan tadi?" Jerry bertanya saat Han, sopir Nial membuka pintu mobil untuk mereka."Iya. Aku akan pergi ke sana. Kamu pergilah jemput Bela!"Jerry mengangguk, Nial segera memasuki mobil dan Han membawanya melesat meninggalkan bandara sore ini.Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Membuat Bela dan juga Nial sama-sama merindu dalam jarak yang terlampau jauh. Hari ini di bandara sekitar pukul empat sore lewat beberapa menit, Nial berjalan keluar bandara bersama Jerry. Ia akhirnya tiba di Jakarta.Sudah satu minggu--yang terasa satu abad-ini ditinggalkannya. Ia rindu Bela, meski setiap malam mereka malakukan panggilan video, rasanya itu tidak berarti apa-apa. Karena pertemuan jauh lebih berharga bagi Nial. Dia harus mengakui bagaimana hebat bayangan Bela telah mengisi tiap rongga dadanya hingga sesak. Ia bahkan rindu setiap malam memeluk tubuh kecilnya yang memberikan kehangatan sempurna.Rindu yang
***…."Apa aku cantik?"Bela memutar tubuhnya di depan Nial saat prianya itu baru saja masuk ke dalam ruang ganti setelah dari dalam kamar mandi."Cantik. Memangnya kapan kamu nggak cantik?"Nial tersenyum. "Sungguh?""Ya, sungguh.""Apa ini nggak mencolok?""Nggak, kok."Nial mengusap puncak kepalanya. Mengamati Bela yang mengenakan dress di bawah lutut berwarna biru navy dengan aksen brukat dan shoulder boat yang sangat cocok dengan kulit putihnya."Mas Nial pakailah jasnya! Nanti kita terlambat."Nial mengangguk. Melihat Bela yang sudah membuka jas untuknya. Hal sederhana yang dia suka. Karena Nial merasa hal-hal kecil seperti ini justru membahagiakan dan membuatnya merasa diistimewakan. Tentu saja. Itu karena dia merasa Bela memberikan yang lebih padanya dengan tindakan sederhana yang membekas dalam hatinya.Mereka malam ini akan menonton konser musik klasik. Nial yang mengajak karena temannya memberikan undangan dalam kunjungan show di mana dia akan jadi pianis dalam acara ini
….Hari yang panas. Cuaca benar-benar terik di luar sana dan Bela baru saja belajar menyetir. Bukan dengan Han. Tapi dengan Nial karena suaminya itu sedang libur kerja.Bela masuk ke dalam kamar. Konsentrasi memang membutuhkan banyak tenaga dan hal itu membuat tenaganya habis terkuras. Ibarat kolam yang penuh, keadaannya sudah kosong melompong."Astaga capeknya."Dia berguling ke kanan. Memejamkan matanya. Sampai pintu kamar terbuka dan kemunculan Nial yang melihatnya dengan tersenyum."Kamu capek?"Bela hanya mengangguk tanpa membuka matanya. Nial tidak terdengar lagi suaranya setelah langkahnya menuju ruang ganti.Bela bangkit, melihat Nial dengan heran."Dia nggak mengatakan apapun selain itu? Dia mau pergi?"Tapi sepertinya dugaannya salah karena Nial keluar dari ruang ganti dengan bertelanjang dada. Dengan celana pendek dan memperlihatkan ototnya. "Mas mau renang. Kamu mau ikut?"Nial berhenti di depan Bela, menundukkan kepala dan mengecup bibirnya."Renang? Mas Nial 'kan tahu a