***Tujuh hari setelahnya ….…."Pak Nial ingin langsung menuju tempat yang kamu katakan tadi?" Jerry bertanya saat Han, sopir Nial membuka pintu mobil untuk mereka."Iya. Aku akan pergi ke sana. Kamu pergilah jemput Bela!"Jerry mengangguk, Nial segera memasuki mobil dan Han membawanya melesat meninggalkan bandara sore ini.Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Membuat Bela dan juga Nial sama-sama merindu dalam jarak yang terlampau jauh. Hari ini di bandara sekitar pukul empat sore lewat beberapa menit, Nial berjalan keluar bandara bersama Jerry. Ia akhirnya tiba di Jakarta.Sudah satu minggu--yang terasa satu abad-ini ditinggalkannya. Ia rindu Bela, meski setiap malam mereka malakukan panggilan video, rasanya itu tidak berarti apa-apa. Karena pertemuan jauh lebih berharga bagi Nial. Dia harus mengakui bagaimana hebat bayangan Bela telah mengisi tiap rongga dadanya hingga sesak. Ia bahkan rindu setiap malam memeluk tubuh kecilnya yang memberikan kehangatan sempurna.Rindu yang
***…."Apa aku cantik?"Bela memutar tubuhnya di depan Nial saat prianya itu baru saja masuk ke dalam ruang ganti setelah dari dalam kamar mandi."Cantik. Memangnya kapan kamu nggak cantik?"Nial tersenyum. "Sungguh?""Ya, sungguh.""Apa ini nggak mencolok?""Nggak, kok."Nial mengusap puncak kepalanya. Mengamati Bela yang mengenakan dress di bawah lutut berwarna biru navy dengan aksen brukat dan shoulder boat yang sangat cocok dengan kulit putihnya."Mas Nial pakailah jasnya! Nanti kita terlambat."Nial mengangguk. Melihat Bela yang sudah membuka jas untuknya. Hal sederhana yang dia suka. Karena Nial merasa hal-hal kecil seperti ini justru membahagiakan dan membuatnya merasa diistimewakan. Tentu saja. Itu karena dia merasa Bela memberikan yang lebih padanya dengan tindakan sederhana yang membekas dalam hatinya.Mereka malam ini akan menonton konser musik klasik. Nial yang mengajak karena temannya memberikan undangan dalam kunjungan show di mana dia akan jadi pianis dalam acara ini
….Hari yang panas. Cuaca benar-benar terik di luar sana dan Bela baru saja belajar menyetir. Bukan dengan Han. Tapi dengan Nial karena suaminya itu sedang libur kerja.Bela masuk ke dalam kamar. Konsentrasi memang membutuhkan banyak tenaga dan hal itu membuat tenaganya habis terkuras. Ibarat kolam yang penuh, keadaannya sudah kosong melompong."Astaga capeknya."Dia berguling ke kanan. Memejamkan matanya. Sampai pintu kamar terbuka dan kemunculan Nial yang melihatnya dengan tersenyum."Kamu capek?"Bela hanya mengangguk tanpa membuka matanya. Nial tidak terdengar lagi suaranya setelah langkahnya menuju ruang ganti.Bela bangkit, melihat Nial dengan heran."Dia nggak mengatakan apapun selain itu? Dia mau pergi?"Tapi sepertinya dugaannya salah karena Nial keluar dari ruang ganti dengan bertelanjang dada. Dengan celana pendek dan memperlihatkan ototnya. "Mas mau renang. Kamu mau ikut?"Nial berhenti di depan Bela, menundukkan kepala dan mengecup bibirnya."Renang? Mas Nial 'kan tahu a
Kim dengan membawa satu vas bunga yang baru saja ia petik dan ia tata dengan cantik dengan perpaduan warna yang menarik. Sedang ia bawa masuk menuju dapur untuk ia letakkan di meja ruang makan.Tapi langkahnya terhenti saat melihat Nial dan Bela yang sedang memagut tak jauh dari wastafel. Dengan keadaan Bela yang memegang sendoknya.Dapat ia tebak kalau Bela akan menyuapinya tapi Nial malah melahap yang lainnya.Kim memutar haluan. Membiarkan dapur seutuhnya dimiliki mereka berdua."Kenapa? Kamu menolak Mas?""Bukannya menolak.""Terus?""Tadi Bu Kim lihat kita di sana terus putar balik."Nial mengikuti ke arah mana Bela mengedikkan kepalanya. Tapi Kim yang ia sebutkan tidak ada di sana. Bahkan bayangannya pun juga tidak ada sama sekali."Mana? Nggak ada tuh!""Ada tadi, Mas!""Lagian dari mana kamu tahu kalau Bu Kim ada di sana? Kamu nggak memejamkan mata saat Mas menciummu?""Nggak!""Hah?"Nial terkejut. Merapatkan posisinya pada Bela dan membuat Bela tak bisa bergerak ke manapun s
