"Aish, aku lupa bawa baju ganti lagi," gerutu Zea.
Zea membalut tubuhnya dengan handuk yang terlilit sampai dada. Wanita itu keluar mengendap-endap, takut jika Zayyan melihatnya. Zea berjalan ke arah lemari yang tadi ditunjuk oleh suami kakaknya itu. Dia mendelik melihat baju-baju kurang bahan yang ada di sana. "Aduh, mana piyamanya?" Zea menyimak baju-baju mahal yang sengaja digantung di sana. "Sudahlah, aku pakai ini saja. Sepertinya hanya ini yang tidak terlalu terbuka." "Hem!" Tubuh Zea seketika menegang, secepatnya wanita itu mengambil satu baju piyama, lalu menutupi dadanya. Zea berbalik dengan wajah yang sudah merah seperti tomat masak. Dia memaksakan senyum ketika melihat Zayyan yang berdiri di belakangnya sambil melipat kedua tangan di dada. "Kenapa lama?" Zayyan menelan saliva ketika melihat paha mulus Zea. Sebelumnya walau Zevanya telanjang di depannya, pria itu sama sekali tak berhasrat. Namun, kenapa saat melihat adik iparnya ini adik kecilnya seketika sesak di dalam sana. Zea mengikuti arah pandang Zayyan, seketika matanya membulat sempurna ketika apa yang dilihat lelaki itu. "Dasar mesum!" Dia mendorong tubuh Zayyan dan berlari ke arah kamar mandi. Zayyan hampir terjerembab ke atas lantai, jika dia tak menahan dengan kakinya. "Kau–" Namun, terlambat karena Zea sudah menyembunyikan dirinya di dalam kamar mandi. Lagi-lagi Zayyan terkekeh gemas. Ah, kenapa gadis itu sungguh menggemaskan? Apa sebelumnya dia memang belum pernah dekat dengan laki-laki lain? Kenapa ditatap begitu saja sudah membuatnya salah tingkah. Zayyan kembali duduk di sofa seraya memainkan benda pintar itu sambil menunggu Zea keluar dari kamar mandi. "Kenapa dia lama sekali? Dia berganti atau bersemedi sih?" gerutu Zayyan. "Kau tidak akan bisa mempermainkan aku, Gadis Kecil. Lihat saja nanti, aku takkan melepaskanmu." Dia tersenyum smrik. Tidak lama kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi. Dia merutuki piyama seksi yang membungkus tubuhnya. "Kau mandi atau bertapa?" sindir Zayyan. "Mandi, Kak," jawab Zea jujur. Zayyan menatap Zea dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sudut bibir pria itu tertarik melihat wajah polos Zea tanpa make-up. Wanita ini memiliki kecantikan alami yang tak perlu diragukan lagi. "Duduk di sini!" Zayyan menepuk pahanya. "Eh tidak mau, Kak!" tolak Zea sambil menggeleng. Jari jemarinya saling meremas satu sama lain menahan gugup. "Aku tidak suka penolakan atau kau mau..." Zayyan berjalan ke arah Zea. "Kakak mau apa?" Jantung Zea berdegup kencang. "Kau mau kita berolahraga ranjang, Sayang. Aku sudah lama tidak membuatmu mendesah di bawahku. Bukankah dulu kau yang selalu merayuku." Zea menunduk sambil mengigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu seperti apa kehidupan kakaknya, jelas dia tidak akan bisa seperti Zevanya. Lalu apa yang harus Zea lakukan? Bagaimana jika sampai ketahuan bahwa dirinya bukan istri dari pria itu? Bisa-bisa dia dan sang ayah tinggal nama. "Kenapa diam? Atau kau memang mau–" "Iya, Kak. Aku akan duduk di pangkuan Kakak," ujar Zea memaksakan senyum. "Bagus. Ayo sini!" Zayyan duduk kembali di sofa. Zea menghembuskan napasnya kasar lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di pangkuan laki-laki itu. "Apa kau lapar?" Tadi Zayyan hanya melihat Zea makan sedikit karena suasana meja makan yang canggung. "Aku masih kenyang, Kak," jawab Zea sembari mengangguk dan tak berani menatap wajah Zayyan. Tiba-tiba perut wanita itu berbunyi. Wajah Zea langsung merah, rasanya dia ingin mencebur ke sungai. "Perutmu tidak bisa berbohong, Sayang." Tanpa sadar Zayyan tertawa padahal, sudah belasan tahun dia hampir tak pernah tersenyum dan tertawa, sejak kehilangan sang ibu. "Hehe, aku masih sedikit lapar, Kak. Tapi, tidak banyak. Aku makan besok pagi saja," ujar Zea. "Apa kau akan membiarkan perutmu kelaparan semalam?" Zayyan geleng-geleng kepala. Zea hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Malu sudah pasti, rasanya dia ingin berlari kabur dan ini, kenapa dia menduduki benda keras? Ah jangan-jangan, adik lelaki itu sudah berdiri. Tidak lama kemudian, datang tiga orang pelayan sembari mendorong troli berisi beberapa makanan. "Selamat malam, Tuan. Makanannya sudah siap!" lapor salah satunya. "Letakan di atas meja!" perintah Zea. Para pelayan itu terheran-heran melihat Zea yang duduk di pangkuan Zayyan. Sebelumnya mereka tak pernah seakrab itu, bahkan saling tegur sapa saja hampir tidak pernah. Kecuali, saat Zion ingin meminta uang untuk membeli barang-barang mahal. "Kami permisi, Tuan," pamit ketiga pelayan itu. Zayyan tak membalas. Dia malah melihat ke arah Zea yang tampak bingung melihat makan-makanan yang ada di atas meja. "Makanlah!" Dia mengangkat tubuh gadis itu agar turun dari pangkuannya. "Eh!" Zea lagi-lagi terkejut. "Cepat makan!" suruh Zayyan. "Iya, Kak." Zea menatap makanan mewah yang ada di atas meja. Wanita itu sampai bingung mau makan yang mana dulu? 'Kenapa semuanya makanan ini seafood, mana aku alergi lagi?' batin gadis itu. "Kau mau aku suapi?" Zayyan menaikan turunkan kedua alisnya menggoda Zea. Zea menggeleng. "Tidak, Kak. Aku akan makan sendiri," tolaknya memaksakan senyum. "Kalau begitu cepat makan. Aku sudah mengantuk!" "Iya, Kak." Zea mengambil beberapa makanan. Sebenarnya dia tahu ingin makan, tetapi kalau menolak Zayyan pasti curiga. Zea alergi makanan jenis seafood, berbeda dengan Zevanya yang memang menyukai jenis makanan seperti itu. Zea makan pelan, baru saja dia telan sedikit makanan itu, tenggorokannya sudah terasa dicekik. Zea terus memaksa makanan itu masuk ke dalam mulutnya dan mencoba tak peduli dengan rasa aneh yang mulai menjalar. "Enak?" Zea membalas dengan anggukan. "Makanlah yang banyak." Zayyan mengusap kepala Zea. "Kak." Zea berusaha menghindar dari usapan Zayyan. "Kenapa? Kau tidak sudi aku sentuh? Jangan lupa, aku adalah suamimu," geram Zayyan. Sepertinya Zea ini keras kepala dari Zevanya. Sialnya lagi, kenapa dia malah peduli? "Bukan begitu, Kak. Aku sedang makan," kilah Zea. "Tunggu! Kenapa wajahmu merah?" tanya Zayyan panik. Zea meletakkan piring di atas meja. Dia menggaruk-garuk tangan dan lehernya yang gatal-gatal dan tubuhnya terasa panas. "Astaga, apa yang terjadi? Kau kenapa?" tanya Zayyan panik. Pria itu langsung mengangkat tubuh kecil Zea menuju ranjang. "Tunggu, sebentar!" Zayyan langsung menelpon asistennya agar membawa dokter masuk ke dalam kamarnya. Zea masih menggaruk tubuhnya bahkan kulitnya sedikit terkelupas dan itu meninggalkan perih. Harusnya dia tadi tidak memaksa makanan itu masuk ke dalam mulutnya. 'Tolong aku, Tuhan. Jangan sampai Kak Zayyan tahu jika aku bukan Kak Zeva. Tapi, ini gatal sekali dan aku tidak kuat menahannya!' teriak Zea dalam hati. "Apakah sakit?" tanya Zayyan lembut. Zea membalas dengan anggukan. "Tunggu! Kenapa kau tiba-tiba alergi seafood? Bukankah ini makanan kesukaanmu?" Bersambung ...Zayyan menatap Zea yang terlelap setelah diberikan obat oleh dokter. Lelaki itu mengusap kening adik iparnya. Tak dia sangka Miko berani-berani memberikan istri palsu padanya. "Aku tidak tahu kau siapa. Aku juga tidak tahu apa maksudmu menyamar jadi Zeva. Apakah maksudmu ingin menipuku seperti ayahmu? Baiklah, Gadis Kecil. Aku akan ikuti permainanmu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu sekalipun Zeva kembali," ucapnya. Zayyan menaikan selimut Zea. Entah kenapa ada perasaan damai saat melihat wajah polos wanita itu? Apakah sebenarnya yang sudah Zayyan rasakan? Kenapa rasanya nyaman sekali? Zayyan keluar dari kamarnya. Tampak beberapa pengawal berjaga di depan pintu kamar. "Jaga dia. Pastikan tidak ada orang yang masuk ke dalam kamar selain aku!" titah Zayyan. "Baik, Tuan Muda." Keempat pengawal dengan jas rapi itu membungkuk hormat. Zayyan berjalan keluar dengan tangan yang terselip di saku celananya. Sorotan mata tajam seperti elang dengan wajah menyeramkan dan dingin. "Kau
Zea menghela napas panjang. Zayyan masih memungginya. "Aduh, apa yang harus aku lakukan?" Gadis cantik bergelar dokter itu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Zayyan masih merajuk. Entah kenapa dibentak seperti tadi membuat hatinya sedikit tergores sakit? Zea adalah orang pertama yang berani membentaknya. "Kak," panggil Zea. "Aku siapkan sarapan dulu ya, Kak," ujar gadis itu kikuk. Zea takut jika Zayyan menggamuk dan menyakiti ayahnya. Zayyan masih tak menggubris. Entah kenapa dia ingin Zea membujuk serta merayunya seperti yang sering dilakukan Zevanya? Apakah ini hanya perasaan kebetulan atau memang Zayyan membutuhkan perhatian lebih dari seseorang? Sejak sang ibu meninggal, dirinya seperti kehilangan kasih sayang yang didapatkan oleh banyak orang. "Iya sudah, Kak. Aku keluar dulu!" Zea mendesah saat lelaki itu tak menanggapi ucapannya. "Tunggu!" cegah Zayyan saat Zea hendak keluar dari kamar. "Eh, Iya, Kak." Zea berbalik dan tersenyum. "Mandikan aku!
Zea berjalan menyusul masuk ke dalam kamar mandi. Gadis cantik dengan rambut panjang sebahu serta poni yang bertengger di keningnya itu dengan menunduk, jantungnya berdebar-debar tak karuan. Brak! Zea menabrak benda keras di depannya. "Aw!" Gadis itu mengusap keningnya yang terbentur. "Kalau jalan itu lihat-lihat." Zayyan menggeleng salut karena sejak tadi, istri palsunya itu terus saja melamun. "Maaf, Kak." Zea memaksakan senyum. "Mommy, kenapa melamun?" sambung Ar. "Tidak, Son!" kilah Zea menggelengkan kepalanya. "Masuk!" Zea masuk dan Zayyan menutup pintu kamar mandi. Gadis itu menghembuskan napas kasar, keringat dingin membasahi dahinya. Dia tak bisa bohong jika Zayyan benar-benar tampan, apalagi tanpa memakai baju. "Isi airnya!" "Iya, Kak." Zea mengisi buthub tersebut dengan air. Sementara Zayyan dan Ar menunggu gadis tersebut. "Mommy tidak ikut mandi?" "Tidak, Son. Nanti saja," tolak Zea. Bisa mati berdiri dia jika mereka mandi bertiga. Zayyan dan Ar
Ruth dan Grace menatap Zea penuh selidik. Sementara yang lain tidak peduli, kebiasaan keluarga kaya itu memang cukup unik yaitu mereka tidak berbicara saat di meja makan, kecuali suara dentingan sendok dan Ar yang terus berisik serta merenggek minta disuapi pada Zevanya. "Mommy mau lagi!" pinta Ar. "Tentu, Son." Zea menyuapi Ar dengan telaten. Walaupun dalam hatinya rasanya ingin kabur saat melihat tatapan Grace dan Ruth. "Sejak kapan kau alergi seafood, Zevanya?!" tanya Ruth sinis ke arah wanita cantik itu. Zea mengigit bibir bawah dengan keringat dingin yang mengucur di dahinya, terlihat jika gadis itu sebenarnya gugup dengan pertanyaan Ruth. Diam-diam Leigh dan Zavier melihat ke arah Zea seperti menanti jawaban dari gadis cantik itu. "Kenapa kau ingin tahu?" sambung Zayyan. "Kak, Kakak tidak curiga padanya?" Ruth menatap Zayyan dengan menggoda. "Kenapa harus curiga?" Kali ini Zayyan yang menatap Ruth tajam. "Aneh saja, Kak. Sejak kapan Zevanya alergi seafood? Biasa
"Cup... Cup, Son. Jangan menangis ya!" hibur Zea sambil menepuk pundak keponakannya itu. "Hiks, Mommy, Ar ingin main belsama daddy," renggek Ar dengan air mata yang leleh. Zea menatap kasihan keponakannya itu. Ar kecil harus merasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tua sebelum waktunya. "Bagaimana kalau main sama Mommy saja?!" tawar Zea. Ar menyeka air matanya. Lalu tangannya memeluk leher Zea dengan posisi, lelaki kecil nan tampan itu mengangguk patuh. "Tapi janji jangan menangis lagi!" Zea menunjukan jari kelingkingnya tanda janji. "Janji!" Ar mengaitkan jari kelingkingnya dengan Zea. "Iya sudah, ayo." "Kalian mau jalan ke mana?" Zea dan Ar terkejut ketika melihat Zavier tiba-tiba datang dan bertanya demikian. "Uncle!" renggek Ar. "Kenapa, Son?" Zavier tersenyum sambil mengusap kepala Ar yang berada di gendongan Zea. "Ar mau jalan-jalan." Tatapan mata pria kecil itu seperti sebuah permintaan yang harus diwujudkan. "Mau jalan ke mana? Biar Uncle antar!" u
Seorang wanita tampak keluar dari mobil. Kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Dia mengenakan dress selutut dengan warna merah menyala. Rambut bergelombang dengan warna kuning keemasan yang kontras dengan warna kulit putihnya. "Aku sudah lama tidak bertemu ayah," gumamnya menatap gedung pencakar langit yang ada di depannya. Wanita itu berjalan gontai memasuki perusahaan. Semua karyawan membungkuk hormat padanya. Lalu dia masuk ke dalam sebuah ruangan yang bertuliskan direktur terpampang jelas di depan pintu. "Ayah." Miko yang tengah asyik dengan berkas-berkas di tangannya sontak berdiri dan terkejut mendengar panggilan dari putrinya itu. "Zevanya." Miko sontak berdiri dengan mata berkaca-kaca. "Akhirnya kau kembali." Miko berhambur memeluk anak sulungnya itu. Dia bernapas lega karena Zevanya kembali, artinya Zea bisa lepas dari kepura-puraannya menjadi istri Zayyan. "Kau ke mana saja selama ini?" Miko melepaskan pelukan putrinya. "Ayah tidak perlu tahu a
"Kenapa diam?" tanya Zayyan tersenyum mengejek ketika Zea seperti bungkam dengan pertanyaannya. "Mommy memang belum pelnah masak buat Ar," sambung Ar yang juga menatap Zea. Zea langsung kikuk, wanita cantik bergelar dokter itu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa. Dalam hati Zea merutuki dirinya yang lupa bahwa saat ini dia masih menyamar jadi Zevanya. "Iya sudahlah karena Ar ingin makan masakan Mommy, kita makan di rumah saja!" seru Zayyan mengalihkan pembicaraan. Ar tidak boleh tahu jika yang bersamanya bukanlah Zevanya — sang ibu. "Iya, Daddy," sahut Ar tersenyum sumringah. Zea bernapas lega karena lelaki ini tidak lagi bertanya panjang lebar. Padahal dalam hati rasanya dia sudah mau kabur, apalagi tatapan mematikan yang Zayyan layangkan padanya. "Mommy, Ar mau makan ayam goyeng!" seru Ar. "Tentu saja, Son. Mommy akan masak makanan apa saja yang Ar suka," sahut Zea mengusap kepala lembut Ar. "Hore!" Leo yang duduk menyetir di bang
"What's? Pemotretan?" Mata Zea membola ketika membaca surat kontrak di tangannya. "Iya, Nona. Anda juga akan menjadi bintang iklan produk baru Leigh Group bersama tuan Morgan," ujar Lewi, asisten sekaligus manager Zevanya. Zea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kali ini dia benar-benar sudah pasrah, bagaimana bisa dia menjadi model iklan serta beberapa majalah lainnya. Sementara dia basicnya seorang dokter yang sudah biasa berkutat dengan alat-alat medis. "Kenapa Anda terlihat kaget, Nona? Bukankah Anda yang menandatangani surat kontrak ini?" Lewi menatap Zea curiga. Ada yang aneh dari nona muda-nya itu. Sikap Zea juga sedikit berubah, biasanya wanita itu akan semena-mena menyuruhnya. "Bukan, aku tidak terkejut, tapi..." Zea menggantung ucapannya. Sekilas wanita cantik itu terbayang pada senyuman sang ayah yang masih melekat di hatinya. "Tapi apa, Nona?" tanya Lewi seperti tak sabar mendengar kelanjutan dari ucapan Zea. "Tidak, Kak. Tidak apa-apa," kilah Zea sambil meng