“Papa, kok bisa-bisanya ngusulin perjodohan ini, sih? Gak bisa lah, aku gak setuju!" teriak Acha dengan keras.
Sebuah perjodohan tak terduga telah diatur untuk Acha, seorang gadis berumur 21 tahun, dengan Arsen, seorang CEO berumur 33 tahun. Pria yang lebih cocok menjadi pamannya sendiri! Bagaimana mungkin papanya tega melakukan ini? "Sayang, jangan teriak-teriak dong! Papa bisa budek nih!" Nathan menutup telinganya, ia terlihat kesal pada putri kesayangannya itu. Ia kemudian menarik nafas sejenak. “Papa nggak punya pilihan lain, Acha. Kakak kamu sudah punya pacar dan akan segera menikah. Mau ditaruh dimana wajah papa kalau keluarga Artanto mendengar perjodohannya tidak akan terjadi?" Acha terlihat sangat kesal. “Tapi, Pa, Acha nggak mau menikah muda. Papa kan tau Acha masih kuliah. Gimana kalau orang-orang tau kalau Acha sudah menikah? Apalagi Om Arsen juga sudah tua, Pa. Batalin aja perjodohannya, ya?“ pinta Acha. Wajahnya terlihat memelas. Nathan menarik nafas dalam. Pria itu semakin pusing memikirkan cara membujuk putri cantiknya agar mau menerima perjodohan yang sudah ia sepakati. Cindy yang duduk di sisi kanan pria paruh baya itu juga terlihat tidak setuju akan perjodohan ini. “Memangnya tidak ada cara lain untuk menolak perjodohan ini? Kasihan Acha, Pa. Putri kita masih kecil,” ucap Cindy dengan lirih, ia pun terlihat bingung harus bagaimana. “Papa juga bingung, Ma. Kalau Papa bisa menolak, Papa tidak mungkin mengorbankan Acha. Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak punya hak untuk membatalkan perjodohan ini.“ Acha yang sedari tadi berdiri, segera mendekat ke arah orangtuanya. Gadis bermata cokelat itu mendaratkan tubuhnya di samping sang ayah. Wajahnya terlihat memelas membuat Nathan semakin terenyuh. Jujur saja, pria paruh baya itu pun sebenarnya tidak ingin putri bungsunya menikah begitu cepat. Tapi, perjodohan ini harus segera terlaksana. “Pa... please, batalin perjodohan Acha sama Om Arsen. Acha belum mau menikah, Pa.“ Gadis itu memohon pada sang ayah. Setelah terdiam cukup lama, Nathan menoleh ke arah putrinya dan menggenggam kedua tangan gadis itu. “Sayang, maafin Papa. Sekali ini saja, Acha menuruti permintaan Papa. Selama ini, Papa tidak pernah memaksakan Acha harus seperti yang Papa mau. Tapi situasi kali ini mengharuskan Papa untuk memaksa kamu. Mau ya, sayang? Papa mohon, hmm?“ Mata pria paruh baya itu terlihat sangat berharap, membuat Acha merasa bersalah. Dari dulu Nathan memang tidak pernah melarangnya apa pun. Pria paruh baya itu akan mengikuti semua keinginan Acha, selagi itu masih wajar. “Pa, Acha nggak mau. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Papa. Mana ada cara kuno seperti ini lagi di zaman modern sekarang ini. Please, Pa, coba bicara dulu sama keluarga Om Arsen. Pasti mereka juga maklum kok, kalau keluarga kita menolaknya.“ Merasa sudah lelah membujuk putrinya, Nathan kemudian berdiri dan melepaskan genggaman tangannya dari tangan Acha. “Kamu tidak bisa menolaknya. Kamu tidak punya hak untuk membantah perintah Papa. Mengerti?!!“ ujar Nathan dengan dingin. “Acha nggak mau, Pa!“ “Sudah Papa katakan, kamu tidak punya hak untuk menolaknya. Jangan buat Papa marah, Acha! Kamu harus tetap menerima perjodohan ini!“ Tanpa mendengar jawaban dari Acha, pria paruh baya itu segera berlalu pergi meninggalkan gadis itu bersama istrinya. ** Hari yang sama sekali tidak diinginkan oleh Acha, tiba juga. Dia terlihat sangat cantik, dengan gaun berwarna putih, rancangan desainer ternama. Bernuansa vintage, dengan detail lengan panjang dan see through di bagian atas gaun, aksen payet dan juga bordir yang semakin menambah kesempurnaan gaun tersebut. Membuat Acha seperti permaisuri, mewah dan elegan. “Kakak cantik sekali, semakin sempurna dengan gaun ini,” ucap penata rias yang baru saja selesai mendandani Acha. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir gadis itu. Di dalam pikirannya sedang menyusun beragam strategi agar bisa melarikan diri dari acara pemberkatan itu. Setelah Acha selesai didandani, sang ibu tampak tersenyum lembut padanya. Ia menangkup tangan sang anak. “Mama yakin ini adalah keputusan terbaik untuk kamu. Kamu pasti akan bahagia bersama dengan Arsen.” Acha hanya terdiam, terlalu marah untuk menanggapi kalimat dari ibunya. Jadi, ia memutuskan untuk tak menjawabnya dan berlalu pergi. Rombongan keluarga Acha, sudah sampai di gereja. Sebentar lagi acara pemberkatan akan dimulai, Acha masih menunggu di salah satu ruang sebelum nantinya dia akan berjalan memasuki altar didampingi oleh ayahnya. Di dalam sana Acha sendirian. Dia pun mencoba melihat situasi. “Sepertinya aman, saatnya sekarang aku harus kabur dari sini.” Acha sudah tak peduli akan konsekuensinya lagi. Dia keluar dari ruangan itu karena mendapatkan kesempatan. “Ke mana dia? Acha, di mana kamu?” Nathan yang sudah bersiap mendampingi Acha ke altar pemberkatan terkejut ketika mendapati putrinya itu tak terlihat di sana. Semua orang heboh, karena Acha tidak ada di ruangan itu. Arsen menatap dingin ke arah asistennya yang memberitahukannya kalau calon mempelai wanitanya kabur sebelum acara pemberkatan dimulai. Di sisi lain, Acha yang berusaha menjauh dari gereja, kesulitan untuk berjalan lebih cepat lagi, karena gaun yang dia kenakan seolah mengikat langkahnya. "Sial! Kenapa gaun ini berat sekali? Aku jadi tidak bisa berjalan lebih cepat lagi." Acha menggerutu, hatinya berdebar kencang dan panik memenuhi pikirannya, khawatir orang-orang akan segera menemukannya. Baru saja Acha hendak melambaikan tangannya untuk memanggil taksi, tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya dengan kasar. Hampir saja ia terjatuh ke lantai, terperangkap dalam gaun yang menyiksanya. "Mau kabur ke mana kamu?" Acha mengerjapkan kedua matanya ketika mendapati bahwa Arsen yang berdiri di hadapannya. “B-bagaimana mungkin Om bisa menemukanku?”“Lepaskan aku, Om! Aku tidak menginginkan pernikahan ini!” Acha memohon agar Arsen membebaskannya dari rencana pernikahan yang sebentar lagi akan dimulai.“Jangan bertingkah konyol Acha, jika kamu tidak ingin mempermalukan orang tuamu! Aku tidak main-main dengan ucapanku ini.” Arsen memberi penekanan di setiap kata-katanya. “Tapi aku tidak mau nikah sama Om.”“Sayangnya, orang tuamu dan juga keluarga besarku sudah sepakat mengenai perjodohan ini. Dan kamu tidak berhak untuk menolakku, sekarang ikut denganku masuk ke dalam!” Sentak Arsen, pria jangkung itu menarik tangan Acha untuk kembali masuk ke dalam gereja.“Lepasin dulu tanganku, aku bisa jalan sendiri, Om!” Acha berontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Arsen. Arsen tidak menjawab, ia hanya terus mengeratkan genggamannya. “Aku tidak akan kabur lagi, memangnya Om tidak melihat gaunku berat seperti ini?”Namun tak ada jawaban dari pria itu. Acha merasa sangat kesal, dan dia juga marah. Tapi tak bisa berbuat apa-ap
“Kamu sudah siap untuk ritual malam pertama kita?” Tanya Arsen kepada sang istri. Acha memutar bola matanya, merasa kesal dengan pertanyaan itu. “Nggak lucu, Om,” jawabnya dengan ketus.“Ternyata kalau lagi marah seperti ini, lucu juga. Kamu tenang saja, aku tidak akan bermain kasar kok.” Lagi, Arsen sepertinya sangat senang menggoda Acha. “Bisa diam tidak?” Bentak Acha, hilang sudah kesabarannya. Acha tidak peduli jika yang dilakukan itu akan membuat Arsen murka, tapi Acha tidak bisa menahan kesal dan marahnya lagi. Sejak tadi pria itu terus saja membuatnya kesal.Arsen hanya tersenyum tipis menanggapi kemarahan istrinya itu. Tak berapa lama, mobil yang membawa mereka berdua memasuki halaman parkir sebuah hotel mewah.“Selamat datang, Tuan dan Nyonya.” Sapa pelayan hotel dengan ramah pada Arsen dan Acha.Pelayan mengantarkan pasangan baru itu ke kamar mereka.“Silakan menikmati bulan madunya, Tuan dan Nyonya. Jika perlu sesuatu, silakan hubungi kami.” Sang pelayan membungkukkan t
"Om... Aku nggak mau di unboxing ya..." Kalimat itu yang pertama kali terucap dari mulut Acha saat Arsen baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Mendengar kalimat itu, Arsen tertawa dengan keras."Kok om ketawa? Emang ada yang lucu?" tanya gadis cantik yang baru saja menjadi istri dari Arsen. "Ya, kamu ngapain ngomong kayak gitu?""Ya kan, kita ini sudah menikah. Om itu suami, aku itu istrinya om. Kalau udah suami istri kan, si istri bakalan di unboxing suaminya.""Ya terus?" sahut Arsen dengan malas. "Ya, terus kan aku masih perawan dan masih kuliah. Nanti kalau aku di-unboxing sama om, terus perut aku jadi besar gimana? Nanti semua teman-temanku bakalan tau kalau aku sudah menikah."Arsen masih diam mendengarkan kalimat yang keluar dari Acha. “Jadi…” Acha menaruh sebuah guling di tengah-tengah ranjang mereka. “Untuk mencegah hal itu terjadi, Om nggak boleh melewati batas ini ya.”Arsen tertawa melihat kelakuan dari istrinya itu. "Baiklah. Saya tidak akan unboxing kamu dulu
Pagi hari yang begitu cerah, terlihat awan putih yang bergerak di atas langit.Matahari pun memancarkan sinarnya yang sangat terang, hingga menembus ke dalam kamar pasangan pengantin baru. Suhu ruangan yang semakin dingin tidak juga membangunkan keduanya. Acha yang menggumam pelan merasa sedikit terusik karena cahaya matahari, semakin mendekat ke arah Arsen dan menaruh kepalanya di atas tubuh pria itu tanpa disadarinya. Arsen yang merasa ada beban berat yang menimpa dadanya dan pelukan di pinggangnya, seketika terbangun. Dilihatnya Acha tengah tertidur di atas dadanya dengan bibir yang sedikit terbuka. Pria itu hanya membiarkannya tanpa ingin membangunkan gadis itu sama sekali, raut wajahnya terlihat dingin tanpa ekspresi. Ia hanya menunggu Acha segera bangun. Tangan Acha semakin merambat ke seluruh tubuh pria itu, hingga membuat Arsen mengeram kesal. Bisa bisanya sang istri menyentuhnya tanpa sadar!Sentuhan tangan Acha semakin turun, hingga ia merasakan ada benda lunak yang di t
Iris cokelat itu memindai seluruh tubuhnya mengecek penampilannya yang sudah rapih dengan mengenakan dress berwarna merah yang kontras dengan kulitnya yang bening. Arsen yang baru saja kembali masuk ke dalam kamar, usai menghubungi Asistennya di balkon kamar, melihat gadis itu yang tampak berputar-putar di depan cermin. “Mau berapa lama lagi kamu bertingkah centil seperti itu?“ Arsen menyindir gadis itu, membuat Acha mendengus kesal menatap tajam ke arah pria itu. “Bukan urusan, Om! Acha juga nggak nyuruh Om lihatin Acha lagi ngapain!“ Pria itu menggelengkan kepala, merasa geli akan tingkah gadis yang sudah menjadi istrinya tersebut. Arsen bahkan bingung, apa yang dilihat oleh orangtuanya hingga membiarkannya untuk menikah dengan gadis muda yang tidak cocok disandingkan dengannya. “Kenapa? Om lagi menghina Acha di dalam hati, kan?“ Omel gadis itu lagi, hidungnya kembang kempis. “Kamu sakit, ya?“ sahut Arsen sinis. “Maksud Om apa? Om mau bilang Acha sakit jiwa, gitu?“ Emosi
Setelah sarapan, Acha mengikuti Arsen yang berjalan di depannya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Acha terlihat begitu kesal karena pria itu tidak menawarkan bantuan untuk membawakan koper miliknya. Arsen dengan santainya melewati Acha tanpa berniat membantu sama sekali, sekalipun dia mengetahui bahwa sang istri tengah kesusahan. Sampai di depan lift, Acha segera masuk ke dalam kotak besi itu dan berdiri di samping Arsen yang menatap lurus ke depan. Pria itu menyunggingkan senyuman tipis saat melirik istrinya yang komat kamit tidak jelas. Ting! Suara dentingan lift pun berbunyi dan pintu akhirnya terbuka. Liam, asisten pribadi Arsen yang sudah menunggu di depan lift segera membantu Acha, sang Nyonya Muda untuk membawakan kopernya. “Terima kasih, Om. Om memang pengertian sekali tidak seperti Om jelek yang satu itu!” sindir Acha lalu mendengus kesal sembari melirik Arsen yang tampak biasa saja. Liam hanya tersenyum canggung. Ia takut salah berbicara, ditambah lagi
“Selamat datang sayang.” Suara ceria seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan pasangan suami istri itu. Lia, ibu kandung dari Arsen memeluk Acha yang tersenyum canggung, karena untuk pertama kalinya dia memasuki mansion besar itu dengan statusnya sebagai istri dari Arsen. Hanung yang berdiri di samping istrinya, mengusap kepala Acha dengan lembut.“Selamat datang nak,” ucap Hanung setelah Acha menyalami tangannya dengan sopan.“Ayo masuk, kalian berdua pasti sudah sangat lelah,” ajak Lia. Wanita paruh baya itu pun menggandeng lengan Acha dan membawa gadis itu memasuki mansion, sementara Arsen dengan raut wajahnya yang datar mengikuti kedua wanita itu berjalan bersama Hanung sambil sesekali berbicara. “Langsung ke kamar aja yuk, biar Acha bisa langsung istirahat,” kata Lia. Keempatnya pun segera memasuki lift menuju kamar Arsen di lantai 2. Sesampainya di depan kamar, Lia pun membuka pintu kamar tersebut. Baru saja masuk ke dalam, Acha merasa ruangan itu sangat monoton. Kama