“Apa maksudmu?” Tama menolak untuk percaya begitu saja dengan ucapan Nita.Sekali lagi Nita menelan ludah. Tidak pernah menyangka bahwa bicara berdua saja dengan Tama–meski kondisinya sedang lemah tetap saja membuat Nita terintimidasi. Namun dia yakin dia harus bertahan, demi keutuhan rumah tangga Vinko dan Regina.“Apakah Rania pernah mengajak anak kecil saat mengunjungimu?” tanya Nita, memastikan.Tama berusaha mengingat kembali. Kemudian dia mengangguk kecil karena teringat akan seorang anak kecil laki-laki, yang tak lain adalah Athar.“Dia anakmu, Tama. Rania melahirkan anakmu,” tandas Nita dengan suara lirih.“Tidak mungkin. Dia pergi dalam keadaan tidak hamil,”“Kamu tahu alat tes kehamilan itu belum tentu akurat apalagi dalam kondisi kehamilan yang terlalu muda,” jelas Nita, tetap berusaha meyakinkan Tama. “Kamu bisa bertanya pada dokter kandungan,”Tama terdiam, dengan otak berpikir lebih keras. “Tidak mungkin … ““Semua orang tahu itu,” timpal Nita. “Tuan Hadi sampai ibumu, D
Tama seketika diam. Bahkan dia seperti menahan nafasnya sendiri demi mencerna ucapan Rania yang bagaikan peluru dilemparkan ke arahnya. Tak pernah Tama sangka, Rania akan menjadi sedingin ini meski segalanya sudah berlalu. Bahkan setelah Tama hampir saja kehilangan nyawanya sendiri.“Apa kamu yakin?” Hanya itu kata tanya yang sanggup keluar dari bibir Tama.Rania menarik nafas dalam. “Aku tidak bisa terus bertahan, setelah semua keluargamu tahu aku dimana,”“Tapi anakmu adalah pewaris keluarga Hadi,”“Dan juga anak kandungku,” ralat Rania, tegas. Dia tidak ingin meruntuhkan pertahanannya–kebenciannya pada Tama hanya karena Tama masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit.Tama menyeringai. Seringaian yang tampak menyedihkan, untuk seseorang seperti dirinya. “Jadi kamu jauh-jauh dari kemari hanya untuk pamit padaku?” sarkasnya.“Jangan cari aku lagi,” sahut Rania. “Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan Athar melupakan papanya,”Entah apa yang terjadi, tapi Tama tiba-tiba melempar ta
Sebelum pergi bersama Arif, Dewi menyempatkan diri untuk mengecup sayang kening Athar yang masih tertidur pulas. Anak kecil itu sedikit menggeser posisi tidurnya, namun matanya tetap terpejam rapat begitu nyenyak. Dewi tersenyum kecil lantas mengelus rambut Athar. Tak pernah dia merasa begitu berat untuk meninggalkan suatu tempat, apalagi ada cucunya disana.“Kamu dan Athar jaga diri baik-baik, ya,” ujar Dewi setelah menyerahkan kopernya pada Arif. Kemudian dia menoleh pada Arif. “Rif, apa Tama tidak datang ke sini?”Arif membeku, sesekali melirik Rania yang berdiri di sebelah Dewi. “Tuan Tama menunggu di rumah sakit, Nyonya,” jawabnya.Dewi mengeluh. “Harusnya dia menemui anaknya sebelum pulang,” gerutu Dewi. “Rania–” Wanita itu lantas menggenggam erat kedua tangan Rania. “Kamu dan Athar bisa datang kapanpun, ke rumahku. Jangan datang ke rumah Tama jika kamu tidak berkenan. Kamu tetap diterima di rumahku,”“Ibu jangan cemas. Aku dan Athar pasti akan main ke sana jika ada waktu,” bala
Pagi ini seluruh pegawai di kantor Tama mendadak tegang, karena bos mereka yang sudah lebih dari seminggu tidak kelihatan batang hidungnya, tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan. Rahang Tama mengeras, berjalan tegap memasuki pintu depan dengan sorot mata tajam nyaris tak berkedip. Arif berjalan di belakangnya, mengawasi setiap pasang mata yang berani berkasak-kusuk di belakang Tama.Semua nyaris tak bergerak, dan hanya bisa menunduk seakan Tama adalah sosok dewa kematian yang ditakuti. Bahkan suara sepatu pria itu terasa ngilu di gendang telinga para karyawannya, berharap Tama segera masuk terbenam di dalam ruangannya sendiri.Namun ada satu karyawan yang justru sangat bahagia mendengar kabar kembalinya Tama. Karyawan itu bahkan sudah sedari pagi mematut diri serapi mungkin dan menyambut Tama di depan pintu ruangannya. Dia tersenyum sangat manis, dengan mata berbinar ketika Tama telah sampai di hadapannya.“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa Dona.Tama sama sekali tidak melirik Dona.
Di satu waktu yang sama, Rania justru membuka kesempatan untuk Bagas yang berusaha keras memenangkan hatinya. Siang ini dia setuju untuk datang ke kediaman keluarga Handoko, dimana orang tua Bagas tinggal. Bagas adalah anak satu-satunya dari pasangan Dokter Handoko dan Dokter Rita, yang justru memilih untuk keluar dari jalur yang sudah dibuatkan orang tuanya untuknya. Bagas justru memilih untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di kampus kecil satu-satunya di kota itu.Setelah menjemput Athar berdua bersama Bagas, mereka bertiga segera menuju rumah orang tua Bagas karena sudah ditunggu. Sepanjang perjalanan Rania selalu mempertanyakan keputusan Bagas, merasa bahwa dia tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Mengingat Bagas telah mengetahui seluruh rahasia terkelamnya, Rania semakin tidak percaya diri. Seharusnya Bagas bisa mendapatkan wanita dengan latar belakang baik, dan tentunya bukan seorang janda. Begitulah kira-kira pemikiran Rania.“Halo, Athar!” seru Dokter Rita, seraya m
“Apa-apaan ini!” Tama mendorong keras tubuh Dona, menjauh darinya.Dona sampai terpelanting hampir jatuh ke lantai andai keseimbangannya tidak bagus. Sementara Tama mengusap bibirnya dengan ekspresi jengah yang benar-benar murka. Dia bahkan bangkit berdiri dengan telunjuk tertuding tepat ke arah wajah Dona.“Berani-beraninya kau melakukan itu?!” sentak Tama.Dona memejamkan mata sejenak, demi mengusir rasa malunya. Harga diri Dona sudah diambang batas bawah yang bisa ditolerir hatinya, namun semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada jalan mundur bagi Dona.“Aku mencintaimu, Tama! Aku sudah mencintaimu sejak dulu!” jerit Dona.Tama menarik dasinya yang terasa begitu mencekik leher. Dia lempar dasi itu ke arah Dona. “Berani-beraninya seorang karyawan rendahan sepertimu membicarakan cinta denganku,” Dona bangkit berdiri. Dia menggapai tubuh Tama, menggenggam erat lengan kanan Tama seakan minta dikasihani. “Kenapa kamu tidak bisa membalas perasaanku? Aku sudah memberikan ragaku seutuhnya
Rania sampai tidak bisa berkata-kata setelah mendapatkan lamaran mendadak itu dari Bagas. Seakan seluruh kondisi di sekitar mereka membeku, hanya untuk mendengar jawaban Rania. Begitu pula Bagas yang mematung, dengan sabar menunggu Rania memberikan respon. Sementara Rania justru mengerjapkan mata beberapa kali, dan memusatkan perhatiannya pada minuman Bagas yang mulai dingin.“Minumanmu … “ celetuk Rania, menunjuk gelas di depan muka Bagas.“Oh!” Bagas tersentak. Dia lantas tertawa, merasa ketegangan di dalam dirinya mencair dengan celetukan Rania yang tidak penting itu.Tampak semburat merah di wajah Bagas, membuat pria itu semakin teduh dipandang. Rania tidak pernah menyadari jika Bagas begitu tampan, namun ada sisi lembut di dalam dirinya. Sisi yang sangat berbeda dari Tama maupun Vinko.“Kamu pintar, ya, mengalihkan pembicaraan?” komentar Bagas, mulai menyeruput minuman buatan Rania. “Bahkan minuman buatanmu juga enak,” imbuhnya.Rania ikut tertawa lirih. Dia amat bersyukur, pria
Semua rela menahan nafas setelah mendengar ucapan Pak Viktor yang terakhir. Seumur hidup bekerja untuk Pak Viktor, baru kali ini Rania mendengar dosennya itu mengolok Tama di depan hidungnya. Selama ini Rania kira, Pak Viktor adalah salah satu kolega Tama yang sengaja memberikan pekerjaan untuk Rania karena rekomendasi Tama. Namun dugaannya itu salah besar. “Bagaimana rasanya bekerja sebagai dosen, Rania?” tanya Pak Viktor. Matanya girang bukan main saat nasi goreng yang dipesan Rania datang dihadapannya. Rania sibuk menata meja agar Pak Viktor dan juga Bagas merasa nyaman. Dia sampai lupa untuk menjawab pertanyaan itu. “Rania?” panggil Pak Viktor. “Ah, iya, Pak Viktor!” serunya, lantas tertawa kikuk. “Maaf sepertinya tadi saya kurang fokus,” Pak Viktor manggut-manggut, ikut tertawa lirih bersama Bagas. “Sepertinya kamu suka dengan kehidupanmu di sini, ya?” Sekali lagi Pak Viktor bertanya pada Rania, namun kali ini sambil melirik Bagas. “Apakah dia juga dosen?” Sadar jika dia men