"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No
"Nyonya Jelita, Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahim Anda dalam kondisi sangat sehat," ujar Dokter Amelia dengan senyum lembut. "Dan berdasarkan siklus Anda, masa subur Anda dimulai hari ini."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ke arah Novita yang duduk di sampingnya, wajahnya sulit dibaca."Jadi... apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dok?" tanya Jelita dengan suara pelan.Dokter Amelia menjelaskan dengan hati-hati, "Untuk memaksimalkan peluang kehamilan, saya sarankan Anda dan suami Anda... um, berusaha mulai malam ini. Masa subur biasanya berlangsung sekitar 5-6 hari, jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin."Novita berdehem pelan, membuat Jelita dan Dokter Amelia menoleh ke arahnya. "Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Dokter?" tanyanya dengan nada datar."Tentu, Nyonya Novita. Saya sarankan Jelita untuk mengurangi stres, menjaga pola makan yang sehat, dan berolahraga ringan secara teratur. Semua ini akan membantu meningkatkan peluang keham
"Kau siap?" tanya Bambang pelan.Jelita mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat gugup. "Iya, Bang."Bambang mengernyitkan dahinya “Apa kau yakin? Aku tidak akan memaksa.”“Aku yakin, Bang.”Mereka saling bertatapan. Perlahan, Bambang merapatkan dirinya lebih dekat dengan Jelita. Mereka berbagi ciuman lembut. Tangan kekar Bambang menyentuh pipi Jelita. Wajah Jelita pun mulai memanas.Ciuman yang tadinya lembut, berubah menjadi lumatan. Jelita mencengkeram lengan Bambang, sedangkan tangan Bambang sibuk bergerilya menyentuh ke seluruh bagian sensitif tubuh Jelita.“Aahh, Bang.” desahan Jelita menyeruak ke seluruh ruangan.Kini, posisi Bambang sudah berada di atas tubuh Jelita. Satu per satu gaun tidur yang dikenakan Jelita terlepas. Bambang memandangi tubuh Jelita tanpa satu helai kain sambil melepas pakaian yang ia kenakan.“Aku malu, Bang.” Ucap Jelita sambil berusaha menutupi tubuhnya.“Tak perlu malu, Jelita.” Bujuk Bambang sambil mel
“Ayo Jelita, Novita, kita ke taman belakang. Udara pagi bagus untuk... kesehatan." kata Bambang sambil beranjak dari kursinya.Jelita mengangguk. "Baik, Bang."Novita tak menjawab. Dia berjalan di belakang Bambang. Mengikuti ke mana suaminya itu pergi.Saat Jelita dan Novita duduk di taman belakang, suasana kembali menegang. Novita memulai percakapan dengan nada yang terdengar ringan, namun ada ketajaman tersembunyi di dalamnya."Jadi, Jelita," Novita memulai, "bagaimana rasanya semalam?"Jelita terkesiap, wajahnya memerah. "M-Mbak, aku...""Apa? Kita sesama istri kan? Wajar kalau kita berbagi cerita," Novita tersenyum, tapi matanya tidak.
Jelita menatap punggung Bambang yang menjauh, mengejar Novita yang bergegas masuk ke dalam rumah. Ia terduduk lemas di kursi taman, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara-suara Novita masih terngiang di telinganya, menusuk hatinya seperti ribuan jarum."Kau hanya alat demi memenuhi kebutuhanku untuk memiliki keturunan. Ingat itu!"Kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya merasa kecil dan tidak berharga. Dengan langkah gontai, Jelita akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya.Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh seketika. Ia merosot ke lantai, bersandar pada pintu, dan membiarkan isak tangisnya pecah.Tubuhnya bergetar hebat saat ia memeluk lututnya, mencoba meredam suara tangisannya agar tid
Malam itu, Jelita menatap kalender di dinding kamarnya dengan perasaan campur aduk. Lingkaran merah menandai hari-hari yang dianggap sebagai masa subur-nya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat."Ini demi keluarga," bisiknya pada diri sendiri, sebuah mantra yang terus diulangnya sejak hari pernikahannya dengan Bambang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya."Jelita? Boleh aku masuk?" suara Bambang terdengar dari balik pintu."Ya, Bang. Silakan," jawab Jelita, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergemuruh.Bambang melangkah masuk, senyum hangat menghiasi wajahnya yang mulai menua. "Bagaimana kabarmu hari ini?"Jelita mencob
Jelita menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tangannya dengan perasaan campur aduk. Shock, takut, dan sedikit... bahagia? Jelita tidak yakin. Yang ia tahu, ini terjadi jauh lebih cepat dari yang mereka semua perkirakan."Bagaimana mungkin?" bisik Jelita pada dirinya sendiri, masih tidak percaya.Baru dua bulan sejak pernikahannya dengan Bambang, dan kini Jelita mengandung anak mereka. Anak yang seharusnya menjadi jawaban atas semua masalah ini. Tapi mengapa Jelita merasa begitu takut?Dengan tangan gemetar, Jelita keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana Jelita harus memberitahu Bambang? Dan yang lebih menakutkan lagi, bagaimana reaksi Novita nanti?Suara ketukan di pintu membuat Jelita terlonjak.