Di satu waktu yang sama, Rania justru membuka kesempatan untuk Bagas yang berusaha keras memenangkan hatinya. Siang ini dia setuju untuk datang ke kediaman keluarga Handoko, dimana orang tua Bagas tinggal. Bagas adalah anak satu-satunya dari pasangan Dokter Handoko dan Dokter Rita, yang justru memilih untuk keluar dari jalur yang sudah dibuatkan orang tuanya untuknya. Bagas justru memilih untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di kampus kecil satu-satunya di kota itu.Setelah menjemput Athar berdua bersama Bagas, mereka bertiga segera menuju rumah orang tua Bagas karena sudah ditunggu. Sepanjang perjalanan Rania selalu mempertanyakan keputusan Bagas, merasa bahwa dia tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Mengingat Bagas telah mengetahui seluruh rahasia terkelamnya, Rania semakin tidak percaya diri. Seharusnya Bagas bisa mendapatkan wanita dengan latar belakang baik, dan tentunya bukan seorang janda. Begitulah kira-kira pemikiran Rania.“Halo, Athar!” seru Dokter Rita, seraya m
“Apa-apaan ini!” Tama mendorong keras tubuh Dona, menjauh darinya.Dona sampai terpelanting hampir jatuh ke lantai andai keseimbangannya tidak bagus. Sementara Tama mengusap bibirnya dengan ekspresi jengah yang benar-benar murka. Dia bahkan bangkit berdiri dengan telunjuk tertuding tepat ke arah wajah Dona.“Berani-beraninya kau melakukan itu?!” sentak Tama.Dona memejamkan mata sejenak, demi mengusir rasa malunya. Harga diri Dona sudah diambang batas bawah yang bisa ditolerir hatinya, namun semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada jalan mundur bagi Dona.“Aku mencintaimu, Tama! Aku sudah mencintaimu sejak dulu!” jerit Dona.Tama menarik dasinya yang terasa begitu mencekik leher. Dia lempar dasi itu ke arah Dona. “Berani-beraninya seorang karyawan rendahan sepertimu membicarakan cinta denganku,” Dona bangkit berdiri. Dia menggapai tubuh Tama, menggenggam erat lengan kanan Tama seakan minta dikasihani. “Kenapa kamu tidak bisa membalas perasaanku? Aku sudah memberikan ragaku seutuhnya
Rania sampai tidak bisa berkata-kata setelah mendapatkan lamaran mendadak itu dari Bagas. Seakan seluruh kondisi di sekitar mereka membeku, hanya untuk mendengar jawaban Rania. Begitu pula Bagas yang mematung, dengan sabar menunggu Rania memberikan respon. Sementara Rania justru mengerjapkan mata beberapa kali, dan memusatkan perhatiannya pada minuman Bagas yang mulai dingin.“Minumanmu … “ celetuk Rania, menunjuk gelas di depan muka Bagas.“Oh!” Bagas tersentak. Dia lantas tertawa, merasa ketegangan di dalam dirinya mencair dengan celetukan Rania yang tidak penting itu.Tampak semburat merah di wajah Bagas, membuat pria itu semakin teduh dipandang. Rania tidak pernah menyadari jika Bagas begitu tampan, namun ada sisi lembut di dalam dirinya. Sisi yang sangat berbeda dari Tama maupun Vinko.“Kamu pintar, ya, mengalihkan pembicaraan?” komentar Bagas, mulai menyeruput minuman buatan Rania. “Bahkan minuman buatanmu juga enak,” imbuhnya.Rania ikut tertawa lirih. Dia amat bersyukur, pria
Semua rela menahan nafas setelah mendengar ucapan Pak Viktor yang terakhir. Seumur hidup bekerja untuk Pak Viktor, baru kali ini Rania mendengar dosennya itu mengolok Tama di depan hidungnya. Selama ini Rania kira, Pak Viktor adalah salah satu kolega Tama yang sengaja memberikan pekerjaan untuk Rania karena rekomendasi Tama. Namun dugaannya itu salah besar. “Bagaimana rasanya bekerja sebagai dosen, Rania?” tanya Pak Viktor. Matanya girang bukan main saat nasi goreng yang dipesan Rania datang dihadapannya. Rania sibuk menata meja agar Pak Viktor dan juga Bagas merasa nyaman. Dia sampai lupa untuk menjawab pertanyaan itu. “Rania?” panggil Pak Viktor. “Ah, iya, Pak Viktor!” serunya, lantas tertawa kikuk. “Maaf sepertinya tadi saya kurang fokus,” Pak Viktor manggut-manggut, ikut tertawa lirih bersama Bagas. “Sepertinya kamu suka dengan kehidupanmu di sini, ya?” Sekali lagi Pak Viktor bertanya pada Rania, namun kali ini sambil melirik Bagas. “Apakah dia juga dosen?” Sadar jika dia men
Karena terlalu sering berada di kota kecil itu, Laura tidak perlu lagi didampingi oleh Rania saat dia ingin berkeliling. Bahkan dia juga berinisiatif menjemput Athar pulang sekolah. Rania menyerahkan motornya pada Laura dan dia memutuskan untuk naik ojek online menuju ke kampus. Seperti yang sudah-sudah, kedua wanita itu memang sering menghabiskan waktu bersama. Laura selalu senang saat dia menyibukkan diri dengan si kecil Athar. “Sampai kapan kamu mau datang tiba-tiba ke sini? Memangnya ayah dan ibumu tidak marah?” tanya Rania, lalu menyerahkan sebungkus nasi pada Laura. Mereka berdua bersantai sejenak di depan ruang televisi di sore hari setelah Rania pulang dari kampus. Laura menggeleng. “Ayah dan Ibu tidak pernah peduli,” jawabnya. Ada raut sedih di wajah Laura. Tapi tiba-tiba dia tersenyum. “Semenjak ada Arif, Ayah lebih memperhatikanku,” “Harusnya kalian segera menikah,” seloroh Rania asal. “Iya, kan?!” Tak disangka Laura justru setuju dengan usul ngasal itu. Rania membelala
Rania melangkap mantap dengan berkas di dalam dekapannya. Dia berjalan menyusuri koridor kampus kecil yang sudah lima tahun menemani setiap langkahnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk mengundurkan diri dan kembali ke kota, setelah diskusi panjangnya bersama Laura malam itu. Bagaimanapun juga, dia harus berani mengambil keputusan untuk bisa lepas seutuhnya dari Tama. Dan cara itu hanya berhasil, jika dia kembali ke kota dan menghadapi perceraian secara resmi.Namun Rania melupakan satu hal, yaitu Bagas. Dia lupa jika ada satu pria baik yang kemungkinan akan merasa kecewa dengan keputusannya. Dan benar, Bagas sudah menunggu kedatangan Rania di depan pintu ruang rektor ketika Rania keluar dari ruangan itu setelah berbincang cukup lama dengan rektor kampus itu.“Aku baru akan menemuimu,” ujar Rania.Bagas memandangnya sekilas, lantas berjalan pelan. Rania mengikuti di sampingnya, tidak berani lagi membuka mulut karena sadar Bagas kecewa. Dan rasa kecewa itu di luar prediksi Rania. Dia k
Hanya rasa malu dan harga diri yang tercabik-cabiklah yang kini tersisa di dalam diri Dona. Dia bahkan tidak sanggup menatap satu-persatu tatapan sinis para pegawai di kantor, ketika dia hendak mengemasi barang-barang miliknya. Mereka semua mencibir Dona secara terang-terangan di depan muka Dona. Mengolok wanita itu, merendahkan bahkan mencaci. Seorang Dona berani-beraninya menggoda bos mereka yang digdaya, Tama Hadi. “Dia masih berani datang? Dasar tidak punya malu!” Salah satu olokan yang sempat didengar Dona ketika dia hendak masuk ke dalam ruangannya. Dia menelan ludah dengan perasaan pahit. Apalagi ketika dia melirik ke arah ruangan Tama yang tertutup rapat, sangat sulit dia tembus sekarang. Namun Dona cukup bersyukur karena dia tidak bertemu Tama maupun Arif dalam perjalanannya mengambil barang-barang. Dia kira, setelah menuruti segala perintah Tama–termasuk menjadi pelampiasan hasrat maka dia akan diperhatikan. Setidaknya Tama akan mempertimbangkan dirinya untuk menggantikan
Ini adalah pertama kalinya bagi Athar untuk mengunjungi rumah kakek dan neneknya, yang megah bak istana di kehidupan modern. Anak kecil itu tidak berhenti menyerukan kekagumannya, terus mendongak saat Rania menuntun langkahnya untuk masuk ke dalam gerbang besar rumah Tuan Hadi. Di sanalah Tuan Hadi dan Dewi sudah menunggu kedatangan sang cucu dengan tak sabar.“Athar!” seru Dewi, seraya berlari memeluk Athar. Orang tua itu menciumi Athar tanpa henti, merasa sangat merindukan sang cucu.Begitu pula Tuan Hadi yang tidak berhenti tersenyum melihat tingkah nenek dan cucu itu. Meski dia tidak menunjukkan rasa sayangnya secara jelas seperti Dewi, namun di hati Tuan Hadi begitu mencintai Athar. Karena Athar adalah cucu kandung pertamanya yang sangat berharga.“Apa kabarmu, Ran? Apa perjalananmu menyenangkan?” sapa Tuan Hadi pada Rania. Tidak seperti biasanya yang berwajah serius, pria tua itu lebih melunak.Rania tersenyum hangat. “Perjalanan saya aman berkat Arif dan Laura,” jawabnya, seray