Jelita menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tangannya dengan perasaan campur aduk. Shock, takut, dan sedikit... bahagia? Jelita tidak yakin. Yang ia tahu, ini terjadi jauh lebih cepat dari yang mereka semua perkirakan.
"Bagaimana mungkin?" bisik Jelita pada dirinya sendiri, masih tidak percaya.
Baru dua bulan sejak pernikahannya dengan Bambang, dan kini Jelita mengandung anak mereka. Anak yang seharusnya menjadi jawaban atas semua masalah ini. Tapi mengapa Jelita merasa begitu takut?
Dengan tangan gemetar, Jelita keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana Jelita harus memberitahu Bambang? Dan yang lebih menakutkan lagi, bagaimana reaksi Novita nanti?
Suara ketukan di pintu membuat Jelita terlonjak.
Malam harinya, Novita mengundang ayahnya, Roni Baskara, untuk makan malam bersama. Ia berniat mengungkapkan soal kehamilan Jelita dan meminta dukungan ayahnya. Bambang sebenarnya kurang setuju dengan rencana Novita, tapi ia tidak bisa menolak keinginan istrinya itu.Saat makan malam dimulai, suasana di ruang makan terasa tegang. Selain Bambang, Novita, dan Jelita, undangan Novita juga dihadiri oleh orang tua Jelita - Ratna dan Hendra.Roni Baskara, sang ayah Novita sekaligus kakek dari Jelita, duduk di ujung meja dengan wajah tegas. Matanya memindai satu per satu orang yang ada di sana, seolah menilai mereka."Jadi, apa yang ingin kausampaikan, Novita?" tanya Roni dengan nada datar.Novita menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ayah, aku ingin mengungkapkan se
Jelita berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Makan malam tadi terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia mengelus perutnya yang masih rata."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya lembut. "Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti."Tiba-tiba, Jelita merasa tenggorokannya kering. Ia memutuskan untuk turun ke dapur mengambil segelas air. Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu.Saat Jelita hendak menuruni tangga, ia mendengar suara-suara dari arah ruang makan. Jelita mengenali suara itu sebagai suara Bambang dan Novita. Ia berhenti, ragu apakah harus melanjutkan langkahnya atau kembali ke kamar."Bang, kau harus mengerti posisimu!" Suara Novita terdengar tajam. "Aku istrimu yang sah, y
Jelita tertegun mendengar permintaan Novita. Ia tak menyangka Novita akan memintanya untuk menyerahkan anak yang dikandungnya begitu lahir nanti. Namun, Jelita tahu bahwa ini bukan waktunya untuk membantah. Situasi ini sudah sangat rumit dan membutuhkan penyelesaian yang hati-hati."Mbak Novita, aku..." Jelita berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak bisa berjanji begitu saja. Anak ini adalah darah dagingku juga."Novita menghela napas panjang. "Aku tahu, Jelita. Tapi kau harus mengerti posisiku juga. Anak ini adalah pewaris Baskara Group. Masa depannya harus terjamin."Bambang yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Sayang, kupikir kita perlu membicarakan ini baik-baik. Jangan terburu-buru mengambil keputusan."Novita menatap Bambang tajam. "Kau tidak menge
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengingat kembali perdebatan sengit yang terjadi semalam. Perutnya yang mulai membuncit terasa sedikit kram, mungkin efek dari stres yang ia alami. Namun, Jelita berusaha mengenyahkan pikiran negatif itu dan memutuskan untuk memulai harinya dengan lebih positif.Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Jelita memutuskan untuk membantu Bi Inah di dapur. Mungkin dengan melakukan aktivitas ringan, pikirannya bisa sedikit teralihkan dari masalah yang sedang dihadapinya.Ketika Jelita memasuki dapur, aroma sedap masakan Bi Inah langsung menyambutnya. Wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran ketika menyadari kehadiran Jelita.
Jelita memandang pantulan dirinya di cermin, mengamati perut buncitnya yang kini semakin besar. Enam bulan sudah berlalu sejak ia menandatangani kontrak yang membuatnya harus menyerahkan anaknya pada Novita kelak. Setiap hari, beban itu terasa semakin berat di pundaknya. Dengan helaan napas panjang, Jelita mengelus perutnya lembut. "Sabar ya, nak. Ibu akan terus mencari jalan keluar untuk kita," bisiknya pelan. Hari ini, Jelita berencana untuk menginap di rumah orang tuanya. Ia merindukan kehangatan keluarganya, terutama di saat-saat sulit seperti ini. Namun, sebelum ia bisa melangkah keluar kamar, Novita mencegatnya di pintu. "Mau kemana kau, Jelita?" tanya Novita dengan nada dingin. Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku ingin menginap di rumah orang tuaku, Mbak. Hanya sehari saja." Novita menatap Jelita tajam, seolah-olah mencari kebohongan di matanya. "Baiklah," ujarnya akhirnya. "Tapi ingat, jangan coba-coba macam-macam atau kabur. Kau tahu apa akibatnya
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya di rumah orang tuanya. Untuk sesaat, ia merasa damai, jauh dari segala masalah yang menghimpitnya. Namun, kenyataan segera menghantamnya kembali. Hari ini ia harus kembali ke rumah Novita.Dengan berat hati, Jelita bangkit dari tempat tidur dan mulai bersiap-siap. Saat ia keluar kamar, aroma masakan ibunya menyambutnya, membuat hatinya sedikit lebih ringan."Pagi, Bu," sapa Jelita sambil mencium pipi ibunya.Ibunya tersenyum lembut. "Pagi, sayang. Ayo sarapan dulu sebelum kamu pulang."Selama sarapan, Jelita berusaha menikmati setiap momen bersama orang tuanya. Ia tahu, kesempatan seperti ini mungkin akan semakin jarang ia dapatkan seiring bertambah besarnya kandunganny
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa kandungan Jelita sudah memasuki bulan ketujuh. Pagi itu, Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bersemangat karena hari ini mereka akan berbelanja perlengkapan bayi. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa kegembiraan ini akan segera tergantikan oleh kenyataan pahit bahwa ia mungkin tidak akan bisa menikmati semua ini bersama anaknya kelak.Jelita turun untuk sarapan dan mendapati Novita dan Bambang sudah duduk di meja makan. Bambang tersenyum hangat padanya, sementara Novita hanya melirik sekilas."Pagi, Jelita," sapa Bambang. "Siap untuk hari ini?"Jelita mengangguk lemah, "Iya, Bang.""Bagus," timpal Novita. "Kita akan ke pusat perbelanjaan terbesar di kota. Aku sudah menyiapkan daftar semua yang kita butuhkan."Selesai sarapan, mereka bertiga berangkat menuju pusat perbelanjaan. Sepanjang perjalanan, Novita terus berbicara tentang rencana-rencananya untuk kamar bayi, sementara Jelita hanya bisa mendengarkan dalam
"Selamat pagi, Bi Inah. Aku mau jalan-jalan sebentar di sekitar kompleks, ya," ujar Jelita sambil mengenakan sandal.Bi Inah, yang sedang menyapu teras, menoleh dengan wajah cemas. "Eh, Non Jelita yakin mau jalan-jalan sendiri? Nggak mau ditemani saya aja?"Jelita tersenyum, berusaha meyakinkan wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu. "Tidak apa-apa, Bi. Saya cuma sebentar kok. Lagipula, udara pagi bagus untuk janin.""Ya sudah kalau begitu," Bi Inah akhirnya mengalah. "Tapi hati-hati ya, Non. Kalau ada apa-apa langsung telepon saya."Jelita mengangguk dan melangkah keluar gerbang rumah. Udara pagi menyapa wajahnya, terasa segar dan menyenangkan. Entah sudah berapa lama Jelita tidak keluar rumah sendirian seperti ini. Sejak tinggal di rumah Novita dan Bambang, Jel
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No