Rania menarik nafas panjang, sebelum tangannya benar-benar menyentuh gagang pintu ruangan dokter yang tengah merawat kondisi Tama. Rania memutuskan untuk bertanya secara langsung pada sang dokter tentang kondisi Tama, dan melarang Arif bertindak lebih dulu. Dia tahu segalanya berat, bisa saja sang dokter memvonis suatu hal yang diluar prediksi Rania. Tapi setidaknya dia harus tahu, demi Athar.“Semuanya baik-baik saja, dan setelah saya periksa, Pak Tama memang hanya melupakan beberapa hal tertentu,” Dokter mulai membacakan vonis setelah keduanya terlibat perbincangan singkat selama tiga menit. “Ini sepertinya berhubungan dengan trauma emosional,”“Tapi … bagaimana bisa dia tidak mengingat anaknya?” Rania masih mencoba untuk mengerti.“Seperti yang sudah anda jelaskan pada saya, bisa jadi karena perasaan bersalah,” Dokter itu memandang Rania dengan tatapan teduh yang menenangkan. “Semua hal bisa terjadi, Bu Rania. Saya rasa, kita semua hanya perlu bersabar menunggu ingatan Pak Tama kem
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” Regina bertanya dengan nada ketus, sambil melipat kedua tangannya. Mereka berdua kini tengah diam berhadapan di depan koridor dekat ruang inap Tama.Rania menunduk sebentar, lantas memandang Regina lebih mantap. Sebelumnya dia berusaha mengatur emosinya sendiri. “Selamat, ya,” tandasnya dengan senyum tulus. “Aku tahu, pernikahan kalian sudah berjalan lama, tapi inilah kesempatanku untuk memberi selamat pada kalian,” jelas Rania lebih panjang.Regina terkesiap. Dia mengedipkan mata beberapa kali, karena tidak menyangka dengan topik pembicaraan Rania.“Maafkan aku karena tidak bisa hadir saat hari bahagia kalian, sebagai seorang kakak ipar,” lanjut Rania, masih dengan senyumannya yang tulus.“Hanya itu yang ingin kamu ucapkan padaku?” Akhirnya Regina punya kesempatan bicara. “Tidak ada lainnya?”“Apa maksudmu?” Rania memandang Regina tidak mengerti.Regina menarik nafas. Dia tahu, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Sepanjang tahun menjad
“Apa maksudmu?” Tama menolak untuk percaya begitu saja dengan ucapan Nita.Sekali lagi Nita menelan ludah. Tidak pernah menyangka bahwa bicara berdua saja dengan Tama–meski kondisinya sedang lemah tetap saja membuat Nita terintimidasi. Namun dia yakin dia harus bertahan, demi keutuhan rumah tangga Vinko dan Regina.“Apakah Rania pernah mengajak anak kecil saat mengunjungimu?” tanya Nita, memastikan.Tama berusaha mengingat kembali. Kemudian dia mengangguk kecil karena teringat akan seorang anak kecil laki-laki, yang tak lain adalah Athar.“Dia anakmu, Tama. Rania melahirkan anakmu,” tandas Nita dengan suara lirih.“Tidak mungkin. Dia pergi dalam keadaan tidak hamil,”“Kamu tahu alat tes kehamilan itu belum tentu akurat apalagi dalam kondisi kehamilan yang terlalu muda,” jelas Nita, tetap berusaha meyakinkan Tama. “Kamu bisa bertanya pada dokter kandungan,”Tama terdiam, dengan otak berpikir lebih keras. “Tidak mungkin … ““Semua orang tahu itu,” timpal Nita. “Tuan Hadi sampai ibumu, D
Tama seketika diam. Bahkan dia seperti menahan nafasnya sendiri demi mencerna ucapan Rania yang bagaikan peluru dilemparkan ke arahnya. Tak pernah Tama sangka, Rania akan menjadi sedingin ini meski segalanya sudah berlalu. Bahkan setelah Tama hampir saja kehilangan nyawanya sendiri.“Apa kamu yakin?” Hanya itu kata tanya yang sanggup keluar dari bibir Tama.Rania menarik nafas dalam. “Aku tidak bisa terus bertahan, setelah semua keluargamu tahu aku dimana,”“Tapi anakmu adalah pewaris keluarga Hadi,”“Dan juga anak kandungku,” ralat Rania, tegas. Dia tidak ingin meruntuhkan pertahanannya–kebenciannya pada Tama hanya karena Tama masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit.Tama menyeringai. Seringaian yang tampak menyedihkan, untuk seseorang seperti dirinya. “Jadi kamu jauh-jauh dari kemari hanya untuk pamit padaku?” sarkasnya.“Jangan cari aku lagi,” sahut Rania. “Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan Athar melupakan papanya,”Entah apa yang terjadi, tapi Tama tiba-tiba melempar ta
Sebelum pergi bersama Arif, Dewi menyempatkan diri untuk mengecup sayang kening Athar yang masih tertidur pulas. Anak kecil itu sedikit menggeser posisi tidurnya, namun matanya tetap terpejam rapat begitu nyenyak. Dewi tersenyum kecil lantas mengelus rambut Athar. Tak pernah dia merasa begitu berat untuk meninggalkan suatu tempat, apalagi ada cucunya disana.“Kamu dan Athar jaga diri baik-baik, ya,” ujar Dewi setelah menyerahkan kopernya pada Arif. Kemudian dia menoleh pada Arif. “Rif, apa Tama tidak datang ke sini?”Arif membeku, sesekali melirik Rania yang berdiri di sebelah Dewi. “Tuan Tama menunggu di rumah sakit, Nyonya,” jawabnya.Dewi mengeluh. “Harusnya dia menemui anaknya sebelum pulang,” gerutu Dewi. “Rania–” Wanita itu lantas menggenggam erat kedua tangan Rania. “Kamu dan Athar bisa datang kapanpun, ke rumahku. Jangan datang ke rumah Tama jika kamu tidak berkenan. Kamu tetap diterima di rumahku,”“Ibu jangan cemas. Aku dan Athar pasti akan main ke sana jika ada waktu,” bala
Pagi ini seluruh pegawai di kantor Tama mendadak tegang, karena bos mereka yang sudah lebih dari seminggu tidak kelihatan batang hidungnya, tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan. Rahang Tama mengeras, berjalan tegap memasuki pintu depan dengan sorot mata tajam nyaris tak berkedip. Arif berjalan di belakangnya, mengawasi setiap pasang mata yang berani berkasak-kusuk di belakang Tama.Semua nyaris tak bergerak, dan hanya bisa menunduk seakan Tama adalah sosok dewa kematian yang ditakuti. Bahkan suara sepatu pria itu terasa ngilu di gendang telinga para karyawannya, berharap Tama segera masuk terbenam di dalam ruangannya sendiri.Namun ada satu karyawan yang justru sangat bahagia mendengar kabar kembalinya Tama. Karyawan itu bahkan sudah sedari pagi mematut diri serapi mungkin dan menyambut Tama di depan pintu ruangannya. Dia tersenyum sangat manis, dengan mata berbinar ketika Tama telah sampai di hadapannya.“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa Dona.Tama sama sekali tidak melirik Dona.
Di satu waktu yang sama, Rania justru membuka kesempatan untuk Bagas yang berusaha keras memenangkan hatinya. Siang ini dia setuju untuk datang ke kediaman keluarga Handoko, dimana orang tua Bagas tinggal. Bagas adalah anak satu-satunya dari pasangan Dokter Handoko dan Dokter Rita, yang justru memilih untuk keluar dari jalur yang sudah dibuatkan orang tuanya untuknya. Bagas justru memilih untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di kampus kecil satu-satunya di kota itu.Setelah menjemput Athar berdua bersama Bagas, mereka bertiga segera menuju rumah orang tua Bagas karena sudah ditunggu. Sepanjang perjalanan Rania selalu mempertanyakan keputusan Bagas, merasa bahwa dia tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Mengingat Bagas telah mengetahui seluruh rahasia terkelamnya, Rania semakin tidak percaya diri. Seharusnya Bagas bisa mendapatkan wanita dengan latar belakang baik, dan tentunya bukan seorang janda. Begitulah kira-kira pemikiran Rania.“Halo, Athar!” seru Dokter Rita, seraya m
“Apa-apaan ini!” Tama mendorong keras tubuh Dona, menjauh darinya.Dona sampai terpelanting hampir jatuh ke lantai andai keseimbangannya tidak bagus. Sementara Tama mengusap bibirnya dengan ekspresi jengah yang benar-benar murka. Dia bahkan bangkit berdiri dengan telunjuk tertuding tepat ke arah wajah Dona.“Berani-beraninya kau melakukan itu?!” sentak Tama.Dona memejamkan mata sejenak, demi mengusir rasa malunya. Harga diri Dona sudah diambang batas bawah yang bisa ditolerir hatinya, namun semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada jalan mundur bagi Dona.“Aku mencintaimu, Tama! Aku sudah mencintaimu sejak dulu!” jerit Dona.Tama menarik dasinya yang terasa begitu mencekik leher. Dia lempar dasi itu ke arah Dona. “Berani-beraninya seorang karyawan rendahan sepertimu membicarakan cinta denganku,” Dona bangkit berdiri. Dia menggapai tubuh Tama, menggenggam erat lengan kanan Tama seakan minta dikasihani. “Kenapa kamu tidak bisa membalas perasaanku? Aku sudah memberikan ragaku seutuhnya