"Tidak semudah itu, Sean!" balas Zevanya dengan senyuman mengejek ke arah lelaki yang ada di depannya itu. "Kenapa tidak mudah?" Sean membalas dengan senyuman ejekan. "Kau lupa? Jika kau membongkar identitas Zea, maka dia yang akan jadi korban. Sementara aku akan bebas karena aku mengenal suamiku, dia tidak akan melepaskan orang yang sudah bermain mempermainkan dirinya!" tekan Zevanya. "Sudah, sudah!" Miko melerai kedua orang itu. "Zeva, katakan apa maksud dan tujuanmu meminta adikmu datang ke sini?" Miko menatap ke arah anak sulungnya. "Apa Ayah tidak dengar? Tadi aku memerintahkan agar Zea mengambil rahasia perusahaan Zayyan," sahut Zevanya. Zea menggeleng tidak mau. Dia tidak akan pernah mengkhianati Zayyan, apalagi selama ini kakak iparnya itu sudah baik padanya. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Kak," tegas Zea. "Kenapa? Apa kau mulai jatuh cinta pada pria yang tak memiliki perasaan itu?" * * * "Kenapa dengan wajahmu?" Samuel duduk di samping Zayyan. "Berikan
Zea keluar dari mobil. Dia menghela napas panjang saat melihat gerbang terbuka dengan beberapa pengawal yang tampak tertidur di pos jaga. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah menghampirinya. Wajah Zea langsung pucat fasih, apalagi dia tak mengenal itu mobil siapa. Tampak Samuel keluar dari dalam mobil. Kening Zea semakin mengerut heran, jelas dia tidak kenal siapa lelaki yang ada di depannya. "Nona Zevanya!" "Siapa?" tanya Zea penuh selidik. "Saya anak buah tuan Zayyan. Tuan sekarang berada di club' dalam keadaan mabuk. Dia meminta Anda untuk menjemputnya," lapor Samuel hormat. Zea terkejut mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Samuel. Wanita itu menatap Samuel penuh selidik. "Kakak tidak bohong, 'kan?" Samuel terkekeh ketika Zea memangilnya kakak. Gadis ini benar-benar tak bisa menyamar jadi orang lain. Samuel membuka pintu mobil agar Zea masuk ke dalam sana. "Silakan masuk, Nona. Saya akan antar Anda menemui tuan!" ucap Samuel sopan. Zea tampak ragu,
"Kita harus cari cara agar Zea mau mencuri rahasia perusahaan Zayyan," ucap Zevanya tampak frustasi. Adiknya itu sangat sulit sekali untuk dibujuk dan rayu. "Kau benar, Sayang." Marvin tersenyum sendiri mengingat wajah Zea. "Kenapa kau tersenyum tidak jelas?" Zevanya memincingkan matanya curiga. "Kau menyukai adikku?" "Kau ini berbicara apa sih, Sayang? Mana mungkin aku menyukai wanita lain selain dirimu!" kilah Marvin sambil memeluk tubuh Zevanya dari belakang. "Awas saja kalau kau menyukainya!" ancam Zevanya menatap kekasihnya tajam. "Itu tidak akan mungkin terjadi, Sayang," sangkal Marvin mengecup leher Zevanya. Zevanya masih kesal karena Zea susah sekali diajak kerja sama. Namun, dia tidak akan tinggal diam. Nantinya dia akan kembali pada Zayyan dan meminta uang pada suaminya itu sendiri. "Apa aku kembali saja pada Zayyan?" gumam Zevanya yang masih didengar oleh Marvin. "Apa kau yakin akan kembali?" tanya Marvin membalikan tubuh kekasihnya itu. "Tidak ada pilihan lain. Ak
Zea membuka matanya perlahan. Dia merasa ada sesuatu yang menimpa tubuhnya dengan berat. Wanita itu terkejut ketika melihat sang kakak ipar yang masih berada di atasnya. Air mata Zea menetes mengalir membasahi pipi cantiknya. Dadanya seketika sesak mengingat pergulatan panas mereka tadi malam. Zea berusaha menyingkirkan tangan Zayyan dari perutnya. Wanita itu perlahan menurunkan kakinya. Dia meringgis kesakitan merasakan perih di area sensitifnya. "Aku hancur," gumamnya berlinang air mata. "Apa yang bisa aku banggakan pada calon suamiku nanti, sementara mahkota yang selama ini aku jaga dengan susah payah malah direnggut oleh kakak iparku sendiri!" Gadis yang sudah menjadi wanita itu memungut pakaiannya yang ada di atas lantai. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan kaki yang diseret, sebab area sensitifnya terasa benar-benar sakit. Apalagi ini pengalaman pertama bagi Zea berhubungan badan dengan pria. Zea menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin. Tanda kepemilikan bekas Zay
Zayyan mengeliat di balik selimut tebalnya. Pantulan cahaya matahari menyinari wajah tampan lelaki itu. Dia mengumpulkan nyawanya yang serasa terbang ke alam mimpi. Sejenak lelaki itu terduduk sambil menguap beberapa kali. Kepalanya masih berdenyut sakit karena pengaruh obat alkohol semalam. "Tunggu! Kenapa dingin?" gumamnya. Segera lelaki itu menyimak selimut yang menutupi tubuhnya. Pupil mata Zayyan seolah hendak keluar dari tempatnya, ketika menyadari bahwa dirinya tak memakai sehelai benang pun. "Ya, Tuhan! Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidak memakai baju?" Lelaki itu panik, apalagi melihat pakaiannya berserakan di dekat ranjang. Zayyan turun dari ranjang mengambil pakaiannya. Sekilas lelaki itu melirik ke atas ranjang, tampak bercak merah di sprei warna putih yang membungkus kasur. "Kesucian siapa yang sudah aku ambil?" Dia mengusar kepala dengan kesal. Sialnya dia sama sekali tidak ingat, siapa yang sudah tidur dengannya semalam. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.
Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Dia masuk ke dalam mansion mewah tersebut, lalu mencari keberadaan Zea. Saat Zayyan ingin masuk ke dalam kamar mereka. Seketika langkah kakinya terhenti ketika melihat Zea, Ar dan Zavier yang sudah ada di meja makan. Tidak ada Leigh, Ruth dan Grace di sana karena pagi-pagi tadi mereka sudah berangkat melaksanakan aktifitas masing-masing. "Daddy!" panggil Ar. Sontak Zavier dan Zea ikut melihat ke arah pria itu. Raut wajah Zea langsung berubah, tetapi dia berusaha tenang dan mencoba tak gugup. Zayyan berjalan ke arah tiga orang itu. Tatapannya tampak sendu dan merasa bersalah. "Daddy, ayo salapan. Mommy sudah memasak untuk kita!" seru Ar menghampiri Zayyan lalu menggandeng tangan ayahnya itu. Lidah Zayyan masih berkelut. Tatapan matanya tertuju pada Zea yang malah yang malah tersenyum manis padanya, seolah tak terjadi sesuatu pada mereka. "Ayo, Kak. Makan!" ajak Zea menarik kursi untuk lelaki itu. Zayyan menurut, apalagi tang
"Zea!" "Aw, Kak! Sakit!" rintih Zea ketika Zevanya menarik tangannya dengan kasar. "Mana uang yang aku minta?" tanya Zevanya dengan mata tajamnya melihat sang adik. "Uang apa sih, Kak?" Zea mengusap lengannya yang terasa sakit akibat cengkraman tangan Zevanya. "Kau lupa atau pura-pura lupa?" ketus Zevanya. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa!" tolak Zea. "Apa susahnya sih, Zea? Kau tinggal meminta saja uang pada Zayyan!" sentak Zevanya yang geram pada adiknya itu. Tok tok tok!"Nona." Terdengar Lewi memangil nama Zevanya. "Apakah Anda sudah selesai berganti pakaian? Sebentar lagi kita pemotretan tuan Zayyan dan tuan Morgan sudah menunggu Anda!" lapor Lewi."Kak, aku harus keluar!" Zea berusaha melepaskan diri dari sang kakak. "Enak saja. Hari ini aku akan kembali menjadi Zevanya!" Zevanya mendorong tubuh adiknya tinggal terjerembab di atas lantai. Lalu wanita itu keluar dan mengunci pintu mengurung sang adik. "Apakah Anda sudah berganti pakaian, Nona?" tanya Lewi. "Kau tidak lihat,
Zayyan mengusap wajahnya dengan kasar ketika tak menemukan Zea. Lelaki itu tampak duduk dengan tak tenang. Beberapa kali dia mengumpat kasar dan memaki benda-benda di dekatnya. "Kau tidak bisa pergi dariku, Zea!" tekan Zayyan. Tiba-tiba pintu ruangan Zayyan terbuka. Tampak Zevanya berjalan masuk ke dalam ruangan suaminya itu. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Zevanya tersenyum licik. Zayyan yang baru menyadari kehadiran sang istri. Dia menatap wanita itu tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, Zevanya?!" tanyanya dengan nada dingin dan juga tajam. "Apa yang salah jika aku menemui suamiku?" Zayyan tak menanggapi. Jika istrinya itu sudah kembali padanya pasti hanya ada satu yaitu, uang. Zevanya duduk di pangkuan sang suami. Lalu dia mengelus dada lelaki itu dengan lembut. "Jangan sentuh-sentuh, Jalang!" sentak Zayyan mendorong wanita itu hingga jatuh. "Zayyan!" Zevanya merengut kesal. Dia berdiri sudah payah karena gaunnya yang sangat pendek. "Apa yang kau inginkan?" tanya Zayyan taj
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur