Malam harinya, Novita mengundang ayahnya, Roni Baskara, untuk makan malam bersama. Ia berniat mengungkapkan soal kehamilan Jelita dan meminta dukungan ayahnya. Bambang sebenarnya kurang setuju dengan rencana Novita, tapi ia tidak bisa menolak keinginan istrinya itu.
Saat makan malam dimulai, suasana di ruang makan terasa tegang. Selain Bambang, Novita, dan Jelita, undangan Novita juga dihadiri oleh orang tua Jelita - Ratna dan Hendra.
Roni Baskara, sang ayah Novita sekaligus kakek dari Jelita, duduk di ujung meja dengan wajah tegas. Matanya memindai satu per satu orang yang ada di sana, seolah menilai mereka.
"Jadi, apa yang ingin kausampaikan, Novita?" tanya Roni dengan nada datar.
Novita menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ayah, aku ingin mengungkapkan se
Jelita berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Makan malam tadi terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia mengelus perutnya yang masih rata."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya lembut. "Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti."Tiba-tiba, Jelita merasa tenggorokannya kering. Ia memutuskan untuk turun ke dapur mengambil segelas air. Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu.Saat Jelita hendak menuruni tangga, ia mendengar suara-suara dari arah ruang makan. Jelita mengenali suara itu sebagai suara Bambang dan Novita. Ia berhenti, ragu apakah harus melanjutkan langkahnya atau kembali ke kamar."Bang, kau harus mengerti posisimu!" Suara Novita terdengar tajam. "Aku istrimu yang sah, y
Jelita tertegun mendengar permintaan Novita. Ia tak menyangka Novita akan memintanya untuk menyerahkan anak yang dikandungnya begitu lahir nanti. Namun, Jelita tahu bahwa ini bukan waktunya untuk membantah. Situasi ini sudah sangat rumit dan membutuhkan penyelesaian yang hati-hati."Mbak Novita, aku..." Jelita berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak bisa berjanji begitu saja. Anak ini adalah darah dagingku juga."Novita menghela napas panjang. "Aku tahu, Jelita. Tapi kau harus mengerti posisiku juga. Anak ini adalah pewaris Baskara Group. Masa depannya harus terjamin."Bambang yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Sayang, kupikir kita perlu membicarakan ini baik-baik. Jangan terburu-buru mengambil keputusan."Novita menatap Bambang tajam. "Kau tidak menge
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengingat kembali perdebatan sengit yang terjadi semalam. Perutnya yang mulai membuncit terasa sedikit kram, mungkin efek dari stres yang ia alami. Namun, Jelita berusaha mengenyahkan pikiran negatif itu dan memutuskan untuk memulai harinya dengan lebih positif.Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Jelita memutuskan untuk membantu Bi Inah di dapur. Mungkin dengan melakukan aktivitas ringan, pikirannya bisa sedikit teralihkan dari masalah yang sedang dihadapinya.Ketika Jelita memasuki dapur, aroma sedap masakan Bi Inah langsung menyambutnya. Wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran ketika menyadari kehadiran Jelita.
Jelita memandang pantulan dirinya di cermin, mengamati perut buncitnya yang kini semakin besar. Enam bulan sudah berlalu sejak ia menandatangani kontrak yang membuatnya harus menyerahkan anaknya pada Novita kelak. Setiap hari, beban itu terasa semakin berat di pundaknya. Dengan helaan napas panjang, Jelita mengelus perutnya lembut. "Sabar ya, nak. Ibu akan terus mencari jalan keluar untuk kita," bisiknya pelan. Hari ini, Jelita berencana untuk menginap di rumah orang tuanya. Ia merindukan kehangatan keluarganya, terutama di saat-saat sulit seperti ini. Namun, sebelum ia bisa melangkah keluar kamar, Novita mencegatnya di pintu. "Mau kemana kau, Jelita?" tanya Novita dengan nada dingin. Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku ingin menginap di rumah orang tuaku, Mbak. Hanya sehari saja." Novita menatap Jelita tajam, seolah-olah mencari kebohongan di matanya. "Baiklah," ujarnya akhirnya. "Tapi ingat, jangan coba-coba macam-macam atau kabur. Kau tahu apa akibatnya
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya di rumah orang tuanya. Untuk sesaat, ia merasa damai, jauh dari segala masalah yang menghimpitnya. Namun, kenyataan segera menghantamnya kembali. Hari ini ia harus kembali ke rumah Novita.Dengan berat hati, Jelita bangkit dari tempat tidur dan mulai bersiap-siap. Saat ia keluar kamar, aroma masakan ibunya menyambutnya, membuat hatinya sedikit lebih ringan."Pagi, Bu," sapa Jelita sambil mencium pipi ibunya.Ibunya tersenyum lembut. "Pagi, sayang. Ayo sarapan dulu sebelum kamu pulang."Selama sarapan, Jelita berusaha menikmati setiap momen bersama orang tuanya. Ia tahu, kesempatan seperti ini mungkin akan semakin jarang ia dapatkan seiring bertambah besarnya kandunganny
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa kandungan Jelita sudah memasuki bulan ketujuh. Pagi itu, Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bersemangat karena hari ini mereka akan berbelanja perlengkapan bayi. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa kegembiraan ini akan segera tergantikan oleh kenyataan pahit bahwa ia mungkin tidak akan bisa menikmati semua ini bersama anaknya kelak.Jelita turun untuk sarapan dan mendapati Novita dan Bambang sudah duduk di meja makan. Bambang tersenyum hangat padanya, sementara Novita hanya melirik sekilas."Pagi, Jelita," sapa Bambang. "Siap untuk hari ini?"Jelita mengangguk lemah, "Iya, Bang.""Bagus," timpal Novita. "Kita akan ke pusat perbelanjaan terbesar di kota. Aku sudah menyiapkan daftar semua yang kita butuhkan."Selesai sarapan, mereka bertiga berangkat menuju pusat perbelanjaan. Sepanjang perjalanan, Novita terus berbicara tentang rencana-rencananya untuk kamar bayi, sementara Jelita hanya bisa mendengarkan dalam
"Selamat pagi, Bi Inah. Aku mau jalan-jalan sebentar di sekitar kompleks, ya," ujar Jelita sambil mengenakan sandal.Bi Inah, yang sedang menyapu teras, menoleh dengan wajah cemas. "Eh, Non Jelita yakin mau jalan-jalan sendiri? Nggak mau ditemani saya aja?"Jelita tersenyum, berusaha meyakinkan wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu. "Tidak apa-apa, Bi. Saya cuma sebentar kok. Lagipula, udara pagi bagus untuk janin.""Ya sudah kalau begitu," Bi Inah akhirnya mengalah. "Tapi hati-hati ya, Non. Kalau ada apa-apa langsung telepon saya."Jelita mengangguk dan melangkah keluar gerbang rumah. Udara pagi menyapa wajahnya, terasa segar dan menyenangkan. Entah sudah berapa lama Jelita tidak keluar rumah sendirian seperti ini. Sejak tinggal di rumah Novita dan Bambang, Jel
"Mbak Novita, aku mau izin pergi ke taman kota sebentar. Boleh?" tanya Jelita dengan hati-hati.Novita mengalihkan pandangannya dari laptop, menatap Jelita dengan ekspresi datar. "Siang-siang begini? Untuk apa?""Aku... aku ingin jalan-jalan sebentar. Menikmati udara segar," jawab Jelita berusaha terdengar yakin.Novita menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Dan suruh Pak Abdul mengantarmu.""Terima kasih, Mbak," ucap Jelita berusaha tersenyum meski merasakan dinginnya sikap Novita.Setelah berpamitan, Jelita bergegas menuju garasi di mana Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu."Mau ke mana, Non?" tanya Pak Abdul ramah.