Badan Rania terasa sangat basah kuyup ketika dia membuka matanya pada pukul empat pagi ini. Kemudian dia menatap sekeliling, untuk kemudian menyadari jika dia sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Dia sempat memegangi kepalanya, demi mengingat kembali segala mimpinya bersama Tama. Namun semakin dia berusaha, semakin kepalanya terasa sakit.“Athar!” Rania tersadar bahwa dia tidak lagi seorang diri di dunia ini. Ada sesosok anak laki-laki yang begitu menggantungkan hidupnya pada Rania.Rania beranjak bangun, berusaha untuk mencari Athar yang tidak ada di sampingnya. Dia keluar kamar, namun mendapati Athar tengah tertidur pulas di ruang televisi sambil mendekat kereta api kesayangannya. Ada sosok Dewi yang juga ikut tidur memeluk Athar, tampak begitu kelelahan namun bahagia.Seutas senyum mampir menghinggapi bibir Rania. Meski dia masih merasakan denyut sakit dari gamparan Mada kemarin. Lantas Rania pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri, ingin beristirahat. Apes, ekor matany
Rania hampir saja terhuyung andai Arif tidak menangkapnya secepat mungkin. Rania merasakan dadanya begitu sesak dan kepalanya sakit, setelah mendengarkan semua cerita Arif yang sulit untuk dicerna dengan mudah oleh otaknya. Tak pernah dalam kamus otaknya, bahwa seorang Tama Hadi adalah sosok pria yang baik. Atau bahkan mau menurunkan harga dirinya demi memperjuangkan Rania.Maka segala ucapan Arif terasa begitu magis terpental mengenai kepala Rania, namun hatinya begitu ingin menyerapnya. Pertentangan antara dua sisi dalam diri Rania, membuatnya tak tahu harus memilih yang mana.“Kamu baik-baik saja? Bagaimana lukamu?” tanya Arif setelah menuntun Rania untuk duduk di sofa panjang di ruang VVIP itu.“Dokter bilang Tama sudah bisa dibawa ke kota besok,” tambah Tuan Hadi.“Apa?” sahut Rania tanpa sadar. “Kenapa dia dibawa ke kota?”Tuan Hadi dan Arif saling pandang dengan perasaan bingung. Berusaha untuk saling bertanya tanpa suara.“Tentu saja kami tidak bisa menunggu dia di sini,” jawa
Hati Rania serasa mencelos ketika mendengar namanya disebut Tama dengan suara yang timbul tenggelam. Apalagi ketika dia melihat jemari tangan bergerak-gerak sebisanya demi bisa memberikan respon atau membuat Rania paham jika dia sedang bicara. Rania seketika membungkam mulutnya, tak percaya Tama akan sadar secepat ini.“Lau … Lau … “ Rania memanggil-manggil nama Laura, berusaha menjangkau Laura dengan tangannya namun matanya tak mau lepas dari Tama.“Aku akan panggil dokter!” seru Laura. “Ayo, Rif!” Dia menyeret lengan Arif, berlari secepatnya untuk memanggil bantuan. Dia tahu Tama tidak membutuhkannya, dan hal paling cerdik–menurutnya adalah dengan memanggil tenaga medis.Arif diam melongo. Ingin rasanya dia memastikan keadaan Tama, tapi tarikan Laura begitu kuat dan dia juga sengaja tidak melawan setelah melihat raut lega sekaligus sedih di wajah Rania.“Tama … ini aku … “ Sebisa mungkin Rania berusaha agar Tama terus berusaha untuk bangun.Mulut Tama dibungkus dengan masker oksigen
Rania sekali lagi membungkam mulutnya. Seakan setiap bagian bibirnya enggan untuk bergerak, hanya diam memandangi tubuh Tama yang masih lemah namun penuh tekad itu. Tidak perlu diulang dua kali agar Rania bisa mengerti, jika Tama sudah menyesal dan berjanji akan berubah. Namun hatinya diliputi perasaan yang bercabang dua, antara ingin menerima permintaan maaf itu, namun juga takut disakiti lagi.“Jangan bilang apa-apa lagi, Tama. Kondisimu yang lebih penting,” ucap Rania pelan, menolak untuk memandang langsung ke arah mata Tama.Tama menggerakkan kepalanya, beralih ke sisi yang lain. Dia kelelahan. Membujuk Rania, dalam kondisinya yang baru saja pulih, sangatlah melelahkan. Dia pun setuju dengan saran Rania agar sebaiknya dia diam.“Aku keluar sebentar. Aku ingin memberitahu Ibu kalau kamu sudah bangun,” izin Rania. Dia beranjak berdiri setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana.Sementara Rania sedang berada di luar ruangannya, kepala Tama terasa sangat sakit ketika dia mencoba
