Share

BAB 3 - Dua Istri, Satu Atap

Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap.

"Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.

Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki.

"Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.

Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."

Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.

Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.

Jelita menghela napas berat. "Entahlah, Tante. Semua ini... terasa tidak nyata."

"Aku mengerti, sayang," Novita menepuk pundak Jelita, gesturnya terlihat kaku. "Tante tahu ini bukan situasi ideal. Tapi kita harus melalui ini."

"Tante," Jelita menatap Novita, matanya berkaca-kaca. "Kenapa Tante setuju dengan pernikahan ini? Aku... aku merasa seperti perusak rumah tangga Tante."

Novita tersenyum tipis, matanya menyiratkan emosi yang kompleks. "Oh, Jelita. Kau tidak merusak apa pun. Ini keputusan yang sudah kami pikirkan matang-matang. Aku membutuhkan membutuhkan keturunan sebagai penerus Baskara Group, dan..."

"Dan aku hanya alat untuk itu?" potong Jelita, suaranya pecah.

"Bukan begitu," Novita menjawab cepat, nada suaranya sedikit defensif. "Kau keponakanku. Anak dari adik angkatku. Kami pikir, jika Bambang harus menikah lagi, lebih baik dengan seseorang yang sudah kita kenal."

Tiba-tiba, suara Bambang menginterupsi mereka. "Maaf mengganggu. Bi Inah sudah menyiapkan makan malam."

Mereka bertiga berjalan ke ruang makan dalam keheningan yang tegang. Bi Inah, pembantu yang sudah 20 tahun bekerja di rumah itu, menyambut mereka dengan senyum ramah.

"Selamat datang, nyonya Jelita," sapa Bi Inah. "Saya sudah menyiapkan hidangan spesial untuk menyambut nyonya."

"Terima kasih, Bi," Jelita mencoba tersenyum.

Mereka duduk mengelilingi meja makan. Suasana terasa kaku dan tidak nyaman.

"Jadi," Bambang memulai, "bagaimana kalau kita bicarakan... peraturan baru ini?"

Jelita menatap piringnya, tidak berani mengangkat wajah. Novita menghela napas, matanya sesekali melirik Jelita dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Bambang," ujar Novita, suaranya terdengar tegang, "mungkin ini bukan saat yang tepat. Jelita baru saja tiba. Beri dia waktu untuk beradaptasi."

Bambang mengangguk kaku. "Kau benar. Maafkan aku, Jelita."

"Tidak apa-apa, Paman," jawab Jelita pelan.

Makan malam berlanjut dalam keheningan yang sesekali dipecahkan oleh percakapan ringan yang diprakarsai Bambang. Selesai makan, Novita bangkit.

"Ayo, Jel. Akan kutunjukkan kamarmu," ajaknya, nada suaranya terdengar sedikit dingin.

Mereka naik ke lantai atas, meninggalkan Bambang yang masih duduk di meja makan dengan wajah muram.

"Ini kamarmu," Novita membuka sebuah pintu, menampilkan kamar tidur yang luas dan nyaman.

Jelita melangkah masuk, matanya menjelajahi setiap sudut kamar. "Ini... terlalu bagus untukku, Tante."

"Ini sudah sesuai dengan posisimu sekarang," Novita menjawab, ada nada getir dalam suaranya.

Air mata Jelita akhirnya tumpah. "Tante, aku takut. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani semua ini."

Novita ragu-ragu sejenak sebelum memeluk Jelita. "Kita akan melaluinya. Tapi ingat, Jelita, ada batasan-batasan yang harus kau patuhi di rumah ini."

"Bagaimana dengan Tante sendiri?" tanya Jelita di sela isak tangisnya. "Apa Tante tidak sedih?"

Novita melepaskan pelukannya, matanya menatap Jelita dengan pandangan yang kompleks - ada kesedihan, kecemburuan, dan ketegangan di sana. "Tentu saja Tante sedih, Jelita. Tapi ini keputusan yang sudah diambil. Kita semua harus menjalaninya."

Jelita mengangguk pelan, merasakan perubahan sikap tantenya. "Aku janji akan berusaha sebaik mungkin, Tante. Aku tidak akan mengecewakan Tante."

"Tante harap begitu," Novita menjawab, suaranya terdengar lelah. "Sekarang istirahatlah. Besok akan jadi hari yang panjang."

Setelah Novita keluar, Jelita duduk di tepi ranjang, pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, menjadi istri kedua dari suami tantenya sendiri. Kini, di tengah kebingungan dan ketakutannya, ia juga harus menghadapi suatu saat kecemburuan yang akan tumbuh dalam diri Novita.

Jelita berbaring, menatap langit-langit kamarnya yang baru. Meskipun Novita berjanji akan membantunya, Jelita bisa merasakan ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka. Jalan di depannya terasa semakin panjang dan tidak pasti. Namun, Jelita tahu ia harus kuat. Ia harus belajar menghadapi situasi ini, termasuk menghadapi perubahan sikap Novita terhadapnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status