Zea berjalan dengan mengendap-endap keluar dari pagar mansion mewah itu. "Hufh, untung saja para pengawal tidak melihatku," gumam Zea bernapas lega. Gadis itu sudah memesan taksi sebelum keluar dari rumah mewah itu. Entah ke mana dia akan pergi? Wajahnya tampak gelisah tak menentu. Zea masuk ke dalam mobil. Dia mengelus dada lega karena tak ada yang melihatnya. Jangan heran jika dia ahli dalam hal bersembunyi dan main kabur-kaburan seperti itu karena memang sejak sekolah menengah atas dirinya pernah ikut karate. Walaupun Zea wanita lemah lembut, tetapi dia memiliki sisi bar-bar seperti wanita pada umumnya. "Aku harus bertemu Kak Zeva," gumam Zea menghela napas panjang. "Kak Zeva harus bertanggungjawab, aku tidak mau terkurung dan terikat dalam rumah neraka itu." Zea menatap kosong ke arah jendela kaca mobil. Tanpa sadar air mata gadis itu menetes membahasi pipi cantiknya. Seketika dadanya terasa sesak yang menyekat. Dia mencoba menikmati perannya sebagai Zevanya, tetapi tetap
"Tidak semudah itu, Sean!" balas Zevanya dengan senyuman mengejek ke arah lelaki yang ada di depannya itu. "Kenapa tidak mudah?" Sean membalas dengan senyuman ejekan. "Kau lupa? Jika kau membongkar identitas Zea, maka dia yang akan jadi korban. Sementara aku akan bebas karena aku mengenal suamiku, dia tidak akan melepaskan orang yang sudah bermain mempermainkan dirinya!" tekan Zevanya. "Sudah, sudah!" Miko melerai kedua orang itu. "Zeva, katakan apa maksud dan tujuanmu meminta adikmu datang ke sini?" Miko menatap ke arah anak sulungnya. "Apa Ayah tidak dengar? Tadi aku memerintahkan agar Zea mengambil rahasia perusahaan Zayyan," sahut Zevanya. Zea menggeleng tidak mau. Dia tidak akan pernah mengkhianati Zayyan, apalagi selama ini kakak iparnya itu sudah baik padanya. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Kak," tegas Zea. "Kenapa? Apa kau mulai jatuh cinta pada pria yang tak memiliki perasaan itu?" * * * "Kenapa dengan wajahmu?" Samuel duduk di samping Zayyan. "Berikan
Zea keluar dari mobil. Dia menghela napas panjang saat melihat gerbang terbuka dengan beberapa pengawal yang tampak tertidur di pos jaga. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah menghampirinya. Wajah Zea langsung pucat fasih, apalagi dia tak mengenal itu mobil siapa. Tampak Samuel keluar dari dalam mobil. Kening Zea semakin mengerut heran, jelas dia tidak kenal siapa lelaki yang ada di depannya. "Nona Zevanya!" "Siapa?" tanya Zea penuh selidik. "Saya anak buah tuan Zayyan. Tuan sekarang berada di club' dalam keadaan mabuk. Dia meminta Anda untuk menjemputnya," lapor Samuel hormat. Zea terkejut mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Samuel. Wanita itu menatap Samuel penuh selidik. "Kakak tidak bohong, 'kan?" Samuel terkekeh ketika Zea memangilnya kakak. Gadis ini benar-benar tak bisa menyamar jadi orang lain. Samuel membuka pintu mobil agar Zea masuk ke dalam sana. "Silakan masuk, Nona. Saya akan antar Anda menemui tuan!" ucap Samuel sopan. Zea tampak ragu,
"Kita harus cari cara agar Zea mau mencuri rahasia perusahaan Zayyan," ucap Zevanya tampak frustasi. Adiknya itu sangat sulit sekali untuk dibujuk dan rayu. "Kau benar, Sayang." Marvin tersenyum sendiri mengingat wajah Zea. "Kenapa kau tersenyum tidak jelas?" Zevanya memincingkan matanya curiga. "Kau menyukai adikku?" "Kau ini berbicara apa sih, Sayang? Mana mungkin aku menyukai wanita lain selain dirimu!" kilah Marvin sambil memeluk tubuh Zevanya dari belakang. "Awas saja kalau kau menyukainya!" ancam Zevanya menatap kekasihnya tajam. "Itu tidak akan mungkin terjadi, Sayang," sangkal Marvin mengecup leher Zevanya. Zevanya masih kesal karena Zea susah sekali diajak kerja sama. Namun, dia tidak akan tinggal diam. Nantinya dia akan kembali pada Zayyan dan meminta uang pada suaminya itu sendiri. "Apa aku kembali saja pada Zayyan?" gumam Zevanya yang masih didengar oleh Marvin. "Apa kau yakin akan kembali?" tanya Marvin membalikan tubuh kekasihnya itu. "Tidak ada pilihan lain. Ak