Rania menarik nafas panjang, sebelum tangannya benar-benar menyentuh gagang pintu ruangan dokter yang tengah merawat kondisi Tama. Rania memutuskan untuk bertanya secara langsung pada sang dokter tentang kondisi Tama, dan melarang Arif bertindak lebih dulu. Dia tahu segalanya berat, bisa saja sang dokter memvonis suatu hal yang diluar prediksi Rania. Tapi setidaknya dia harus tahu, demi Athar.“Semuanya baik-baik saja, dan setelah saya periksa, Pak Tama memang hanya melupakan beberapa hal tertentu,” Dokter mulai membacakan vonis setelah keduanya terlibat perbincangan singkat selama tiga menit. “Ini sepertinya berhubungan dengan trauma emosional,”“Tapi … bagaimana bisa dia tidak mengingat anaknya?” Rania masih mencoba untuk mengerti.“Seperti yang sudah anda jelaskan pada saya, bisa jadi karena perasaan bersalah,” Dokter itu memandang Rania dengan tatapan teduh yang menenangkan. “Semua hal bisa terjadi, Bu Rania. Saya rasa, kita semua hanya perlu bersabar menunggu ingatan Pak Tama kem
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” Regina bertanya dengan nada ketus, sambil melipat kedua tangannya. Mereka berdua kini tengah diam berhadapan di depan koridor dekat ruang inap Tama.Rania menunduk sebentar, lantas memandang Regina lebih mantap. Sebelumnya dia berusaha mengatur emosinya sendiri. “Selamat, ya,” tandasnya dengan senyum tulus. “Aku tahu, pernikahan kalian sudah berjalan lama, tapi inilah kesempatanku untuk memberi selamat pada kalian,” jelas Rania lebih panjang.Regina terkesiap. Dia mengedipkan mata beberapa kali, karena tidak menyangka dengan topik pembicaraan Rania.“Maafkan aku karena tidak bisa hadir saat hari bahagia kalian, sebagai seorang kakak ipar,” lanjut Rania, masih dengan senyumannya yang tulus.“Hanya itu yang ingin kamu ucapkan padaku?” Akhirnya Regina punya kesempatan bicara. “Tidak ada lainnya?”“Apa maksudmu?” Rania memandang Regina tidak mengerti.Regina menarik nafas. Dia tahu, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Sepanjang tahun menjad
“Apa maksudmu?” Tama menolak untuk percaya begitu saja dengan ucapan Nita.Sekali lagi Nita menelan ludah. Tidak pernah menyangka bahwa bicara berdua saja dengan Tama–meski kondisinya sedang lemah tetap saja membuat Nita terintimidasi. Namun dia yakin dia harus bertahan, demi keutuhan rumah tangga Vinko dan Regina.“Apakah Rania pernah mengajak anak kecil saat mengunjungimu?” tanya Nita, memastikan.Tama berusaha mengingat kembali. Kemudian dia mengangguk kecil karena teringat akan seorang anak kecil laki-laki, yang tak lain adalah Athar.“Dia anakmu, Tama. Rania melahirkan anakmu,” tandas Nita dengan suara lirih.“Tidak mungkin. Dia pergi dalam keadaan tidak hamil,”“Kamu tahu alat tes kehamilan itu belum tentu akurat apalagi dalam kondisi kehamilan yang terlalu muda,” jelas Nita, tetap berusaha meyakinkan Tama. “Kamu bisa bertanya pada dokter kandungan,”Tama terdiam, dengan otak berpikir lebih keras. “Tidak mungkin … ““Semua orang tahu itu,” timpal Nita. “Tuan Hadi sampai ibumu, D
Tama seketika diam. Bahkan dia seperti menahan nafasnya sendiri demi mencerna ucapan Rania yang bagaikan peluru dilemparkan ke arahnya. Tak pernah Tama sangka, Rania akan menjadi sedingin ini meski segalanya sudah berlalu. Bahkan setelah Tama hampir saja kehilangan nyawanya sendiri.“Apa kamu yakin?” Hanya itu kata tanya yang sanggup keluar dari bibir Tama.Rania menarik nafas dalam. “Aku tidak bisa terus bertahan, setelah semua keluargamu tahu aku dimana,”“Tapi anakmu adalah pewaris keluarga Hadi,”“Dan juga anak kandungku,” ralat Rania, tegas. Dia tidak ingin meruntuhkan pertahanannya–kebenciannya pada Tama hanya karena Tama masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit.Tama menyeringai. Seringaian yang tampak menyedihkan, untuk seseorang seperti dirinya. “Jadi kamu jauh-jauh dari kemari hanya untuk pamit padaku?” sarkasnya.“Jangan cari aku lagi,” sahut Rania. “Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan Athar melupakan papanya,”Entah apa yang terjadi, tapi Tama tiba-tiba melempar ta