***"Apa aku membuat kesalahan lagi? Astaga kepalaku pusing."Hendro memijit keningnya yang terasa sakit. Ia merasa bersalah pada Nial dan juga Bela yang pasti kecewa karena ada Jenni di pesta ulang tahunnya. Pesta yang harusnya hanya diisi oleh orang dekatnya.Ia memang mengundang orang tua Jenni, tapi siapa sangka malah anaknya yang datang.Ia lebih merasa bersalah pada Bela. Nial benar saat mengatakan kalau Jennilah dalang sebenarnya dari peristiwa buruk yang nyaris saja menghancurkan hidup anak menantunya.Dan malam ini perempuan itu malah ia biarkan melenggang bebas di dalam rumahnya. Harusnya ia mengusirnya saja.Hendro terus mengemudi. Memikirkan hal semalam telah membuat tengkuknya terasa berat. Dadanya juga sesak. Cidera akibat jatuh saat di kamar mandi tempo hari kini tiba-tiba terasa sakit.Ia menepikan mobilnya. keinginannya untuk segera sampai di kantor harus ia gagalkan begitu saja karena ia kesakitan.Rasa bersalahnya semakin besar saat ia memikirkan Bela dan Nial. Bela
"Ayah?!"Bela terkejut karena saat ia turun dari taksi online, ada kerumunan di sebelah barat kampusnya. Ia dan Siska ikut ke sana dan melihat seorang lelaki yang dikeluarkan dari mobil dalam keadaan pingsan. Itu adalah Hendro."Ayah!"Bela sekali lagi memanggilnya saat petugas medis yang mungkin saja di panggil oleh orang yang menemukannya pingsan di pinggir jalan."Anda mengenalnya?" Salah satu petugas medis bertanya dan Bela mengangguk dengan cepat."Iya, itu ayah mertuaku.""Tolong ikut kami!"Bela memandang Siska yang tatapannya mengartikan, 'It's okay! Just follow him!'"Apa yang terjadi, Pak?" Ia bertanya pada salah seorang petugas medis yang membawa Hendro memasuki ambulans. Mereka masuk dan melesat di atas jalan raya yang lengang pagi ini."Tekanan darahnya sangat rendah. Apa dia punya riwayat cedera akhir-akhir ini? Di dadanya ada luka lebam yang belum sepenuhnya pulih."Bela pusing, melihat Hendro tak berdaya di atas brankar seperti membuatnya mengalami kekhawatiran yang da
***"Sungguh ayah mertuamu baik-baik saja?" Siska bertanya pada Bela saat mereka ada di mall. Di dalam toko buku yang lumayan ramai. Sepulang dari kampus dan pergi ke sini dengan memesan taksi online."Iya, bapak yang jaga di sana.""Apa yang sebenarnya terjadi, Bel?" Siska meraih sebuah buku tebal dari rak buku romance, membaca blurb di belakang dan menoleh pada Bela. Yang masih melihat-lihat setiap judul buku yang ada di hadapannya."Bapak bilang ayah baru saja jatuh. Makanya ada luka memar di dadanya. Pasti dia nggak mau aku sama mas Nial khawatir. Dia nggak cerita."Siska mendorong napasnya dengan sedikit cemas. Orang tua memang selalu seperti itu sampai kapanpun. Bahwa mereka tidak ingin anak-anak mereka cemas dan merahasiakan rasa sakit mereka untuk diri sendiri."Kamu sudah izin sama Pak Nial 'kan kalau mau ke sini?" "Iya, Sis. Mas Nial yang minta aku ke sini sama kamu. Dia bilang aku nggak usah kepikiran karena dia nanti sore akan jenguk ayah.""Ya sudah."Mereka beralih ke
"Wah! Jangan bilang kamu nggak tahu kalau sebenarnya aku yang meminta Vida menjebakmu?"Jika ada kata kasar yang ada pada level tertinggi, Bela benar-benar akan menumpahkannya pada Jenni. Dia aneh! Jika biasanya orang-orang ingin kejahatannya disembunyikan, tapi Jenni lain. Dia malah membukanya di depan korban.Di mana korban itu adalah Bela. Bela yang mengalami trauma akibat peristiwa malam itu.Bela berjalan mendekat pada Jenni, benar-benar ingin mencakarnya sekarang. Apalagi saat perempuan itu melanjutkan dengan,"Apa Nial berusaha melindungiku? Apa dia nggak ingin kamu tahu aku yang melakukannya? Hm ... jadi aku harus berterima kasih pada Nial?"Bela tertawa lirih dibuatnya. Ia masih lurus memandang Jenni, dagunya terangkat seperti sedang menantang meski hatinya hancur berkeping-keping. Kenyataan Nial menyembunyikan kebenaran besar ini membuat ulu hatinya nyeri. Tapi itu nanti saja. Dia bisa membahasnya di rumah. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya membuat peremp
