Hanya rasa malu dan harga diri yang tercabik-cabiklah yang kini tersisa di dalam diri Dona. Dia bahkan tidak sanggup menatap satu-persatu tatapan sinis para pegawai di kantor, ketika dia hendak mengemasi barang-barang miliknya. Mereka semua mencibir Dona secara terang-terangan di depan muka Dona. Mengolok wanita itu, merendahkan bahkan mencaci. Seorang Dona berani-beraninya menggoda bos mereka yang digdaya, Tama Hadi. “Dia masih berani datang? Dasar tidak punya malu!” Salah satu olokan yang sempat didengar Dona ketika dia hendak masuk ke dalam ruangannya. Dia menelan ludah dengan perasaan pahit. Apalagi ketika dia melirik ke arah ruangan Tama yang tertutup rapat, sangat sulit dia tembus sekarang. Namun Dona cukup bersyukur karena dia tidak bertemu Tama maupun Arif dalam perjalanannya mengambil barang-barang. Dia kira, setelah menuruti segala perintah Tama–termasuk menjadi pelampiasan hasrat maka dia akan diperhatikan. Setidaknya Tama akan mempertimbangkan dirinya untuk menggantikan
Ini adalah pertama kalinya bagi Athar untuk mengunjungi rumah kakek dan neneknya, yang megah bak istana di kehidupan modern. Anak kecil itu tidak berhenti menyerukan kekagumannya, terus mendongak saat Rania menuntun langkahnya untuk masuk ke dalam gerbang besar rumah Tuan Hadi. Di sanalah Tuan Hadi dan Dewi sudah menunggu kedatangan sang cucu dengan tak sabar.“Athar!” seru Dewi, seraya berlari memeluk Athar. Orang tua itu menciumi Athar tanpa henti, merasa sangat merindukan sang cucu.Begitu pula Tuan Hadi yang tidak berhenti tersenyum melihat tingkah nenek dan cucu itu. Meski dia tidak menunjukkan rasa sayangnya secara jelas seperti Dewi, namun di hati Tuan Hadi begitu mencintai Athar. Karena Athar adalah cucu kandung pertamanya yang sangat berharga.“Apa kabarmu, Ran? Apa perjalananmu menyenangkan?” sapa Tuan Hadi pada Rania. Tidak seperti biasanya yang berwajah serius, pria tua itu lebih melunak.Rania tersenyum hangat. “Perjalanan saya aman berkat Arif dan Laura,” jawabnya, seray
Dona memainkan jari-jemarinya, demi menghilangkan rasa gugup. Ini bukan kali pertama baginya saling berhadapan dengan Mada dalam sebuah negosiasi, namun Dona merasakan pertemuan kali ini begitu menegangkan. Selain karena mereka bertemu di sebuah bilik ruangan yang dingin nan muram, tidak ada siapapun selain Dona dan Mada. Bahkan dua petugas yang berjaga di balik jeruji juga membalikkan badan, membiarkan Mada mengambil alih situasi.“Kamu yakin tidak akan menyesal?” ulang Mada sekali lagi.Dona menelan ludah. Dia bahkan hampir menahan nafasnya karena tegang. “Kenapa aku harus menyesal?”“Tentu saja–” Mada makin mendekat. “Jika sampai Tama mengetahui rencana ini, dia tidak akan tinggal diam. Bisa saja dia membunuhmu,” Mada menyeringai lebar.“T-tapi kamu juga terlibat!” sentak Dona terbata-bata. “Memangnya apa yang kamu rencanakan?”Mada menyadari jika Dona mulai tertarik dengan penawarannya. Dia menyeringai dengan tatapan licik ke arah Dona. Kedua alisnya bertaut. Jika bisa digambarkan
Berbeda dengan Athar yang sangat bahagia bisa bertemu Tama, Rania justru sebaliknya. Dia berdiri kaku dengan bibir tertutup rapat dan wajah tegang. Meskipun matanya juga melekat erat saling memandang dengan Tama. Mereka berdua tertegun dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Kenapa Papa tidak datang menemui Athar kemarin?” protes Athar.Tama mengelus pelan kepala anak itu. “Papa masih sibuk, Athar. Kamu ke sini sama siapa?”Athar menunjuk Arif. Dia tidak menjawab karena masih belum terbiasa dengan Arif dan panggilan untuk pria itu. Dan kini Tama bisa menyimpulkan segalanya. Pantas saja Arif tiba-tiba datang dan memancingnya dengan segala perkataan tentang Rania dan Athar. Ternyata Arif memang membawa dua orang itu kehadapan Tama, seakan tengah memberi kejutan.“Mama, sini!” Athar berteriak, meminta sang mama untuk mendekat karena Rania masih diam di ujung jalan.Mau tak mau Rania bergerak, berjalan pelan menghampiri Athar yang masih berada dalam dekapan Tama. Saat melihat Rania,
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra