"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah ini
"Dad!" Leigh yang tengah asyik membaca buku di ruang kerjanya, sontak mengangkat kepala. "Daddy," panggil Zavier.Buku yang di tangan Leigh langsung jatuh di lantai. Tubuhnya menuntun lelaki tua itu berdiri tanpa dia sadari. Mulutnya terasa kaku untuk mengeluarkan kata-kata. "Zavier!" Benarkah itu putra yang selama ini menghilang tiba-tiba ada di depan matanya?"Dad!" Zavier berhambur memeluk pria tua itu. Sungguh dia sangat merindukan ayahnya. "Aku sangat merindukanmu, Dad," ucapnya memeluk erat tubuh pria tua itu. "Zavier!" Leigh membalas pelukan anaknya sambil menangis. Dia pun sangat rindu, apalagi Zavier anak bungsu yang begitu dekat dengannya. "Daddy!" Leigh mengungkapkan rasa rindu yang terasa menerpa dadanya. Hubungannya dan Zayyan kembali renggang setelah anaknya itu tahu bahwa dirinya terlibat dalam kasus penyembunyian Zea. Padahal Leigh hanya berniat melindungi dan tak ada niat memisahkan. Jika bisa, dia bahkan ingin Zayyan dan Zea bersama hingga maut memisahkan. Namu
Di sebuah ruangan mewah, tampak seorang pria tampan tengah menatap kekosongan ke arah jendela ruangannya yang begitu transparan dan menampilkan seluk beluk, kepadatan kota Jakarta. Di tangannya terdapat gelas yang berisi vodka, sesekali dia sesat dengan tatapan kosong dan hampa. "Selamat siang, Tuan," sapa sang asisten yang sedari tadi menunggu seperti manekin. "Kenapa?" "Ada tuan Josua, tuan Samuel dan tuan Niko yang ingin bertemu dengan Anda," lapornya. "Suruh mereka masuk!" "Baik, Tuan." Lelaki itu meletakan gelas di tangannya di atas meja. Tak lupa tangan dia selipkan di kedua saku celananya. Tidak lama kemudian masuk tiga pemuda tampan ke dalam ruangannya. Ketiganya langsung membungkuk hormat. "Selamat siang, Tuan," sapa mereka secara bersamaan. "Ada apa?" Dia melipat kedua tangan di dada. Tatapannya nyaris seperti elang yang menyeramkan. "Mereka sudah kembali, Tuan," jawab salah satunya. Lelaki itu langsung terdiam. Entah apa yang membuatnya tak bisa berkata-kata? Sel
"Apa yang kau lakuka, Grace?" tanya Leigh heran melihat sang istri yang ada di ruang rahasia yang bahkan tak pernah di masuki oleh orang lain, selain dirinya dan almarhum sang istri. "Tidak apa-apa," kilah Grace terlihat gugup. Wajah wanita tua itu tampak pucat fasih. Leigh memasukan kedua tangannya di saku celana. Dia berjalan menghampiri wanita itu dengan tatapan licik. "Kau tahu, bukan? Tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruangan ini tanpa seizinku?" ujarnya dengan nyalang dan tatapan yang begitu tajam. "Aku... aku..." Wajah wanita itu semakin tampak gugup dan juga takut. Apalagi tatapan Leigh yang begitu tajam, seolah mampu menembus indera penglihatannya. "Apa yang kau cari di sini? Katakan padaku!" Pria paruh baya itu mencengkeram kuat dagu istrinya. Sedikitpun tak ada rasa cinta di hati pria yang masih gagah tersebut. "Sakit, Leigh!" jerit Grace memegang tangan Leigh yang berada di dagunya. "Cepat katakan!" sentak Leigh dengan mata memerah. Ruangan privasi ini memang dia
Zayyan keluar dari mobil, ketika Leo membuka pintu untuknya. Mereka sudah sampai di apartemen mewah milik Zayyan. Selama enam tahun belakangan ini, Zayyan memang memilih pindah. Hal itu dia lakukan adalah untuk melupakan semua hal tentang Zea. Kaki jenjangnya membawa dia masuk ke dalam apartemen tersebut. Zayyan hanya hidup bersama Ar dan Leo serta beberapa pelayan pribadi dan pengawal yang dia bawa dari mansion. Tujuan dia pindah bukan semata ingin melupakan Zea, tetapi ingin menghindari sang ayah. Rasa kecewa di dalam hati Zayyan telah membuatnya membenci pria paruh baya tersebut."Son," panggilnya melihat Ar yang sudah duduk dengan laptop di atas pangkuannya. "Daddy," balas Ar tersenyum manis. Pria kecil yang sudah berusia sepuluh tahun itu tumbuh menjadi sangat pintar, cerdas dan juga tampan. Sekarang dia sudah duduk di kelas menengah pertama. Dia memiliki keahlian di bidang IT dan menyukai olah raga e-sport. "Kau sedang apa, Son?" Zayyan duduk di sofa samping putra kesayanga
"Ayah!" Zea berhambur masuk ke dalam ruangan rawat inap Miko. Miko yang tampak terkejut dan tak bisa bergerak hanya bisa mengerjabkan matanya berulang kali. Apakah dia bermimpi? Atau salah lihat? Apakah itu benar-benar anaknya Zea yang dia pergi dan hilang selama beberapa tahun terakhir?"Ayah, apa yang terjadi?" Tangis Zea tumpah ruah. Wanita itu memeluk sang ayah dengan erat sembari meluapkan. "Ayah maafkan aku. Maafkan aku, Ayah," ucapnya dengan penuh rasa penyesalan.Ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dada Zea melihat kondisi sang ayah. Andai saja waktu itu dia tidak pergi meninggalkan ayahnya. Pastilah Miko takkan mengalami ini semua. Ayahnya itu pasti masih sehat seperti biasa. Zea melepaskan pelukannya. Hatinya bagai ditumpahi cuka asam saat melihat tubuh ayahnya yang kurus dan terurus, apalagi dengan banyak selang yang mengalir di tubuh ayahnya itu. "Ayah!" Zea mengenggam tangan kurus Miko yang tinggal tulang. "Apa yang terjadi? Kenapa Ayah bisa seperti ini?"
Zayyan terkejut mendengar ucapan putranya itu. Apakah ini anak kembarnya yang dibicarakan oleh ketiga anak buahnya? Seketika jantung Zayyan berdegup kencang, ada rasa panas yang menjalar dari telinga hingga ke mata. "Dad, kenapa diam?" tanya Ar melihat sang ayah yang hanya diam dengan tatapan kosong. "Kenapa mata Daddy memerah?" sambungnya kemudian. "Hem, tidak apa-apa, Son. Hanya kelilipan," jawab Zayyan asal. "Iya sudah ayo kita makan!" ajaknya."Iya, Dad." Ayah dan anak itu berjalan menuju meja makan. Zayyan masih memakai kemeja putih yang dia gulung sampai siku. Keduanya duduk dan Zayyan mengambilkan makanan untuk putranya seperti dulu. Sesibuk apapun urusan kantor, dia tidak pernah lalai dengan waktunya bersama Ar. Bagi Zayyan, waktu bersama putranya itu adalah yang terbaik. Apalagi mereka memang hanya berdua saja dan tak memiliki siapa-siapa lagi. "Dad," panggil Ar di tengah-tengah makannya. "Iya, Son? Kenapa?" tanya Zayyan dengan nada yang begitu lembut. "Ar merindukan m
Saat kehilangan seseorang yang dicintai, air mata tak boleh benar-benar kering. Menangis boleh, malah harus, tetapi ingatlah jangan sampai meratap. Sebab, tak ada orang yang bisa menghindari hal tersebut.Begitu juga dengan Zea, kehilangan sang ayah membuat dia juga hidup tanpa arah dan tujuan. Sekearang, tempatnya untuk bersandar atau sekedar bercerita segala penat juga luka, tak ada lagi di dunia ini. "Mommy!" Ketiga anak kembar itu berhambur ke arah Zea. Zea langsung menoleh dan mengusap pipinya dengan kasar. Dia langsung berjongkok dan menyamakan tingginya dengan ketiga anak kembarnya itu. "Mommy yang kuat!" seu Zayn menyemangati. "Mommy tidak pernah sendirian," sambung Zaen yang juga ikut memberi semangat. "Ada kami, Mommy," ujar Ziva. Zea memaksakan senyumnya. Di titik rapuh dalam hidupnya, dia bersyukur karena memiliki ketiga anak yang hebat dan selalu bisa menghibur dirinya. Setidaknya, luka yang ada dalam dada Zea, sedikit terobati melihat senyum ketiga anaknya itu. "T