Beberapa saat sebelumnya …"Bagas!" Laura berlari, menghampiri Bagas yang sudah berdiri harap-harap cemas di depan rumah Rania. "Kamu tidak lapor polisi, kan?" tanyanya memastikan.Bagas menggeleng. Laura pun lega, dan memutar tubuh hendak kembali ke mobilnya. Tapi Bagas menahan tangan Laura."Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menghubungi polisi?" tuntut Bagas, tidak terima jika tidak diberi jawaban.Laura menggigit bibir. Dia tentu tidak bisa bilang kepada Bagas bahwa keluarganya memang berbisnis dalam dunia gelap, dan polisi tidak boleh terlibat dalam apapun. "Sebaiknya kamu tidak tahu, Gas," jawab Laura diplomatis. "Kita harus segera pergi, sebelum Rania celaka,"Perkataan Laura makin membuat Bagas berdebar. Sekali lagi dia menahan tangan Laura, kali ini makin kuat. Bahkan dia tidak peduli meski Laura sedikit mendesis kesal karena dari tadi Bagas selalu menahannya."Aku harus ikut," tandas Bagas tegas.Laura melongo. Kemudian menoleh ke belakang, ke arah mobilnya beserta isi di dalamn
Kata-kata Rania terdengar penuh dengan keputusasaan. Dia tidak menginginkan akhir yang tragis, terutama untuk Tama. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Laura mencoba memahami perasaan Rania. Dia merasa berat melihat keadaan Rania yang begitu tertekan dan cemas. Laura tahu dia tidak bisa mengendalikan takdir, tetapi dia ingin memberikan dukungan sebisa mungkin pada Rania. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Laura mencoba menenangkan Rania sebisanya."Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ujar Laura dengan suara lembut, mencoba menenangkan Rania."Gas … " Rania tiba-tiba teringat akan Bagas. Bagas yang kebetulan duduk di jok depan bersama sopir, seketika menoleh. "Ada apa, Ran?""Mana Athar? Apa dia baik-baik saja?""Jangan cemaskan Athar. Dia aman. Dia di tempat aman," Bagas ikut mencoba menenangkan Rania."Dia dimana?" Rania belum merasa lega sebelum memastikan Athar berada bersama orang yang tepat."Dia bersama Mama," jawab Bagas.Satu beban di pundak Rania perlahan hilang, saat ta
Laura semakin memojokkan Vinko. Apalagi setelah pertanyaannya terlontar dan sudah hampir satu menit Vinko diam tidak menanggapi. Laura memandang sekeliling, memastikan Rania tidak membuntuti mereka."Jawab, Vin!" seru Laura. "Kamu masih mencintainya, kan?" Ada sorot kekesalan di balik tatapan Laura. "Apa yang akan kamu dapatkan dari menginterogasiku seperti ini?" Vinko justru menantang. "Tidak akan ada yang berubah, Lau,""Lalu, kenapa kamu datang sendirian? Mana Regina?""Dia mengurus anakku," jawab Vinko santai. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, pertanda dia ingin segera pergi.Laura mulai meregang, lebih santai. Dia juga membiarkan Vinko pergi meski pikirannya masih belum mempercayai segala ucapan Vinko. Kepalanya berputar, mengikuti langkah kaki Vinko yang kembali ke koridor ruang darurat dimana ada Rania di sana.Tapi Laura masih di tempatnya, menyandarkan punggung yang kelelahan ke dinding rumah sakit yang berlapiskan keramik putih pucat. Sesekali dia menghembuskan nafas
Setelah menunggu sekitar tiga jam, akhirnya para perawat membawa ranjang Tama ke ruang VVIP, ruang rawat inap terbaik di rumah sakit itu. Meski jika dibandingkan dengan rumah sakit milik keluarga Hadi di kota besar, rumah sakit itu tetap kalah jauh. Namun karena kondisi Tama yang kritis tidak memungkinkannya untuk melakukan perjalanan jauh. Dokter akan mengizinkan Tama dipindahkan setelah keadaannya jauh lebih baik.Elektrokardiograf sudah dinyalakan di samping ranjang Tama, sebagai monitor yang akan mengawasi setiap pergerakan positif dari tubuh Tama. Untuk sementara waktu Tama akan dalam kondisi tidak sadarkan diri, sembari terus berusaha memulihkan diri. Tim medis akan melakukan segala upaya untuk menjaga fungsi organ vitalnya dan mencari penyebab dari kondisinya.Rania duduk di samping ranjang Tama–dengan mata yang makin kelelahan, karena selama tiga jam sama sekali tidak istirahat. Laura yang tidak tega melihat kondisi itu, memutuskan untuk maju dan membujuk Rania agar mau istira
Sementara Athar hanya memandang Dewi dengan tatapan tak mengerti. Tentu saja, dia hanyalah anak berumur empat tahun yang sangat polos. Tak paham meski Dewi bercucuran air mata saat memandangnya.“Athar, ayo sapa Oma,” pinta Bagas dengan suara lembut. Awalnya Athar masih ragu, dia tetap membisu karena semua orang dewasa tengan mengelilinginya. Tapi Rania berusaha menenangkan Athar, meski kondisinya sendiri harusnya yang mendapat banyak perhatian.“H-halo, Oma,” Akhirnya Athar mau bersuara.Mendengar suara Athar membuat Dewi makin menangis keras. Dia terus memeluk anak lelaki itu, merasa sangat bersyukur karena dapat melihat Athar tumbuh sehat dan pintar. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa berdosa dengan segala yang menimpa Rania namun dia tidak berdaya untuk mencegah.“Ini Oma, Sayang. Oma Dewi, mamanya Papa Tama,” Dewi berusaha memberi penjelasan tak peduli Athar dapat mengerti atau tidak. Meski sudah mendapatkan pengobatan pada luka-lukanya, namun Rania merasakan kepalan
Badan Rania terasa sangat basah kuyup ketika dia membuka matanya pada pukul empat pagi ini. Kemudian dia menatap sekeliling, untuk kemudian menyadari jika dia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Dia sempat memegangi kepalanya, demi mengingat kembali segala mimpinya bersama Tama. Namun semakin dia berusaha, semakin kepalanya terasa sakit.“Athar!” Rania tersadar bahwa dia tidak lagi seorang diri di dunia ini. Ada sesosok anak laki-laki yang begitu menggantungkan hidupnya pada Rania.Rania beranjak bangun, berusaha untuk mencari Athar yang tidak ada di sampingnya. Dia keluar kamar, namun mendapati Athar tengah tertidur pulas di ruang televisi sambil mendekat kereta api kesayangannya. Ada sosok Dewi yang juga ikut tidur memeluk Athar, tampak begitu kelelahan namun bahagia.Seutas senyum mampir menghinggapi bibir Rania. Meski dia masih merasakan denyut sakit dari gamparan Mada kemarin. Lantas Rania pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri, ingin beristirahat. Apes, ekor matany
Rania hampir saja terhuyung andai Arif tidak menangkapnya secepat mungkin. Rania merasakan dadanya begitu sesak dan kepalanya sakit, setelah mendengarkan semua cerita Arif yang sulit untuk dicerna dengan mudah oleh otaknya. Tak pernah dalam kamus otaknya, bahwa seorang Tama Hadi adalah sosok pria yang baik. Atau bahkan mau menurunkan harga dirinya demi memperjuangkan Rania.Maka segala ucapan Arif terasa begitu magis terpental mengenai kepala Rania, namun hatinya begitu ingin menyerapnya. Pertentangan antara dua sisi dalam diri Rania, membuatnya tak tahu harus memilih yang mana.“Kamu baik-baik saja? Bagaimana lukamu?” tanya Arif setelah menuntun Rania untuk duduk di sofa panjang di ruang VVIP itu.“Dokter bilang Tama sudah bisa dibawa ke kota besok,” tambah Tuan Hadi.“Apa?” sahut Rania tanpa sadar. “Kenapa dia dibawa ke kota?”Tuan Hadi dan Arif saling pandang dengan perasaan bingung. Berusaha untuk saling bertanya tanpa suara.“Tentu saja kami tidak bisa menunggu dia di sini,” jawa
Hati Rania serasa mencelos ketika mendengar namanya disebut Tama dengan suara yang timbul tenggelam. Apalagi ketika dia melihat jemari tangan bergerak-gerak sebisanya demi bisa memberikan respon atau membuat Rania paham jika dia sedang bicara. Rania seketika membungkam mulutnya, tak percaya Tama akan sadar secepat ini.“Lau … Lau … “ Rania memanggil-manggil nama Laura, berusaha menjangkau Laura dengan tangannya namun matanya tak mau lepas dari Tama.“Aku akan panggil dokter!” seru Laura. “Ayo, Rif!” Dia menyeret lengan Arif, berlari secepatnya untuk memanggil bantuan. Dia tahu Tama tidak membutuhkannya, dan hal paling cerdik–menurutnya adalah dengan memanggil tenaga medis.Arif diam melongo. Ingin rasanya dia memastikan keadaan Tama, tapi tarikan Laura begitu kuat dan dia juga sengaja tidak melawan setelah melihat raut lega sekaligus sedih di wajah Rania.“Tama … ini aku … “ Sebisa mungkin Rania berusaha agar Tama terus berusaha untuk bangun.Mulut Tama dibungkus dengan masker oksigen