Sementara Athar hanya memandang Dewi dengan tatapan tak mengerti. Tentu saja, dia hanyalah anak berumur empat tahun yang sangat polos. Tak paham meski Dewi bercucuran air mata saat memandangnya.“Athar, ayo sapa Oma,” pinta Bagas dengan suara lembut. Awalnya Athar masih ragu, dia tetap membisu karena semua orang dewasa tengan mengelilinginya. Tapi Rania berusaha menenangkan Athar, meski kondisinya sendiri harusnya yang mendapat banyak perhatian.“H-halo, Oma,” Akhirnya Athar mau bersuara.Mendengar suara Athar membuat Dewi makin menangis keras. Dia terus memeluk anak lelaki itu, merasa sangat bersyukur karena dapat melihat Athar tumbuh sehat dan pintar. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa berdosa dengan segala yang menimpa Rania namun dia tidak berdaya untuk mencegah.“Ini Oma, Sayang. Oma Dewi, mamanya Papa Tama,” Dewi berusaha memberi penjelasan tak peduli Athar dapat mengerti atau tidak. Meski sudah mendapatkan pengobatan pada luka-lukanya, namun Rania merasakan kepalan
Badan Rania terasa sangat basah kuyup ketika dia membuka matanya pada pukul empat pagi ini. Kemudian dia menatap sekeliling, untuk kemudian menyadari jika dia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Dia sempat memegangi kepalanya, demi mengingat kembali segala mimpinya bersama Tama. Namun semakin dia berusaha, semakin kepalanya terasa sakit.“Athar!” Rania tersadar bahwa dia tidak lagi seorang diri di dunia ini. Ada sesosok anak laki-laki yang begitu menggantungkan hidupnya pada Rania.Rania beranjak bangun, berusaha untuk mencari Athar yang tidak ada di sampingnya. Dia keluar kamar, namun mendapati Athar tengah tertidur pulas di ruang televisi sambil mendekat kereta api kesayangannya. Ada sosok Dewi yang juga ikut tidur memeluk Athar, tampak begitu kelelahan namun bahagia.Seutas senyum mampir menghinggapi bibir Rania. Meski dia masih merasakan denyut sakit dari gamparan Mada kemarin. Lantas Rania pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri, ingin beristirahat. Apes, ekor matany
Rania hampir saja terhuyung andai Arif tidak menangkapnya secepat mungkin. Rania merasakan dadanya begitu sesak dan kepalanya sakit, setelah mendengarkan semua cerita Arif yang sulit untuk dicerna dengan mudah oleh otaknya. Tak pernah dalam kamus otaknya, bahwa seorang Tama Hadi adalah sosok pria yang baik. Atau bahkan mau menurunkan harga dirinya demi memperjuangkan Rania.Maka segala ucapan Arif terasa begitu magis terpental mengenai kepala Rania, namun hatinya begitu ingin menyerapnya. Pertentangan antara dua sisi dalam diri Rania, membuatnya tak tahu harus memilih yang mana.“Kamu baik-baik saja? Bagaimana lukamu?” tanya Arif setelah menuntun Rania untuk duduk di sofa panjang di ruang VVIP itu.“Dokter bilang Tama sudah bisa dibawa ke kota besok,” tambah Tuan Hadi.“Apa?” sahut Rania tanpa sadar. “Kenapa dia dibawa ke kota?”Tuan Hadi dan Arif saling pandang dengan perasaan bingung. Berusaha untuk saling bertanya tanpa suara.“Tentu saja kami tidak bisa menunggu dia di sini,” jawa
Hati Rania serasa mencelos ketika mendengar namanya disebut Tama dengan suara yang timbul tenggelam. Apalagi ketika dia melihat jemari tangan bergerak-gerak sebisanya demi bisa memberikan respon atau membuat Rania paham jika dia sedang bicara. Rania seketika membungkam mulutnya, tak percaya Tama akan sadar secepat ini.“Lau … Lau … “ Rania memanggil-manggil nama Laura, berusaha menjangkau Laura dengan tangannya namun matanya tak mau lepas dari Tama.“Aku akan panggil dokter!” seru Laura. “Ayo, Rif!” Dia menyeret lengan Arif, berlari secepatnya untuk memanggil bantuan. Dia tahu Tama tidak membutuhkannya, dan hal paling cerdik–menurutnya adalah dengan memanggil tenaga medis.Arif diam melongo. Ingin rasanya dia memastikan keadaan Tama, tapi tarikan Laura begitu kuat dan dia juga sengaja tidak melawan setelah melihat raut lega sekaligus sedih di wajah Rania.“Tama … ini aku … “ Sebisa mungkin Rania berusaha agar Tama terus berusaha untuk bangun.Mulut Tama dibungkus dengan masker oksigen
Rania sekali lagi membungkam mulutnya. Seakan setiap bagian bibirnya enggan untuk bergerak, hanya diam memandangi tubuh Tama yang masih lemah namun penuh tekad itu. Tidak perlu diulang dua kali agar Rania bisa mengerti, jika Tama sudah menyesal dan berjanji akan berubah. Namun hatinya diliputi perasaan yang bercabang dua, antara ingin menerima permintaan maaf itu, namun juga takut disakiti lagi.“Jangan bilang apa-apa lagi, Tama. Kondisimu yang lebih penting,” ucap Rania pelan, menolak untuk memandang langsung ke arah mata Tama.Tama menggerakkan kepalanya, beralih ke sisi yang lain. Dia kelelahan. Membujuk Rania, dalam kondisinya yang baru saja pulih, sangatlah melelahkan. Dia pun setuju dengan saran Rania agar sebaiknya dia diam.“Aku keluar sebentar. Aku ingin memberitahu Ibu kalau kamu sudah bangun,” izin Rania. Dia beranjak berdiri setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana.Sementara Rania sedang berada di luar ruangannya, kepala Tama terasa sangat sakit ketika dia mencoba
Rania menarik nafas panjang, sebelum tangannya benar-benar menyentuh gagang pintu ruangan dokter yang tengah merawat kondisi Tama. Rania memutuskan untuk bertanya secara langsung pada sang dokter tentang kondisi Tama, dan melarang Arif bertindak lebih dulu. Dia tahu segalanya berat, bisa saja sang dokter memvonis suatu hal yang diluar prediksi Rania. Tapi setidaknya dia harus tahu, demi Athar.“Semuanya baik-baik saja, dan setelah saya periksa, Pak Tama memang hanya melupakan beberapa hal tertentu,” Dokter mulai membacakan vonis setelah keduanya terlibat perbincangan singkat selama tiga menit. “Ini sepertinya berhubungan dengan trauma emosional,”“Tapi … bagaimana bisa dia tidak mengingat anaknya?” Rania masih mencoba untuk mengerti.“Seperti yang sudah anda jelaskan pada saya, bisa jadi karena perasaan bersalah,” Dokter itu memandang Rania dengan tatapan teduh yang menenangkan. “Semua hal bisa terjadi, Bu Rania. Saya rasa, kita semua hanya perlu bersabar menunggu ingatan Pak Tama kem
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” Regina bertanya dengan nada ketus, sambil melipat kedua tangannya. Mereka berdua kini tengah diam berhadapan di depan koridor dekat ruang inap Tama.Rania menunduk sebentar, lantas memandang Regina lebih mantap. Sebelumnya dia berusaha mengatur emosinya sendiri. “Selamat, ya,” tandasnya dengan senyum tulus. “Aku tahu, pernikahan kalian sudah berjalan lama, tapi inilah kesempatanku untuk memberi selamat pada kalian,” jelas Rania lebih panjang.Regina terkesiap. Dia mengedipkan mata beberapa kali, karena tidak menyangka dengan topik pembicaraan Rania.“Maafkan aku karena tidak bisa hadir saat hari bahagia kalian, sebagai seorang kakak ipar,” lanjut Rania, masih dengan senyumannya yang tulus.“Hanya itu yang ingin kamu ucapkan padaku?” Akhirnya Regina punya kesempatan bicara. “Tidak ada lainnya?”“Apa maksudmu?” Rania memandang Regina tidak mengerti.Regina menarik nafas. Dia tahu, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Sepanjang tahun menjad
“Apa maksudmu?” Tama menolak untuk percaya begitu saja dengan ucapan Nita.Sekali lagi Nita menelan ludah. Tidak pernah menyangka bahwa bicara berdua saja dengan Tama–meski kondisinya sedang lemah tetap saja membuat Nita terintimidasi. Namun dia yakin dia harus bertahan, demi keutuhan rumah tangga Vinko dan Regina.“Apakah Rania pernah mengajak anak kecil saat mengunjungimu?” tanya Nita, memastikan.Tama berusaha mengingat kembali. Kemudian dia mengangguk kecil karena teringat akan seorang anak kecil laki-laki, yang tak lain adalah Athar.“Dia anakmu, Tama. Rania melahirkan anakmu,” tandas Nita dengan suara lirih.“Tidak mungkin. Dia pergi dalam keadaan tidak hamil,”“Kamu tahu alat tes kehamilan itu belum tentu akurat apalagi dalam kondisi kehamilan yang terlalu muda,” jelas Nita, tetap berusaha meyakinkan Tama. “Kamu bisa bertanya pada dokter kandungan,”Tama terdiam, dengan otak berpikir lebih keras. “Tidak mungkin … ““Semua orang tahu itu,” timpal Nita. “Tuan Hadi sampai ibumu, D
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng