Bagas mondar-mandir tak karuan, sambil memegangi ponselnya yang baru saja dia pakai untuk menghubungi Laura. Dia merasa keputusannya sudah tepat dengan membawa Athar bersamanya, ketimbang ikut bersama Rania. Ketika melihat gelagat pria muda yang rapi itu, Bagas sudah yakin jika ada sesuatu yang tidak beres. Dan itu semua terbukti benar, karena tiga jam sejak Rania pergi bersama pria itu, Rania sudah tidak bisa dihubungi."Om, Mama mana? Kok Mama belum pulang?" Athar bertanya dengan wajah polosnya.Bagas bersimpuh untuk menyamakan tingginya dengan Athar. "Mama masih sibuk, jadi kamu sama Om dulu ya,""Athar!" panggil mama Bagas, girang bukan main ketika melihat Athar. Wanita tua itu menyambut Athar ke dalam dekapannya, persis seperti seorang nenek kepada cucunya. "Athar di rumah Oma dulu, ya. Nanti kalau Mama sudah pulang, Athar pulang sama Mama," bujuk mama Bagas.Awalnya Athar ragu, namun saat melihat Oma membawa kereta mainan untuknya, dia pun luluh. Masalahnya sudah selesai, karena
Beberapa saat sebelumnya …"Bagas!" Laura berlari, menghampiri Bagas yang sudah berdiri harap-harap cemas di depan rumah Rania. "Kamu tidak lapor polisi, kan?" tanyanya memastikan.Bagas menggeleng. Laura pun lega, dan memutar tubuh hendak kembali ke mobilnya. Tapi Bagas menahan tangan Laura."Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menghubungi polisi?" tuntut Bagas, tidak terima jika tidak diberi jawaban.Laura menggigit bibir. Dia tentu tidak bisa bilang kepada Bagas bahwa keluarganya memang berbisnis dalam dunia gelap, dan polisi tidak boleh terlibat dalam apapun. "Sebaiknya kamu tidak tahu, Gas," jawab Laura diplomatis. "Kita harus segera pergi, sebelum Rania celaka,"Perkataan Laura makin membuat Bagas berdebar. Sekali lagi dia menahan tangan Laura, kali ini makin kuat. Bahkan dia tidak peduli meski Laura sedikit mendesis kesal karena dari tadi Bagas selalu menahannya."Aku harus ikut," tandas Bagas tegas.Laura melongo. Kemudian menoleh ke belakang, ke arah mobilnya beserta isi di dalamn
Kata-kata Rania terdengar penuh dengan keputusasaan. Dia tidak menginginkan akhir yang tragis, terutama untuk Tama. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Laura mencoba memahami perasaan Rania. Dia merasa berat melihat keadaan Rania yang begitu tertekan dan cemas. Laura tahu dia tidak bisa mengendalikan takdir, tetapi dia ingin memberikan dukungan sebisa mungkin pada Rania. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Laura mencoba menenangkan Rania sebisanya."Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ujar Laura dengan suara lembut, mencoba menenangkan Rania."Gas … " Rania tiba-tiba teringat akan Bagas. Bagas yang kebetulan duduk di jok depan bersama sopir, seketika menoleh. "Ada apa, Ran?""Mana Athar? Apa dia baik-baik saja?""Jangan cemaskan Athar. Dia aman. Dia di tempat aman," Bagas ikut mencoba menenangkan Rania."Dia dimana?" Rania belum merasa lega sebelum memastikan Athar berada bersama orang yang tepat."Dia bersama Mama," jawab Bagas.Satu beban di pundak Rania perlahan hilang, saat ta
Laura semakin memojokkan Vinko. Apalagi setelah pertanyaannya terlontar dan sudah hampir satu menit Vinko diam tidak menanggapi. Laura memandang sekeliling, memastikan Rania tidak membuntuti mereka."Jawab, Vin!" seru Laura. "Kamu masih mencintainya, kan?" Ada sorot kekesalan di balik tatapan Laura. "Apa yang akan kamu dapatkan dari menginterogasiku seperti ini?" Vinko justru menantang. "Tidak akan ada yang berubah, Lau,""Lalu, kenapa kamu datang sendirian? Mana Regina?""Dia mengurus anakku," jawab Vinko santai. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, pertanda dia ingin segera pergi.Laura mulai meregang, lebih santai. Dia juga membiarkan Vinko pergi meski pikirannya masih belum mempercayai segala ucapan Vinko. Kepalanya berputar, mengikuti langkah kaki Vinko yang kembali ke koridor ruang darurat dimana ada Rania di sana.Tapi Laura masih di tempatnya, menyandarkan punggung yang kelelahan ke dinding rumah sakit yang berlapiskan keramik putih pucat. Sesekali dia menghembuskan nafas
