Zea menghela napas panjang. Zayyan masih memungginya.
"Aduh, apa yang harus aku lakukan?" Gadis cantik bergelar dokter itu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Zayyan masih merajuk. Entah kenapa dibentak seperti tadi membuat hatinya sedikit tergores sakit? Zea adalah orang pertama yang berani membentaknya. "Kak," panggil Zea. "Aku siapkan sarapan dulu ya, Kak," ujar gadis itu kikuk. Zea takut jika Zayyan menggamuk dan menyakiti ayahnya. Zayyan masih tak menggubris. Entah kenapa dia ingin Zea membujuk serta merayunya seperti yang sering dilakukan Zevanya? Apakah ini hanya perasaan kebetulan atau memang Zayyan membutuhkan perhatian lebih dari seseorang? Sejak sang ibu meninggal, dirinya seperti kehilangan kasih sayang yang didapatkan oleh banyak orang. "Iya sudah, Kak. Aku keluar dulu!" Zea mendesah saat lelaki itu tak menanggapi ucapannya. "Tunggu!" cegah Zayyan saat Zea hendak keluar dari kamar. "Eh, Iya, Kak." Zea berbalik dan tersenyum. "Mandikan aku!" pinta Zayyan. Sesaat Zea terdiam, seperti kehilangan kesabarannya saat mendengar ucapan lelaki yang berstatus suami kakaknya itu. Memandikan? "Memandikan Kakak?" ulang Zea memastikan. "Aku rasa pendengaranmu masih baik," ketus Zayyan menyimak selimutnya dan turun dari ranjang. "Tapi 'kan Kakak bisa mandi sendiri," ucap Zea. Gadis itu melihat kesembarangan arah untuk menyembunyikan wajah merahnya. "Kau ha–" "Mommy!" Tiba-tiba Ar masuk ke dalam kamar mereka sambil menangis. "Astaga, Son!" Zayyan langsung menghampiri anaknya dengan wajah panik. "Sayang, kenapa?" tanya Zea yang juga tak kalah panik. "Hiks, Mommy!" Ar malah memeluk Zea sambil menangis. "Iya, Son, kenapa? Ayo cerita sama Mommy!" Zea melepaskan pelukan keponakannya itu dan mengusap pipi basah Ar. "Tuan Kecil." Dua pelayan baru saja datang dengan napas tersengal-sengal. "Siapa suruh kalian masuk?" Zayyan menatap tajam kedua pelayan itu. "Maaf, Tuan." Keduanya segera keluar dengan wajah pucat. Zayyan paling tidak suka ada orang asing masuk ke dalam kamarnya kecuali Ar dan pelayan yang memang ditugaskan membersihkan kamar itu. Zea adalah orang ketiga yang boleh masuk dengan bebas dalam kamar lelaki itu. Bagi Zayyan, kamar adalah tempat privasi yang tidak boleh dimasuki sembarangan orang. "Ar mau dimandikan sama Mommy. Ar tidak mau mandi sama Bibi." Air mata lelaki kecil itu berderai. "Iya, Son. Ayo mandi sama Mommy!" ajak Zea berdiri. Ini adalah alasan supaya dia bisa bebas dari perintah aneh kakak iparnya itu. "Siapa yang menyuruh kau keluar?" Zayyan menatap Zea tajam. Tangannya terlipat di dada dengan wajah kesal karena Zea terus saja membantah perintahnya. "Kak, aku mau memandikan Ar," ucap Zea beralasan. "Mandikan Ar di sini dan mandikan aku juga!" perintah Zayyan yang seperti tak bisa diganggu gugat. "Tapi–" "Iya, Mommy. Ar juga mau mandi sama Daddy," sambung Ar tersenyum ke arah ayahnya. Zayyan tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya dia harus memberi hadiah pada anaknya karena sudah membantu membujuk wanita keras kepala itu. "Ayo, Son!" Zayyan mengangkat tubuh kecil putra kesayangannya itu. "Ayo, Dad," balas Ar memeluk leher Zayyan dengan posesif. Zea menarik napas sedalam mungkin. Kenapa dia harus terikat dalam jerat kedua pria ini? "Kenapa masih berdiri di situ?" sindir Zayyan melihat Zea yang masih diam saja. "Siapkan air mandi untuk aku dan Ar!" * * * "Ah, Sayang, ayo lebih cepat lagi! Aku sudah tidak tahan." Di sebuah kamar mewah tampak dua orang saling bergelut di atas ranjang. Bibir keduanya terus mengecap dari tadi, bertukar saliva satu sama lain untuk mencari kenikmatan dan sensasi dari masing-masing sentuhan. "Kau benar-benar enak, Sayang," ucap sang lelaki melepaskan pangutan mereka. Lelaki itu beralih ke arah perut. Beberapa kali dia menyesap perut putih mulus wanita yang ada di bawahnya sehingga meninggalkan bekas kenikmatan. "Marvin, ayo teruskan!" seru wanita tersebut. Keduanya bergantian memimpin permainan mereka. Hingga akhirnya mereka sama-sama kelelahan karena pergulatan panas tersebut. "Kau berkeringat, Sayang," ujar sang lelaki menyeka keringat yang membasahi dahi wanita itu. "Kali ini permainanmu luar biasa, Marvin. Aku menyukainya," imbuh sang wanita memeluk lelaki itu dengan erat. "Tentu saja. Aku selalu membuatmu puas," balas sang lelaki mengecup ujung kepala wanita yang tengah bersandar di atas dadanya itu. Napas keduanya masih tersengal-sengal. Entah berapa ronde yang mereka mainkan malam ini, keduanya seakan tak pernah puas walau diulang berkali-kali. "Terima kasih, Sayang," ujar sang wanita tersenyum senang setelah merasakan kehangatan yang belum pernah dia dapatkan dari suaminya. "Aku juga berterima kasih padamu, Sayang," balas lelaki bertato tersebut. "Bagaimana keadaan perusahaanmu?" "Masih belum stabil. Kau harus bekerja lebih keras lagi membujuk Zayyan agar dia mau menginvestasikan uangnya ke perusahaanku," ucap lelaki itu. "Huh, aku malas sekali jika harus membujuk pria kaku itu," ketus sang wanita. Lelaki itu malah terkekeh. Tangannya mengusap rambut panjang wanita yang ada dalam dekapannya ini. "Jangan begitu. Bagaimanapun Zayyan adalah pohon uang kita," ucap sang pria. "Atau sebaiknya kau pulang saja dulu ke rumah?" saran lelaki tersebut. "Pulang?" Zevanya Ananda Mikola, wanita cantik dan model papan atas berusia 25 tahun. Dia dinikahi dan menikahi pria kaya raya dan pewaris utama Leigh Group untuk saling menguntungkan sama sekali. Di mana Zevanya harus melahirkan anak untuk pria itu agar mewarisi harta kekayaannya. Tentu ada perjanjian tertulis di antara mereka. Dalam pernikahan sang suami tidak menerima wanita itu sebagai istrinya. Sementara Zevanya juga merasakan hal yang sama. Jadi, pernikahan mereka hanya sebagai status untuk menutupi diri dari publik. "Aku yakin jika aku pulang, pria brengsek itu tidak akan mengampuniku," jawab Zevanya. "Zayyan tidak akan membunuhmu, Sayang. Ar sangat menyayangimu, jika dia menyakitimu sama saja dia menyakiti putranya sendiri," ujar Marvin. Marvin adalah teman ranjang Zevanya. Keduanya menjalin hubungan sejak awal pernikahan Zayyan dan Zevanya. Tak hanya itu, Marvin juga sebagai salah satu tempat dirinya berlari saat Zayyan selesai memberinya uang puluhan hingga ratusan juta. "Sejak anak itu lahir, aku tidak peduli padanya," sahut Zevanya. * * * Miko duduk dengan tatapan kosong sambil menatap foto kedua putri kembarnya. "Zea, maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bermaksud menjadikanmu penganti dari kakakmu," ucapnya merasa bersalah. Sebagai seorang ayah, sebenarnya Miko sangat cemas dengan kehidupan baru Zea. Sebab dia tahu bagaimana kejamnya Zayyan. Pria kejam yang tak memiliki perasaan. Tak bisa Miko bayangkan jika Zayyan tahu bahwa Zea bukan istrinya, pasti lelaki itu akan mengamuk dan bisa saja membunuh Miko dan Zea. "Paman," panggil seorang pria tampan masuk ke dalam ruang kerja lelaki paruh baya itu. Secepatnya Miko mengusap air matanya dan menyimpan foto itu kembali ke dalam nakas. "Ada apa, Sean?" Dia tersenyum ramah pada pria yang berbaju putih khas kedokteran itu. "Aku tidak suka basa-basi, Paman. Di mana Zea?" Bersambung ...Zea berjalan menyusul masuk ke dalam kamar mandi. Gadis cantik dengan rambut panjang sebahu serta poni yang bertengger di keningnya itu dengan menunduk, jantungnya berdebar-debar tak karuan. Brak! Zea menabrak benda keras di depannya. "Aw!" Gadis itu mengusap keningnya yang terbentur. "Kalau jalan itu lihat-lihat." Zayyan menggeleng salut karena sejak tadi, istri palsunya itu terus saja melamun. "Maaf, Kak." Zea memaksakan senyum. "Mommy, kenapa melamun?" sambung Ar. "Tidak, Son!" kilah Zea menggelengkan kepalanya. "Masuk!" Zea masuk dan Zayyan menutup pintu kamar mandi. Gadis itu menghembuskan napas kasar, keringat dingin membasahi dahinya. Dia tak bisa bohong jika Zayyan benar-benar tampan, apalagi tanpa memakai baju. "Isi airnya!" "Iya, Kak." Zea mengisi buthub tersebut dengan air. Sementara Zayyan dan Ar menunggu gadis tersebut. "Mommy tidak ikut mandi?" "Tidak, Son. Nanti saja," tolak Zea. Bisa mati berdiri dia jika mereka mandi bertiga. Zayyan dan Ar
Ruth dan Grace menatap Zea penuh selidik. Sementara yang lain tidak peduli, kebiasaan keluarga kaya itu memang cukup unik yaitu mereka tidak berbicara saat di meja makan, kecuali suara dentingan sendok dan Ar yang terus berisik serta merenggek minta disuapi pada Zevanya. "Mommy mau lagi!" pinta Ar. "Tentu, Son." Zea menyuapi Ar dengan telaten. Walaupun dalam hatinya rasanya ingin kabur saat melihat tatapan Grace dan Ruth. "Sejak kapan kau alergi seafood, Zevanya?!" tanya Ruth sinis ke arah wanita cantik itu. Zea mengigit bibir bawah dengan keringat dingin yang mengucur di dahinya, terlihat jika gadis itu sebenarnya gugup dengan pertanyaan Ruth. Diam-diam Leigh dan Zavier melihat ke arah Zea seperti menanti jawaban dari gadis cantik itu. "Kenapa kau ingin tahu?" sambung Zayyan. "Kak, Kakak tidak curiga padanya?" Ruth menatap Zayyan dengan menggoda. "Kenapa harus curiga?" Kali ini Zayyan yang menatap Ruth tajam. "Aneh saja, Kak. Sejak kapan Zevanya alergi seafood? Biasa
"Cup... Cup, Son. Jangan menangis ya!" hibur Zea sambil menepuk pundak keponakannya itu. "Hiks, Mommy, Ar ingin main belsama daddy," renggek Ar dengan air mata yang leleh. Zea menatap kasihan keponakannya itu. Ar kecil harus merasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tua sebelum waktunya. "Bagaimana kalau main sama Mommy saja?!" tawar Zea. Ar menyeka air matanya. Lalu tangannya memeluk leher Zea dengan posisi, lelaki kecil nan tampan itu mengangguk patuh. "Tapi janji jangan menangis lagi!" Zea menunjukan jari kelingkingnya tanda janji. "Janji!" Ar mengaitkan jari kelingkingnya dengan Zea. "Iya sudah, ayo." "Kalian mau jalan ke mana?" Zea dan Ar terkejut ketika melihat Zavier tiba-tiba datang dan bertanya demikian. "Uncle!" renggek Ar. "Kenapa, Son?" Zavier tersenyum sambil mengusap kepala Ar yang berada di gendongan Zea. "Ar mau jalan-jalan." Tatapan mata pria kecil itu seperti sebuah permintaan yang harus diwujudkan. "Mau jalan ke mana? Biar Uncle antar!" u
Seorang wanita tampak keluar dari mobil. Kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Dia mengenakan dress selutut dengan warna merah menyala. Rambut bergelombang dengan warna kuning keemasan yang kontras dengan warna kulit putihnya. "Aku sudah lama tidak bertemu ayah," gumamnya menatap gedung pencakar langit yang ada di depannya. Wanita itu berjalan gontai memasuki perusahaan. Semua karyawan membungkuk hormat padanya. Lalu dia masuk ke dalam sebuah ruangan yang bertuliskan direktur terpampang jelas di depan pintu. "Ayah." Miko yang tengah asyik dengan berkas-berkas di tangannya sontak berdiri dan terkejut mendengar panggilan dari putrinya itu. "Zevanya." Miko sontak berdiri dengan mata berkaca-kaca. "Akhirnya kau kembali." Miko berhambur memeluk anak sulungnya itu. Dia bernapas lega karena Zevanya kembali, artinya Zea bisa lepas dari kepura-puraannya menjadi istri Zayyan. "Kau ke mana saja selama ini?" Miko melepaskan pelukan putrinya. "Ayah tidak perlu tahu a
"Kenapa diam?" tanya Zayyan tersenyum mengejek ketika Zea seperti bungkam dengan pertanyaannya. "Mommy memang belum pelnah masak buat Ar," sambung Ar yang juga menatap Zea. Zea langsung kikuk, wanita cantik bergelar dokter itu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa. Dalam hati Zea merutuki dirinya yang lupa bahwa saat ini dia masih menyamar jadi Zevanya. "Iya sudahlah karena Ar ingin makan masakan Mommy, kita makan di rumah saja!" seru Zayyan mengalihkan pembicaraan. Ar tidak boleh tahu jika yang bersamanya bukanlah Zevanya — sang ibu. "Iya, Daddy," sahut Ar tersenyum sumringah. Zea bernapas lega karena lelaki ini tidak lagi bertanya panjang lebar. Padahal dalam hati rasanya dia sudah mau kabur, apalagi tatapan mematikan yang Zayyan layangkan padanya. "Mommy, Ar mau makan ayam goyeng!" seru Ar. "Tentu saja, Son. Mommy akan masak makanan apa saja yang Ar suka," sahut Zea mengusap kepala lembut Ar. "Hore!" Leo yang duduk menyetir di bang
"What's? Pemotretan?" Mata Zea membola ketika membaca surat kontrak di tangannya. "Iya, Nona. Anda juga akan menjadi bintang iklan produk baru Leigh Group bersama tuan Morgan," ujar Lewi, asisten sekaligus manager Zevanya. Zea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kali ini dia benar-benar sudah pasrah, bagaimana bisa dia menjadi model iklan serta beberapa majalah lainnya. Sementara dia basicnya seorang dokter yang sudah biasa berkutat dengan alat-alat medis. "Kenapa Anda terlihat kaget, Nona? Bukankah Anda yang menandatangani surat kontrak ini?" Lewi menatap Zea curiga. Ada yang aneh dari nona muda-nya itu. Sikap Zea juga sedikit berubah, biasanya wanita itu akan semena-mena menyuruhnya. "Bukan, aku tidak terkejut, tapi..." Zea menggantung ucapannya. Sekilas wanita cantik itu terbayang pada senyuman sang ayah yang masih melekat di hatinya. "Tapi apa, Nona?" tanya Lewi seperti tak sabar mendengar kelanjutan dari ucapan Zea. "Tidak, Kak. Tidak apa-apa," kilah Zea sambil meng
Sudut bibir Zayyan tertarik ketika mendengar nama istrinya disebut. "Apa itu artinya istri palsuku akan membintangi iklan produk kita kali ini?" tanya Zayyan. "Benar, Tuan. Saat ini nona Zea sedang menuju perjalanan menuju ke sini," jawab Leo. "Apakah Anda ingin membatalkan kontrak kerjasama dengannya?" tanya Leo mengintip wajah Zayyan yang tampak sedikit berbeda. Zayyan terdiam sejenak. Lalu lelaki itu menatap Leo. "Jelas tidak, Leo. Aku ingin lihat, bagaimana dia memerankan perannya sebagai Zevanya. Apakah dia bisa atau malah menunjukkan diri bahwa dia tak memiliki kemampuan untuk menjadi dua orang," jawab Zayyan tersenyum licik. Saatnya dia melihat seperti apa wanita yang menyamar menjadi istrinya itu. "Baik, Tuan," sahut Leo membungkuk hormat. "Lalu bagaimana dengan wanita itu?" "Saya sudah mengirimkan kontrak kerjasama ke perusahaan tuan Marvin, Tuan," jelas Leo. "Bagus. Terus pantau pergerakan mereka. Aku yakin, wanita jalang itu akan kembali nanti jika uangnya su
Zea menunduk dengan wajah yang sudah merah seperti tomat. Dia bingung harus jawab apa dan kadang juga merutuki kebodohannya yang ceroboh. "Sudahlah, jangan dibahas," sarkas Zayyan. Lewi mengangguk. Walaupun dalam hati dia merasa ada yang tidak beres dengan nona muda-nya itu. Sementara Zea menghela napas lega, untung saja dirinya tidak ditanya yang aneh-aneh. "Silakan tandatangani, Nona!" Zea mengambil pulpen di tangan Leo lalu menandatangani surat kontrak kerjasama itu. Tanpa dia sadari, bahwa itu adalah awal Zayyan mengikat dirinya untuk tetap selalu berada di samping lelaki tampan itu. "Selama lima tahun ke depan Anda tidak boleh bekerjasama dengan agency mana pun!" ucap Leon sekali lagi mengingatkan. "Baik, Tuan," jawab Lewi mewakili. "Kalau begitu kami permisi, Tuan!" pamit Lewi membungkuk hormat. Seperti orang bodoh, Zea mengikuti apa yang managernya lakukan. "Kau..." Zayyan menunjuk ke arah Zea. "Iya, Kak?" "Temani aku makan siang!" pinta Zayyan. Lewi terkesiap