"Dia benar-benar marah denganku."Nial berujar saat ia memasuki kamar. Melihat keadaan di dalam yang berantakan. Dengan bantal dan selimut yang dilempar ke lantai. Dengan paper bag berisi buku yang tampak baru, telah dibuang begitu saja. Nial berdesah kesal.Bukan kesal pada Bela. Ia kesal pada dirinya sendiri yang tidak becus menjaga perasaan istrinya.Apalagi mendengar penjelasan Kim di bawah tadi bahwa Bela pergi tanpa pamit dan terlihat baru saja menangis dan hal itu membuat kepalanya semakin pusing. Ia tahu di mana Bela berada saat ini. Tapi ia harus mandi sebentar agar beban hatinya sedikit berkurang.Dan di sinilah Nial sekarang, ia menengok arlojinya, pukul sembilan malam lewat beberapa menit. Ia menggosokkan kedua tangannya dan memasukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Ia menyandarkan punggungnya di pintu gerbang rumah seseorang.Menunggu dengan gelisah.***Bela sedang berjalan menuju rumah ayahnya setelah jalan-jalan sepanjang sore untuk menghilangkan rasa kesalnya dan
Bela sedang mengeluarkan macaroni schotel dari dalam oven. Untuk snack malam ini selagi Nial bekerja di dalam kamar. Tiga hari pasca ia minggat dari rumah. Hendro juga sudah dibawa pulang, keadaannya membaik. Padahal Nial memintanya agar tinggal bersamanya di rumah ini, tapi dia menolak. Dia bilang bisa jaga diri, lagi pula di rumah miliknya ada orang-orangnya.Bela perlahan mengeluarkan barang panas itu. Saat ia berbalik, ia terkejut. Rasanya jantungnya sudah hampir lepas saat melihat Nial berdiri di sana dengan tersenyum."Astaga! Mas Nial kenapa berdiri di situ?"Nial mengerucutkan bibirnya mendengar Bela memarahinya. Intonasi bicaranya meninggi dan ia tahu kalau istrinya itu kesal."Berdiri di sini pun sekarang nggak boleh?" Nial balik merajuk."Boleh, Mas! Aku nggak melarang. Tapi kamu tahu 'kan aku sedang mengeluarkan barang panas. Nanti kalau kamu terluka bagaimana?"Bela berjalan melewati Nial, meletakkan hasil karyanya di atas meja makan. Selagi Nial masih mengawasinya berja
"Kita akan berjauhan lagi nih ceritanya?"Bela benar-benar tidak percaya. Baru saja rasanya, bahkan masih terasa kemarin Nial pergi ke Amerika secara tiba-tiba. Rasanya dia masih bisa mencium bau udara hangat di Seattle. Tapi malam ini Nial berpamitan akan pergi ke Jepang."Hanya sebentar, Sayang."Nial tersenyum melihat wajah cemberut Bela."Sebentar apanya? Satu minggu itu lama loh.""Hm ... iya-iya, lama. Maaf ya!""Apa dari dulu Mas Nial sering pergi-pergi begini?""Sering, lebih sering malah. Karena banyak yang harus diurus sana-sini. Tapi semenjak jadi CEO, Mas Nial-mu ini sedikit lebih lama di Jakarta. Nggak harus terbang ke sana ke mari.""Mas pergi dengan Kak Jerry?""Iya.""Kalau begitu, kamu juga jaga hati untukku."Bela menyentil hidung Nial."Iya, Sayang. Mas pasti jaga hati untukmu. Lagi pula bagaimana caranya Mas bisa berpaling dari wajah cantik ini? Coba katakan bagaimana caranya?""Mulai merayu!"Nial bangkit, meraih pinggang Bela dan membuatnya duduk di atas meja ma
***Tujuh hari setelahnya ….…."Pak Nial ingin langsung menuju tempat yang kamu katakan tadi?" Jerry bertanya saat Han, sopir Nial membuka pintu mobil untuk mereka."Iya. Aku akan pergi ke sana. Kamu pergilah jemput Bela!"Jerry mengangguk, Nial segera memasuki mobil dan Han membawanya melesat meninggalkan bandara sore ini.Satu minggu berlalu dengan sangat lambat. Membuat Bela dan juga Nial sama-sama merindu dalam jarak yang terlampau jauh. Hari ini di bandara sekitar pukul empat sore lewat beberapa menit, Nial berjalan keluar bandara bersama Jerry. Ia akhirnya tiba di Jakarta.Sudah satu minggu--yang terasa satu abad-ini ditinggalkannya. Ia rindu Bela, meski setiap malam mereka malakukan panggilan video, rasanya itu tidak berarti apa-apa. Karena pertemuan jauh lebih berharga bagi Nial. Dia harus mengakui bagaimana hebat bayangan Bela telah mengisi tiap rongga dadanya hingga sesak. Ia bahkan rindu setiap malam memeluk tubuh kecilnya yang memberikan kehangatan sempurna.Rindu yang
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si