Setelah menunggu sekitar tiga jam, akhirnya para perawat membawa ranjang Tama ke ruang VVIP, ruang rawat inap terbaik di rumah sakit itu. Meski jika dibandingkan dengan rumah sakit milik keluarga Hadi di kota besar, rumah sakit itu tetap kalah jauh. Namun karena kondisi Tama yang kritis tidak memungkinkannya untuk melakukan perjalanan jauh. Dokter akan mengizinkan Tama dipindahkan setelah keadaannya jauh lebih baik.Elektrokardiograf sudah dinyalakan di samping ranjang Tama, sebagai monitor yang akan mengawasi setiap pergerakan positif dari tubuh Tama. Untuk sementara waktu Tama akan dalam kondisi tidak sadarkan diri, sembari terus berusaha memulihkan diri. Tim medis akan melakukan segala upaya untuk menjaga fungsi organ vitalnya dan mencari penyebab dari kondisinya.Rania duduk di samping ranjang Tama–dengan mata yang makin kelelahan, karena selama tiga jam sama sekali tidak istirahat. Laura yang tidak tega melihat kondisi itu, memutuskan untuk maju dan membujuk Rania agar mau istira
Sementara Athar hanya memandang Dewi dengan tatapan tak mengerti. Tentu saja, dia hanyalah anak berumur empat tahun yang sangat polos. Tak paham meski Dewi bercucuran air mata saat memandangnya.“Athar, ayo sapa Oma,” pinta Bagas dengan suara lembut. Awalnya Athar masih ragu, dia tetap membisu karena semua orang dewasa tengan mengelilinginya. Tapi Rania berusaha menenangkan Athar, meski kondisinya sendiri harusnya yang mendapat banyak perhatian.“H-halo, Oma,” Akhirnya Athar mau bersuara.Mendengar suara Athar membuat Dewi makin menangis keras. Dia terus memeluk anak lelaki itu, merasa sangat bersyukur karena dapat melihat Athar tumbuh sehat dan pintar. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa berdosa dengan segala yang menimpa Rania namun dia tidak berdaya untuk mencegah.“Ini Oma, Sayang. Oma Dewi, mamanya Papa Tama,” Dewi berusaha memberi penjelasan tak peduli Athar dapat mengerti atau tidak. Meski sudah mendapatkan pengobatan pada luka-lukanya, namun Rania merasakan kepalan
Badan Rania terasa sangat basah kuyup ketika dia membuka matanya pada pukul empat pagi ini. Kemudian dia menatap sekeliling, untuk kemudian menyadari jika dia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Dia sempat memegangi kepalanya, demi mengingat kembali segala mimpinya bersama Tama. Namun semakin dia berusaha, semakin kepalanya terasa sakit.“Athar!” Rania tersadar bahwa dia tidak lagi seorang diri di dunia ini. Ada sesosok anak laki-laki yang begitu menggantungkan hidupnya pada Rania.Rania beranjak bangun, berusaha untuk mencari Athar yang tidak ada di sampingnya. Dia keluar kamar, namun mendapati Athar tengah tertidur pulas di ruang televisi sambil mendekat kereta api kesayangannya. Ada sosok Dewi yang juga ikut tidur memeluk Athar, tampak begitu kelelahan namun bahagia.Seutas senyum mampir menghinggapi bibir Rania. Meski dia masih merasakan denyut sakit dari gamparan Mada kemarin. Lantas Rania pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri, ingin beristirahat. Apes, ekor matany
Rania hampir saja terhuyung andai Arif tidak menangkapnya secepat mungkin. Rania merasakan dadanya begitu sesak dan kepalanya sakit, setelah mendengarkan semua cerita Arif yang sulit untuk dicerna dengan mudah oleh otaknya. Tak pernah dalam kamus otaknya, bahwa seorang Tama Hadi adalah sosok pria yang baik. Atau bahkan mau menurunkan harga dirinya demi memperjuangkan Rania.Maka segala ucapan Arif terasa begitu magis terpental mengenai kepala Rania, namun hatinya begitu ingin menyerapnya. Pertentangan antara dua sisi dalam diri Rania, membuatnya tak tahu harus memilih yang mana.“Kamu baik-baik saja? Bagaimana lukamu?” tanya Arif setelah menuntun Rania untuk duduk di sofa panjang di ruang VVIP itu.“Dokter bilang Tama sudah bisa dibawa ke kota besok,” tambah Tuan Hadi.“Apa?” sahut Rania tanpa sadar. “Kenapa dia dibawa ke kota?”Tuan Hadi dan Arif saling pandang dengan perasaan bingung. Berusaha untuk saling bertanya tanpa suara.“Tentu saja kami tidak bisa menunggu dia di sini,” jawa
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng