Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap.
"Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.
Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki.
"Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.
Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."
Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.
Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.
Jelita menghela napas berat. "Entahlah, Tante. Semua ini... terasa tidak nyata."
"Aku mengerti, sayang," Novita menepuk pundak Jelita, gesturnya terlihat kaku. "Tante tahu ini bukan situasi ideal. Tapi kita harus melalui ini."
"Tante," Jelita menatap Novita, matanya berkaca-kaca. "Kenapa Tante setuju dengan pernikahan ini? Aku... aku merasa seperti perusak rumah tangga Tante."
Novita tersenyum tipis, matanya menyiratkan emosi yang kompleks. "Oh, Jelita. Kau tidak merusak apa pun. Ini keputusan yang sudah kami pikirkan matang-matang. Aku membutuhkan membutuhkan keturunan sebagai penerus Baskara Group, dan..."
"Dan aku hanya alat untuk itu?" potong Jelita, suaranya pecah.
"Bukan begitu," Novita menjawab cepat, nada suaranya sedikit defensif. "Kau keponakanku. Anak dari adik angkatku. Kami pikir, jika Bambang harus menikah lagi, lebih baik dengan seseorang yang sudah kita kenal."
Tiba-tiba, suara Bambang menginterupsi mereka. "Maaf mengganggu. Bi Inah sudah menyiapkan makan malam."
Mereka bertiga berjalan ke ruang makan dalam keheningan yang tegang. Bi Inah, pembantu yang sudah 20 tahun bekerja di rumah itu, menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Selamat datang, nyonya Jelita," sapa Bi Inah. "Saya sudah menyiapkan hidangan spesial untuk menyambut nyonya."
"Terima kasih, Bi," Jelita mencoba tersenyum.
Mereka duduk mengelilingi meja makan. Suasana terasa kaku dan tidak nyaman.
"Jadi," Bambang memulai, "bagaimana kalau kita bicarakan... peraturan baru ini?"
Jelita menatap piringnya, tidak berani mengangkat wajah. Novita menghela napas, matanya sesekali melirik Jelita dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bambang," ujar Novita, suaranya terdengar tegang, "mungkin ini bukan saat yang tepat. Jelita baru saja tiba. Beri dia waktu untuk beradaptasi."
Bambang mengangguk kaku. "Kau benar. Maafkan aku, Jelita."
"Tidak apa-apa, Paman," jawab Jelita pelan.
Makan malam berlanjut dalam keheningan yang sesekali dipecahkan oleh percakapan ringan yang diprakarsai Bambang. Selesai makan, Novita bangkit.
"Ayo, Jel. Akan kutunjukkan kamarmu," ajaknya, nada suaranya terdengar sedikit dingin.
Mereka naik ke lantai atas, meninggalkan Bambang yang masih duduk di meja makan dengan wajah muram.
"Ini kamarmu," Novita membuka sebuah pintu, menampilkan kamar tidur yang luas dan nyaman.
Jelita melangkah masuk, matanya menjelajahi setiap sudut kamar. "Ini... terlalu bagus untukku, Tante."
"Ini sudah sesuai dengan posisimu sekarang," Novita menjawab, ada nada getir dalam suaranya.
Air mata Jelita akhirnya tumpah. "Tante, aku takut. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani semua ini."
Novita ragu-ragu sejenak sebelum memeluk Jelita. "Kita akan melaluinya. Tapi ingat, Jelita, ada batasan-batasan yang harus kau patuhi di rumah ini."
"Bagaimana dengan Tante sendiri?" tanya Jelita di sela isak tangisnya. "Apa Tante tidak sedih?"
Novita melepaskan pelukannya, matanya menatap Jelita dengan pandangan yang kompleks - ada kesedihan, kecemburuan, dan ketegangan di sana. "Tentu saja Tante sedih, Jelita. Tapi ini keputusan yang sudah diambil. Kita semua harus menjalaninya."
Jelita mengangguk pelan, merasakan perubahan sikap tantenya. "Aku janji akan berusaha sebaik mungkin, Tante. Aku tidak akan mengecewakan Tante."
"Tante harap begitu," Novita menjawab, suaranya terdengar lelah. "Sekarang istirahatlah. Besok akan jadi hari yang panjang."
Setelah Novita keluar, Jelita duduk di tepi ranjang, pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, menjadi istri kedua dari suami tantenya sendiri. Kini, di tengah kebingungan dan ketakutannya, ia juga harus menghadapi suatu saat kecemburuan yang akan tumbuh dalam diri Novita.
Jelita berbaring, menatap langit-langit kamarnya yang baru. Meskipun Novita berjanji akan membantunya, Jelita bisa merasakan ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka. Jalan di depannya terasa semakin panjang dan tidak pasti. Namun, Jelita tahu ia harus kuat. Ia harus belajar menghadapi situasi ini, termasuk menghadapi perubahan sikap Novita terhadapnya.
Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis."Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun."Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun ha
Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun."Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," uj
"Mbak, boleh saya pamit sebentar? Saya ingin berkeliling kota, menenangkan pikiran."Jelita menghampiri Novita yang sedang menyiram tanaman di teras belakang. Novita menoleh, alisnya terangkat. "Berkeliling? Sendirian?""Iya, Mbak. Saya rasa saya butuh waktu sendiri sejenak," jawab Jelita pelan.Novita menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Baiklah. Tapi jangan pulang terlalu malam. Bambang tidak akan suka."Jelita mengangguk dan bergegas keluar rumah. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang mengikutinya hingga ia menghilang di balik pagar.Beberapa jam kemudian, Jelita kembali dengan taksi. Sopir taksi, seorang pria berkemeja biru muda, melirik Jelita dari kaca spion."Nona baik-baik saja?" tanyanya, membuyarkan lamunan Jelita.Jelita tersentak, berusaha tersenyum. "Oh, ya. Saya baik-baik saja.""Maaf kalau saya lancang, tapi Nona terlihat seperti sedang ada masalah," ujar pria paruh baya berambut putih itu.Jelita menghela napas. "Hanya sedikit lelah, Pak. Hari yang panjang.""A
"Kau bisa melakukan ini, Jelita," bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar.Jelita berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang mengenakan piyama merah muda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Malam ini adalah jadwal pertamanya tidur bersama Bambang, dan ia merasa sangat gugup.Dengan langkah ragu, Jelita membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar utama. Tangannya gemetar saat ia mengetuk pintu."Masuk," suara Bambang terdengar dari dalam.Jelita membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bambang sudah berbaring di tempat tidur, mengenakan piyama merah yang senada dengan miliknya."Hai," sapa Bambang lembut. "Kemarilah."Jelita mengangguk kaku dan berjalan ke sisi tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berani menatap Bambang."Jelita," Bambang berkata pelan. "Kau tidak perlu takut. Kita tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan."Jelita akhirnya memberanikan diri menatap Bambang. "Maaf, Bang.
"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No
"Nyonya Jelita, Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahim Anda dalam kondisi sangat sehat," ujar Dokter Amelia dengan senyum lembut. "Dan berdasarkan siklus Anda, masa subur Anda dimulai hari ini."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ke arah Novita yang duduk di sampingnya, wajahnya sulit dibaca."Jadi... apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dok?" tanya Jelita dengan suara pelan.Dokter Amelia menjelaskan dengan hati-hati, "Untuk memaksimalkan peluang kehamilan, saya sarankan Anda dan suami Anda... um, berusaha mulai malam ini. Masa subur biasanya berlangsung sekitar 5-6 hari, jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin."Novita berdehem pelan, membuat Jelita dan Dokter Amelia menoleh ke arahnya. "Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Dokter?" tanyanya dengan nada datar."Tentu, Nyonya Novita. Saya sarankan Jelita untuk mengurangi stres, menjaga pola makan yang sehat, dan berolahraga ringan secara teratur. Semua ini akan membantu meningkatkan peluang keham
"Kau siap?" tanya Bambang pelan.Jelita mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat gugup. "Iya, Bang."Bambang mengernyitkan dahinya “Apa kau yakin? Aku tidak akan memaksa.”“Aku yakin, Bang.”Mereka saling bertatapan. Perlahan, Bambang merapatkan dirinya lebih dekat dengan Jelita. Mereka berbagi ciuman lembut. Tangan kekar Bambang menyentuh pipi Jelita. Wajah Jelita pun mulai memanas.Ciuman yang tadinya lembut, berubah menjadi lumatan. Jelita mencengkeram lengan Bambang, sedangkan tangan Bambang sibuk bergerilya menyentuh ke seluruh bagian sensitif tubuh Jelita.“Aahh, Bang.” desahan Jelita menyeruak ke seluruh ruangan.Kini, posisi Bambang sudah berada di atas tubuh Jelita. Satu per satu gaun tidur yang dikenakan Jelita terlepas. Bambang memandangi tubuh Jelita tanpa satu helai kain sambil melepas pakaian yang ia kenakan.“Aku malu, Bang.” Ucap Jelita sambil berusaha menutupi tubuhnya.“Tak perlu malu, Jelita.” Bujuk Bambang sambil mel