Bela merasakan kepala belakangnya ditarik semakin dalam oleh Nial. Bisa dikatakan ini akan menjadi waktu paling lama mereka berpagut di dalam mobil. Karena akan menjadi pagi terakhir mereka sebelum sebulan.Mereka melepasnya sesaat kemudian dengan saling tersenyum."Kamu akan benar-benar pergi?"Nial mengusap pipi kirinya, membuat Bela memberikan anggukan kecil sebelum menjawabnya."Iya, sebulan ya? Mas jaga hati di sini!""Iya, pasti sayangku.""Baiklah, aku harus masuk, teman-teman minta berkumpul di sini."Bela merapikan rambutnya, mereka sebenarnya ada di stasiun kereta api karena Bela akan berangkat dengan kereta menuju lokasi."Keretanya jam berapa?"Bela mengerling arlojinya."Masih beberapa menit lagi, Mas.""Baiklah. Give me one last peck."Bela tersenyum dibuatnya saat Nial memajukan bibirnya. Ia menurutinya saja dan memberikan kecupan.SekaliDua kali.Tiga kali.Di mana hal itu membuat Nial tersenyum lebar."Terima kasih.""Iya, masih kurang? Kamu minta satu aku kasih tiga
"Pak Nial!"Beberapa orang--bahkan semua orang--yang ada di dalam ruangan terkejut ddngan keputusan ekstrem Nial yang tidak biasa pagi ini."Pergi dari sini, Jerry!"Nial meminta Jerry untuk segera enyah. Jerry juga tidak berani menentang titah Nial. Ia tahu hubungan Nial dan Jenni itu ada dalam urusan pribadi. Tapi Perempuan itu telah terlalu banyak mengintervensi hidup Nial. Rumah tangganya dengan Bela."Pak Nial!"Mereka berusaha memanggil Nial. Terutama mereka yang datang untuk presentasi pagi ini. Tapi tampaknya Nial tidak peduli. Ia melangkah dengan Jerry yang pergi dengan mengekor di belakangnya. "Nial!"Diabaikan."Nial!"Jenni memanggilnya, meraih tangan Nial. Tapi dengan cepat Nial menepisnya dengan kasar. "Nial, tunggu! Kenapa kamu lakukan ini?"Jenni meraih tangannya lagi, tapi gagal. Karena Jerry lebih dulu memasang badan dan melindungi Nial yang masih terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. "Pergi dari sini!"Jerry melepas tangannya tak kalah kasar dari Nial. Jenn
"Nggak! Mas Nial nggak bilang apapun."Bela menjawab Siska setelah mengembalikan ponselnya"Tentu saja! Itu karena Pak Nial nggak ingin kamu kepikiran perempuan bernama Jenni itu, Bel."Bela menghembuskan napasnya dengan gelisah. Dugaannya benar sebelum berangkat. Bahwa bisa saja Nial bertemu dengan Jenni. Dan hal itu terbukti benar.Mereka benar-benar bertemu dengan cara yang tidak diduga."Jangan kepikiran, Bel! Pak Nial 'kan bisa dipercaya.""Iya, Kamu benar. Mas Nial bisa dipercaya.""Mas Jerry bilang dia langsung mencoret kertas yang akan dijadikan bahan presentasi saat melihat Jenni datang dan pergi dari sana."Bela bernapas semakin berat. Membayangkan mata serigala Nial yang marah saja telah membuatnya merinding tak kepalang. Hal yang paling ditakuti Jenni saat ini bisa jadi adalah dibenci Nial. Dia melakukan segala cara agar Nial melihatnya namun malah mendapatkan lemparan kebencian yang tak terkira jumlahnya.Bela tersenyum kecil. Nial menepati janjinya dulu. Dulu sekali. Sa
"Harusnya kamu di sini dan mengatakan, 'Jangan berhenti, Mas Nial!'"Wajah Bela merah padam mendengar kalimat Nial yang membuat jantungnya berdegub tak karuan. Ini seperti sedang mengatakan bahwa Danial Abdisatya adalah tipe suami yang tidak akan berhenti menggoda bahkan jika saling berjauhan atau dalam Long Distance Marriage."Mas? Stooop ...."Bela berkata lirih, menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, segera memakai airpods agar jika bisikan lain dari Nial yang lebih sensual tidak dicuri dengar oleh teman-temannya apalagi Siska sudah memandangnya dengan senyum yang mengatakan, 'Ciye ... ditelpon suami.'Padahal sendirinya juga sedang saling berpesan dengan Jerry."Kenapa? Kamu malu?"Suara Nial kembali terdengar dari ponsel miliknya."Iya. Nanti didengar yang lain.""Mas kangen kamu. Kamu sudah makan?""Sudah. Tadi makan masakannya Bu Maria.""Siapa Bu Maria?""Ibuknya Anna, Bu Kades.""Enak?""Sangat enak."Hening sejenak. Bela dapat mendengar suara beberapa gantungan pakaian yang s