Zea membuka matanya perlahan. Dia merasa ada sesuatu yang menimpa tubuhnya dengan berat. Wanita itu terkejut ketika melihat sang kakak ipar yang masih berada di atasnya. Air mata Zea menetes mengalir membasahi pipi cantiknya. Dadanya seketika sesak mengingat pergulatan panas mereka tadi malam. Zea berusaha menyingkirkan tangan Zayyan dari perutnya. Wanita itu perlahan menurunkan kakinya. Dia meringgis kesakitan merasakan perih di area sensitifnya. "Aku hancur," gumamnya berlinang air mata. "Apa yang bisa aku banggakan pada calon suamiku nanti, sementara mahkota yang selama ini aku jaga dengan susah payah malah direnggut oleh kakak iparku sendiri!" Gadis yang sudah menjadi wanita itu memungut pakaiannya yang ada di atas lantai. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan kaki yang diseret, sebab area sensitifnya terasa benar-benar sakit. Apalagi ini pengalaman pertama bagi Zea berhubungan badan dengan pria. Zea menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin. Tanda kepemilikan bekas Zay
Zayyan mengeliat di balik selimut tebalnya. Pantulan cahaya matahari menyinari wajah tampan lelaki itu. Dia mengumpulkan nyawanya yang serasa terbang ke alam mimpi. Sejenak lelaki itu terduduk sambil menguap beberapa kali. Kepalanya masih berdenyut sakit karena pengaruh obat alkohol semalam. "Tunggu! Kenapa dingin?" gumamnya. Segera lelaki itu menyimak selimut yang menutupi tubuhnya. Pupil mata Zayyan seolah hendak keluar dari tempatnya, ketika menyadari bahwa dirinya tak memakai sehelai benang pun. "Ya, Tuhan! Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidak memakai baju?" Lelaki itu panik, apalagi melihat pakaiannya berserakan di dekat ranjang. Zayyan turun dari ranjang mengambil pakaiannya. Sekilas lelaki itu melirik ke atas ranjang, tampak bercak merah di sprei warna putih yang membungkus kasur. "Kesucian siapa yang sudah aku ambil?" Dia mengusar kepala dengan kesal. Sialnya dia sama sekali tidak ingat, siapa yang sudah tidur dengannya semalam. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.
Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Dia masuk ke dalam mansion mewah tersebut, lalu mencari keberadaan Zea. Saat Zayyan ingin masuk ke dalam kamar mereka. Seketika langkah kakinya terhenti ketika melihat Zea, Ar dan Zavier yang sudah ada di meja makan. Tidak ada Leigh, Ruth dan Grace di sana karena pagi-pagi tadi mereka sudah berangkat melaksanakan aktifitas masing-masing. "Daddy!" panggil Ar. Sontak Zavier dan Zea ikut melihat ke arah pria itu. Raut wajah Zea langsung berubah, tetapi dia berusaha tenang dan mencoba tak gugup. Zayyan berjalan ke arah tiga orang itu. Tatapannya tampak sendu dan merasa bersalah. "Daddy, ayo salapan. Mommy sudah memasak untuk kita!" seru Ar menghampiri Zayyan lalu menggandeng tangan ayahnya itu. Lidah Zayyan masih berkelut. Tatapan matanya tertuju pada Zea yang malah yang malah tersenyum manis padanya, seolah tak terjadi sesuatu pada mereka. "Ayo, Kak. Makan!" ajak Zea menarik kursi untuk lelaki itu. Zayyan menurut, apalagi tang
"Zea!" "Aw, Kak! Sakit!" rintih Zea ketika Zevanya menarik tangannya dengan kasar. "Mana uang yang aku minta?" tanya Zevanya dengan mata tajamnya melihat sang adik. "Uang apa sih, Kak?" Zea mengusap lengannya yang terasa sakit akibat cengkraman tangan Zevanya. "Kau lupa atau pura-pura lupa?" ketus Zevanya. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa!" tolak Zea. "Apa susahnya sih, Zea? Kau tinggal meminta saja uang pada Zayyan!" sentak Zevanya yang geram pada adiknya itu. Tok tok tok!"Nona." Terdengar Lewi memangil nama Zevanya. "Apakah Anda sudah selesai berganti pakaian? Sebentar lagi kita pemotretan tuan Zayyan dan tuan Morgan sudah menunggu Anda!" lapor Lewi."Kak, aku harus keluar!" Zea berusaha melepaskan diri dari sang kakak. "Enak saja. Hari ini aku akan kembali menjadi Zevanya!" Zevanya mendorong tubuh adiknya tinggal terjerembab di atas lantai. Lalu wanita itu keluar dan mengunci pintu mengurung sang adik. "Apakah Anda sudah berganti pakaian, Nona?" tanya Lewi. "Kau tidak lihat,