Bela sedang mengeluarkan macaroni schotel dari dalam oven. Untuk snack malam ini selagi Nial bekerja di dalam kamar. Tiga hari pasca ia minggat dari rumah. Hendro juga sudah dibawa pulang, keadaannya membaik. Padahal Nial memintanya agar tinggal bersamanya di rumah ini, tapi dia menolak. Dia bilang bisa jaga diri, lagi pula di rumah miliknya ada orang-orangnya.Bela perlahan mengeluarkan barang panas itu. Saat ia berbalik, ia terkejut. Rasanya jantungnya sudah hampir lepas saat melihat Nial berdiri di sana dengan tersenyum."Astaga! Mas Nial kenapa berdiri di situ?"Nial mengerucutkan bibirnya mendengar Bela memarahinya. Intonasi bicaranya meninggi dan ia tahu kalau istrinya itu kesal."Berdiri di sini pun sekarang nggak boleh?" Nial balik merajuk."Boleh, Mas! Aku nggak melarang. Tapi kamu tahu 'kan aku sedang mengeluarkan barang panas. Nanti kalau kamu terluka bagaimana?"Bela berjalan melewati Nial, meletakkan hasil karyanya di atas meja makan. Selagi Nial masih mengawasinya berja
"Kita akan berjauhan lagi nih ceritanya?"Bela benar-benar tidak percaya. Baru saja rasanya, bahkan masih terasa kemarin Nial pergi ke Amerika secara tiba-tiba. Rasanya dia masih bisa mencium bau udara hangat di Seattle. Tapi malam ini Nial berpamitan akan pergi ke Jepang."Hanya sebentar, Sayang."Nial tersenyum melihat wajah cemberut Bela."Sebentar apanya? Satu minggu itu lama loh.""Hm ... iya-iya, lama. Maaf ya!""Apa dari dulu Mas Nial sering pergi-pergi begini?""Sering, lebih sering malah. Karena banyak yang harus diurus sana-sini. Tapi semenjak jadi CEO, Mas Nial-mu ini sedikit lebih lama di Jakarta. Nggak harus terbang ke sana ke mari.""Mas pergi dengan Kak Jerry?""Iya.""Kalau begitu, kamu juga jaga hati untukku."Bela menyentil hidung Nial."Iya, Sayang. Mas pasti jaga hati untukmu. Lagi pula bagaimana caranya Mas bisa berpaling dari wajah cantik ini? Coba katakan bagaimana caranya?""Mulai merayu!"Nial bangkit, meraih pinggang Bela dan membuatnya duduk di atas meja ma
***Tujuh hari setelahnya ….…."Pak Nial ingin langsung menuju tempat yang kamu katakan tadi?" Jerry bertanya saat Han, sopir Nial membuka pintu mobil untuk mereka."Iya. Aku akan pergi ke sana. Kamu pergilah jemput Bela!"Jerry mengangguk, Nial segera memasuki mobil dan Han membawanya melesat meninggalkan bandara sore ini.Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Membuat Bela dan juga Nial sama-sama merindu dalam jarak yang terlampau jauh. Hari ini di bandara sekitar pukul empat sore lewat beberapa menit, Nial berjalan keluar bandara bersama Jerry. Ia akhirnya tiba di Jakarta.Sudah satu minggu--yang terasa satu abad-ini ditinggalkannya. Ia rindu Bela, meski setiap malam mereka malakukan panggilan video, rasanya itu tidak berarti apa-apa. Karena pertemuan jauh lebih berharga bagi Nial. Dia harus mengakui bagaimana hebat bayangan Bela telah mengisi tiap rongga dadanya hingga sesak. Ia bahkan rindu setiap malam memeluk tubuh kecilnya yang memberikan kehangatan sempurna.Rindu yang
***…."Apa aku cantik?"Bela memutar tubuhnya di depan Nial saat prianya itu baru saja masuk ke dalam ruang ganti setelah dari dalam kamar mandi."Cantik. Memangnya kapan kamu nggak cantik?"Nial tersenyum. "Sungguh?""Ya, sungguh.""Apa ini nggak mencolok?""Nggak, kok."Nial mengusap puncak kepalanya. Mengamati Bela yang mengenakan dress di bawah lutut berwarna biru navy dengan aksen brukat dan shoulder boat yang sangat cocok dengan kulit putihnya."Mas Nial pakailah jasnya! Nanti kita terlambat."Nial mengangguk. Melihat Bela yang sudah membuka jas untuknya. Hal sederhana yang dia suka. Karena Nial merasa hal-hal kecil seperti ini justru membahagiakan dan membuatnya merasa diistimewakan. Tentu saja. Itu karena dia merasa Bela memberikan yang lebih padanya dengan tindakan sederhana yang membekas dalam hatinya.Mereka malam ini akan menonton konser musik klasik. Nial yang mengajak karena temannya memberikan undangan dalam kunjungan show di mana dia akan jadi pianis dalam acara ini
….Hari yang panas. Cuaca benar-benar terik di luar sana dan Bela baru saja belajar menyetir. Bukan dengan Han. Tapi dengan Nial karena suaminya itu sedang libur kerja.Bela masuk ke dalam kamar. Konsentrasi memang membutuhkan banyak tenaga dan hal itu membuat tenaganya habis terkuras. Ibarat kolam yang penuh, keadaannya sudah kosong melompong."Astaga capeknya."Dia berguling ke kanan. Memejamkan matanya. Sampai pintu kamar terbuka dan kemunculan Nial yang melihatnya dengan tersenyum."Kamu capek?"Bela hanya mengangguk tanpa membuka matanya. Nial tidak terdengar lagi suaranya setelah langkahnya menuju ruang ganti.Bela bangkit, melihat Nial dengan heran."Dia nggak mengatakan apapun selain itu? Dia mau pergi?"Tapi sepertinya dugaannya salah karena Nial keluar dari ruang ganti dengan bertelanjang dada. Dengan celana pendek dan memperlihatkan ototnya. "Mas mau renang. Kamu mau ikut?"Nial berhenti di depan Bela, menundukkan kepala dan mengecup bibirnya."Renang? Mas Nial 'kan tahu a
Kim dengan membawa satu vas bunga yang baru saja ia petik dan ia tata dengan cantik dengan perpaduan warna yang menarik. Sedang ia bawa masuk menuju dapur untuk ia letakkan di meja ruang makan.Tapi langkahnya terhenti saat melihat Nial dan Bela yang sedang memagut tak jauh dari wastafel. Dengan keadaan Bela yang memegang sendoknya.Dapat ia tebak kalau Bela akan menyuapinya tapi Nial malah melahap yang lainnya.Kim memutar haluan. Membiarkan dapur seutuhnya dimiliki mereka berdua."Kenapa? Kamu menolak Mas?""Bukannya menolak.""Terus?""Tadi Bu Kim lihat kita di sana terus putar balik."Nial mengikuti ke arah mana Bela mengedikkan kepalanya. Tapi Kim yang ia sebutkan tidak ada di sana. Bahkan bayangannya pun juga tidak ada sama sekali."Mana? Nggak ada tuh!""Ada tadi, Mas!""Lagian dari mana kamu tahu kalau Bu Kim ada di sana? Kamu nggak memejamkan mata saat Mas menciummu?""Nggak!""Hah?"Nial terkejut. Merapatkan posisinya pada Bela dan membuat Bela tak bisa bergerak ke manapun s
Bela merasakan kepala belakangnya ditarik semakin dalam oleh Nial. Bisa dikatakan ini akan menjadi waktu paling lama mereka berpagut di dalam mobil. Karena akan menjadi pagi terakhir mereka sebelum sebulan.Mereka melepasnya sesaat kemudian dengan saling tersenyum."Kamu akan benar-benar pergi?"Nial mengusap pipi kirinya, membuat Bela memberikan anggukan kecil sebelum menjawabnya."Iya, sebulan ya? Mas jaga hati di sini!""Iya, pasti sayangku.""Baiklah, aku harus masuk, teman-teman minta berkumpul di sini."Bela merapikan rambutnya, mereka sebenarnya ada di stasiun kereta api karena Bela akan berangkat dengan kereta menuju lokasi."Keretanya jam berapa?"Bela mengerling arlojinya."Masih beberapa menit lagi, Mas.""Baiklah. Give me one last peck."Bela tersenyum dibuatnya saat Nial memajukan bibirnya. Ia menurutinya saja dan memberikan kecupan.SekaliDua kali.Tiga kali.Di mana hal itu membuat Nial tersenyum lebar."Terima kasih.""Iya, masih kurang? Kamu minta satu aku kasih tiga
"Pak Nial!"Beberapa orang--bahkan semua orang--yang ada di dalam ruangan terkejut ddngan keputusan ekstrem Nial yang tidak biasa pagi ini."Pergi dari sini, Jerry!"Nial meminta Jerry untuk segera enyah. Jerry juga tidak berani menentang titah Nial. Ia tahu hubungan Nial dan Jenni itu ada dalam urusan pribadi. Tapi Perempuan itu telah terlalu banyak mengintervensi hidup Nial. Rumah tangganya dengan Bela."Pak Nial!"Mereka berusaha memanggil Nial. Terutama mereka yang datang untuk presentasi pagi ini. Tapi tampaknya Nial tidak peduli. Ia melangkah dengan Jerry yang pergi dengan mengekor di belakangnya. "Nial!"Diabaikan."Nial!"Jenni memanggilnya, meraih tangan Nial. Tapi dengan cepat Nial menepisnya dengan kasar. "Nial, tunggu! Kenapa kamu lakukan ini?"Jenni meraih tangannya lagi, tapi gagal. Karena Jerry lebih dulu memasang badan dan melindungi Nial yang masih terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. "Pergi dari sini!"Jerry melepas tangannya tak kalah kasar dari Nial. Jenn