Ruth dan Grace menatap Zea penuh selidik. Sementara yang lain tidak peduli, kebiasaan keluarga kaya itu memang cukup unik yaitu mereka tidak berbicara saat di meja makan, kecuali suara dentingan sendok dan Ar yang terus berisik serta merenggek minta disuapi pada Zevanya. "Mommy mau lagi!" pinta Ar. "Tentu, Son." Zea menyuapi Ar dengan telaten. Walaupun dalam hatinya rasanya ingin kabur saat melihat tatapan Grace dan Ruth. "Sejak kapan kau alergi seafood, Zevanya?!" tanya Ruth sinis ke arah wanita cantik itu. Zea mengigit bibir bawah dengan keringat dingin yang mengucur di dahinya, terlihat jika gadis itu sebenarnya gugup dengan pertanyaan Ruth. Diam-diam Leigh dan Zavier melihat ke arah Zea seperti menanti jawaban dari gadis cantik itu. "Kenapa kau ingin tahu?" sambung Zayyan. "Kak, Kakak tidak curiga padanya?" Ruth menatap Zayyan dengan menggoda. "Kenapa harus curiga?" Kali ini Zayyan yang menatap Ruth tajam. "Aneh saja, Kak. Sejak kapan Zevanya alergi seafood? Biasa
"Cup... Cup, Son. Jangan menangis ya!" hibur Zea sambil menepuk pundak keponakannya itu. "Hiks, Mommy, Ar ingin main belsama daddy," renggek Ar dengan air mata yang leleh. Zea menatap kasihan keponakannya itu. Ar kecil harus merasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tua sebelum waktunya. "Bagaimana kalau main sama Mommy saja?!" tawar Zea. Ar menyeka air matanya. Lalu tangannya memeluk leher Zea dengan posisi, lelaki kecil nan tampan itu mengangguk patuh. "Tapi janji jangan menangis lagi!" Zea menunjukan jari kelingkingnya tanda janji. "Janji!" Ar mengaitkan jari kelingkingnya dengan Zea. "Iya sudah, ayo." "Kalian mau jalan ke mana?" Zea dan Ar terkejut ketika melihat Zavier tiba-tiba datang dan bertanya demikian. "Uncle!" renggek Ar. "Kenapa, Son?" Zavier tersenyum sambil mengusap kepala Ar yang berada di gendongan Zea. "Ar mau jalan-jalan." Tatapan mata pria kecil itu seperti sebuah permintaan yang harus diwujudkan. "Mau jalan ke mana? Biar Uncle antar!" u
Seorang wanita tampak keluar dari mobil. Kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Dia mengenakan dress selutut dengan warna merah menyala. Rambut bergelombang dengan warna kuning keemasan yang kontras dengan warna kulit putihnya. "Aku sudah lama tidak bertemu ayah," gumamnya menatap gedung pencakar langit yang ada di depannya. Wanita itu berjalan gontai memasuki perusahaan. Semua karyawan membungkuk hormat padanya. Lalu dia masuk ke dalam sebuah ruangan yang bertuliskan direktur terpampang jelas di depan pintu. "Ayah." Miko yang tengah asyik dengan berkas-berkas di tangannya sontak berdiri dan terkejut mendengar panggilan dari putrinya itu. "Zevanya." Miko sontak berdiri dengan mata berkaca-kaca. "Akhirnya kau kembali." Miko berhambur memeluk anak sulungnya itu. Dia bernapas lega karena Zevanya kembali, artinya Zea bisa lepas dari kepura-puraannya menjadi istri Zayyan. "Kau ke mana saja selama ini?" Miko melepaskan pelukan putrinya. "Ayah tidak perlu tahu a
"Kenapa diam?" tanya Zayyan tersenyum mengejek ketika Zea seperti bungkam dengan pertanyaannya. "Mommy memang belum pelnah masak buat Ar," sambung Ar yang juga menatap Zea. Zea langsung kikuk, wanita cantik bergelar dokter itu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa. Dalam hati Zea merutuki dirinya yang lupa bahwa saat ini dia masih menyamar jadi Zevanya. "Iya sudahlah karena Ar ingin makan masakan Mommy, kita makan di rumah saja!" seru Zayyan mengalihkan pembicaraan. Ar tidak boleh tahu jika yang bersamanya bukanlah Zevanya — sang ibu. "Iya, Daddy," sahut Ar tersenyum sumringah. Zea bernapas lega karena lelaki ini tidak lagi bertanya panjang lebar. Padahal dalam hati rasanya dia sudah mau kabur, apalagi tatapan mematikan yang Zayyan layangkan padanya. "Mommy, Ar mau makan ayam goyeng!" seru Ar. "Tentu saja, Son. Mommy akan masak makanan apa saja yang Ar suka," sahut Zea mengusap kepala lembut Ar. "Hore!" Leo yang duduk menyetir di bang
"What's? Pemotretan?" Mata Zea membola ketika membaca surat kontrak di tangannya. "Iya, Nona. Anda juga akan menjadi bintang iklan produk baru Leigh Group bersama tuan Morgan," ujar Lewi, asisten sekaligus manager Zevanya. Zea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kali ini dia benar-benar sudah pasrah, bagaimana bisa dia menjadi model iklan serta beberapa majalah lainnya. Sementara dia basicnya seorang dokter yang sudah biasa berkutat dengan alat-alat medis. "Kenapa Anda terlihat kaget, Nona? Bukankah Anda yang menandatangani surat kontrak ini?" Lewi menatap Zea curiga. Ada yang aneh dari nona muda-nya itu. Sikap Zea juga sedikit berubah, biasanya wanita itu akan semena-mena menyuruhnya. "Bukan, aku tidak terkejut, tapi..." Zea menggantung ucapannya. Sekilas wanita cantik itu terbayang pada senyuman sang ayah yang masih melekat di hatinya. "Tapi apa, Nona?" tanya Lewi seperti tak sabar mendengar kelanjutan dari ucapan Zea. "Tidak, Kak. Tidak apa-apa," kilah Zea sambil meng
Sudut bibir Zayyan tertarik ketika mendengar nama istrinya disebut. "Apa itu artinya istri palsuku akan membintangi iklan produk kita kali ini?" tanya Zayyan. "Benar, Tuan. Saat ini nona Zea sedang menuju perjalanan menuju ke sini," jawab Leo. "Apakah Anda ingin membatalkan kontrak kerjasama dengannya?" tanya Leo mengintip wajah Zayyan yang tampak sedikit berbeda. Zayyan terdiam sejenak. Lalu lelaki itu menatap Leo. "Jelas tidak, Leo. Aku ingin lihat, bagaimana dia memerankan perannya sebagai Zevanya. Apakah dia bisa atau malah menunjukkan diri bahwa dia tak memiliki kemampuan untuk menjadi dua orang," jawab Zayyan tersenyum licik. Saatnya dia melihat seperti apa wanita yang menyamar menjadi istrinya itu. "Baik, Tuan," sahut Leo membungkuk hormat. "Lalu bagaimana dengan wanita itu?" "Saya sudah mengirimkan kontrak kerjasama ke perusahaan tuan Marvin, Tuan," jelas Leo. "Bagus. Terus pantau pergerakan mereka. Aku yakin, wanita jalang itu akan kembali nanti jika uangnya su
Zea menunduk dengan wajah yang sudah merah seperti tomat. Dia bingung harus jawab apa dan kadang juga merutuki kebodohannya yang ceroboh. "Sudahlah, jangan dibahas," sarkas Zayyan. Lewi mengangguk. Walaupun dalam hati dia merasa ada yang tidak beres dengan nona muda-nya itu. Sementara Zea menghela napas lega, untung saja dirinya tidak ditanya yang aneh-aneh. "Silakan tandatangani, Nona!" Zea mengambil pulpen di tangan Leo lalu menandatangani surat kontrak kerjasama itu. Tanpa dia sadari, bahwa itu adalah awal Zayyan mengikat dirinya untuk tetap selalu berada di samping lelaki tampan itu. "Selama lima tahun ke depan Anda tidak boleh bekerjasama dengan agency mana pun!" ucap Leon sekali lagi mengingatkan. "Baik, Tuan," jawab Lewi mewakili. "Kalau begitu kami permisi, Tuan!" pamit Lewi membungkuk hormat. Seperti orang bodoh, Zea mengikuti apa yang managernya lakukan. "Kau..." Zayyan menunjuk ke arah Zea. "Iya, Kak?" "Temani aku makan siang!" pinta Zayyan. Lewi terkesiap
Seorang pria paruh baya tengah menatap kosong ke arah jendela ruangannya yang transparan. Dia menatap kekosongan di antara terik matahari yang terasa mencengkram. "Selamat siang, Tuan," sapa seorang pria muda memakai jas rapi seraya membungkuk hormat padanya. "Bagaimana?" tanyanya tanpa melihat sang asisten. "Peluncuran senjata baru kita sudah mendapat izin, Tuan. Ada beberapa negara yang nanti akan ikut hadir dalam acara itu," jelas sang asisten. "Baik, atur semuanya. Pastikan izin negara bersifat valid, aku tidak mau ada permainan lagi!" titahnya. "Baik, Tuan," sahut sang asisten. "Bagaimana dengan putraku? Cucuku?" tanyanya. Walaupun sudah belasan tahun hubungannya dengan sang anak tunggal tidak baik, tetapi pria paruh baya itu selalu memantau dan mengawasi pergerakan anaknya. "Tuan muda baik-baik saja, Tuan. Hubungan tuan muda dengan nona Zevanya juga semakin hari semakin membaik," jelas pria berpakaian rapi itu. Sejenak pria berusia itu terdiam. Sebenarnya dia mera