"Pak Nial!"Beberapa orang--bahkan semua orang--yang ada di dalam ruangan terkejut ddngan keputusan ekstrem Nial yang tidak biasa pagi ini."Pergi dari sini, Jerry!"Nial meminta Jerry untuk segera enyah. Jerry juga tidak berani menentang titah Nial. Ia tahu hubungan Nial dan Jenni itu ada dalam urusan pribadi. Tapi Perempuan itu telah terlalu banyak mengintervensi hidup Nial. Rumah tangganya dengan Bela."Pak Nial!"Mereka berusaha memanggil Nial. Terutama mereka yang datang untuk presentasi pagi ini. Tapi tampaknya Nial tidak peduli. Ia melangkah dengan Jerry yang pergi dengan mengekor di belakangnya. "Nial!"Diabaikan."Nial!"Jenni memanggilnya, meraih tangan Nial. Tapi dengan cepat Nial menepisnya dengan kasar. "Nial, tunggu! Kenapa kamu lakukan ini?"Jenni meraih tangannya lagi, tapi gagal. Karena Jerry lebih dulu memasang badan dan melindungi Nial yang masih terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. "Pergi dari sini!"Jerry melepas tangannya tak kalah kasar dari Nial. Jenn
"Nggak! Mas Nial nggak bilang apapun."Bela menjawab Siska setelah mengembalikan ponselnya"Tentu saja! Itu karena Pak Nial nggak ingin kamu kepikiran perempuan bernama Jenni itu, Bel."Bela menghembuskan napasnya dengan gelisah. Dugaannya benar sebelum berangkat. Bahwa bisa saja Nial bertemu dengan Jenni. Dan hal itu terbukti benar.Mereka benar-benar bertemu dengan cara yang tidak diduga."Jangan kepikiran, Bel! Pak Nial 'kan bisa dipercaya.""Iya, Kamu benar. Mas Nial bisa dipercaya.""Mas Jerry bilang dia langsung mencoret kertas yang akan dijadikan bahan presentasi saat melihat Jenni datang dan pergi dari sana."Bela bernapas semakin berat. Membayangkan mata serigala Nial yang marah saja telah membuatnya merinding tak kepalang. Hal yang paling ditakuti Jenni saat ini bisa jadi adalah dibenci Nial. Dia melakukan segala cara agar Nial melihatnya namun malah mendapatkan lemparan kebencian yang tak terkira jumlahnya.Bela tersenyum kecil. Nial menepati janjinya dulu. Dulu sekali. Sa
"Harusnya kamu di sini dan mengatakan, 'Jangan berhenti, Mas Nial!'"Wajah Bela merah padam mendengar kalimat Nial yang membuat jantungnya berdegub tak karuan. Ini seperti sedang mengatakan bahwa Danial Abdisatya adalah tipe suami yang tidak akan berhenti menggoda bahkan jika saling berjauhan atau dalam Long Distance Marriage."Mas? Stooop ...."Bela berkata lirih, menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, segera memakai airpods agar jika bisikan lain dari Nial yang lebih sensual tidak dicuri dengar oleh teman-temannya apalagi Siska sudah memandangnya dengan senyum yang mengatakan, 'Ciye ... ditelpon suami.'Padahal sendirinya juga sedang saling berpesan dengan Jerry."Kenapa? Kamu malu?"Suara Nial kembali terdengar dari ponsel miliknya."Iya. Nanti didengar yang lain.""Mas kangen kamu. Kamu sudah makan?""Sudah. Tadi makan masakannya Bu Maria.""Siapa Bu Maria?""Ibuknya Anna, Bu Kades.""Enak?""Sangat enak."Hening sejenak. Bela dapat mendengar suara beberapa gantungan pakaian yang s
"Nggak. Untuk apa aku ikut? Jangan Libatkan aku dalam pertemuan dengan Toro Corp. dan jangan terhubung lagi dengan mereka. Kalau ayah tetap melakukannya aku yang akan hengkang dari kursi CEO!"Jerry menegang mendengar jawaban Nial yang di luar batas ambang berpikirnya."Pak Nial?"Jerry mengingatkannya tapi Nial memberinya isyarat agar dia diam.Jerry tahu Dia tidak main-main saat mengatakan kalau dia memilih hengkang dari jabatan dari pada harus berurusan dengan orang-orang yang telah menyakiti istrinya di mana hal itu merujuk pada Jenni yang kesalahannya tidak akan pernah dia maafkan sekalipun dia meminta pengampunan di depan Nial selama satu abad."Jangan berlebihan, Nial!"Nila tertawa mendengar Hendro."Aku berlebihan? Lalu apa perempuan yang akan mencelakai anak menantumu itu bisa dibilang normal, Pak Hendro Abdisatya?"Hening sejenak."Kalau ayah peduli denganku dan Bela, dengarkan aku! Tapi kalau nggak, silahkan lanjutkan! Lalu besok pagi Ones Air akan jungkir balik karena aku
***"Jerry! Ayo kita pergi ke Blitar!""Hah? Apa?!"Jam di dinding kamar Nial baru menunjuk angka tiga pagi yang dingin. Dia juga belum sepenuhnya bangun saat menelpon Jerry dan mengatakan agar mereka pergi ke Blitar.Suara Jerry yang serak dari seberang sana juga mengindikasikan dia belum sepenuhnya bangun. Bahkan mungkin menerima telepon Nial dengan keadaan masih memejamkan mata.Tapi dia dibuat terhenyak. Kalimat ajakan Nial seperti seember air dingin yang dilemparkan padanya di pagi buta."Ke Blitar? Serius?"Nial dapat mendengar riak lain dalam pertanyaannya seperti sedang mengatakan, 'Jangan mengerjaiku sepagi ini, Pak Nial!'"Aku serius, Jerry! Ayo ke sana!""Pak Nial mau naik apa? Naik kereta? Ini hari Minggu. Tiketnya sudah pasti terjual habis sejak kemarin.""Naik mobil. Jakarta Blitar hanya sepuluh jam lewat tol. Kita bisa menyetir bergantian. Bagaimana?"Jerry hening sejenak. "Pak Nial segitu kangennya dengan Nona?"Nial juga memberikan keheningan. Jerry benar. Karena dia
Bela dapat melihat wajah terkejut Hasim saat dia dan teman-temannya berjalan memasuki gerbang rumah pada petang harinya, sepulang menonton parade budaya. Hasim yang tadinya berdiri dan memberi makan ikan koi di kolam segera berjalan menghampiri mereka. Memandang lelaki setinggi tiang yang membuat semua anak perempuan di sekitarnya hanya setinggi dadanya.Dan lelaki itu menggandeng tangan Bela.Bela tersenyum saat melihat Hasim menyelidik. Dia sudah akan bertanya sampai sebuah mobil mewah nan mengkilat masuk ke dalam halaman rumahnya. Dengan plat diawali huruf B yang menurutnya itu datang dari Jakarta.Lalu keluarlah seorang lelaki bersama dengan Rafael yang tampaknya jadi penunjuk jalan.Mereka berjalan mendekat selagi Rafael dengan dibantu Aldo dan Zian mengeluarkan oleh-oleh yang dibawa dari dalam mobil. Buah, cookies, suplemen kesehatan, madu, banyak yang lainnya.Dan lelaki yang baru keluar dari mobil itu bergabung bersama lelaki yang menggandeng tangan Bela. Baru setelahnya ber
Bela gugup saat mereka berjalan memasuki kamar hotel yang baru saja diselesaikan proses reservasi oleh Nial."Selamat beristirahat."Salah seorang staf perempuan membuka pintu kamar untuk mereka."Terima kasih." Mereka menjawabnya hampir bersamaan. Bela masuk lebih dulu, meletakkan tas ransel kecil yang ia isi pakaian di atas meja, dekat televisi selagi Nial menutup dan mengunci pintu. Bela melihatnya yang menjatuhkan paper bag berisi pakaiannya dari tangannya dan meraih dagu Bela. Mengecupnya dengan nyaman saat Bela memeluk lehernya sehingga membuat mereka berpagut semakin dalam.Baru setelah seabad lamanya saling melepaskan. "Mas kangen kamu."Nial berbicara saat hidung mereka saling bersentuhan."Aku juga kangen Mas Nial.""Mas kangen kamu sampai nggak bisa berpikir apa-apa lagi selain harus datang ke sini dan melihat kamu."Nial mengangkatnya. Membawanya ke atas ranjang dengan keadaan bibir mereka yang saling bertautan satu sama lain. Seolah hal seperti ini bisa mereka lakukan
Siska yang bertanya demikian membuat Nial dengan cepat menoleh padanya."Kenapa, Sayang?""Ng-nggak kok, Mas."Bela menyeka air matanya."Pak Nial, kamu apakan temanku?"Siska menyelidik. Nial juga bingung dibuatnya karena Bela tiba-tiba menangis."Padahal Mas semalaman 'kan membuatmu senang, tapi kenapa pagi ini kamu menangis?""Mas!""Auh ... sakit, Bel!"Bela mencubit pinggang Nial karena prianya itu dengan gamblang dan tanpa dosanya mengatakan hal-hal yang membuatnya malu. Apalagi di depan yang lainnya seolah ingin pamer kemesraan."Ehem! Yang punya suami duh lah pokoknya ...." Rafael menggoda dari sebelah sana."Bel, kasih tips lah gimana bikin cowok jadi bucin." Anna mengerucutkan bibirnya."Memangnya kamu ada cowok? Atau setuju nikah sama Mbah Suwito?" Pertanyaan Aldo mengundang gelak tawa pagi ini. Bela juga ikut tertawa mendengarnya. Ini seperti dia sedang dikelilingi oleh orang-orang baik yang berperan sebagai support system untuknya.Mereka membubarkan diri tak lama kemudia