Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengingat kembali perdebatan sengit yang terjadi semalam. Perutnya yang mulai membuncit terasa sedikit kram, mungkin efek dari stres yang ia alami. Namun, Jelita berusaha mengenyahkan pikiran negatif itu dan memutuskan untuk memulai harinya dengan lebih positif.
Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Jelita memutuskan untuk membantu Bi Inah di dapur. Mungkin dengan melakukan aktivitas ringan, pikirannya bisa sedikit teralihkan dari masalah yang sedang dihadapinya.
Ketika Jelita memasuki dapur, aroma sedap masakan Bi Inah langsung menyambutnya. Wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran ketika menyadari kehadiran Jelita.
Jelita memandang pantulan dirinya di cermin, mengamati perut buncitnya yang kini semakin besar. Enam bulan sudah berlalu sejak ia menandatangani kontrak yang membuatnya harus menyerahkan anaknya pada Novita kelak. Setiap hari, beban itu terasa semakin berat di pundaknya. Dengan helaan napas panjang, Jelita mengelus perutnya lembut. "Sabar ya, nak. Ibu akan terus mencari jalan keluar untuk kita," bisiknya pelan. Hari ini, Jelita berencana untuk menginap di rumah orang tuanya. Ia merindukan kehangatan keluarganya, terutama di saat-saat sulit seperti ini. Namun, sebelum ia bisa melangkah keluar kamar, Novita mencegatnya di pintu. "Mau kemana kau, Jelita?" tanya Novita dengan nada dingin. Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku ingin menginap di rumah orang tuaku, Mbak. Hanya sehari saja." Novita menatap Jelita tajam, seolah-olah mencari kebohongan di matanya. "Baiklah," ujarnya akhirnya. "Tapi ingat, jangan coba-coba macam-macam atau kabur. Kau tahu apa akibatnya
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya di rumah orang tuanya. Untuk sesaat, ia merasa damai, jauh dari segala masalah yang menghimpitnya. Namun, kenyataan segera menghantamnya kembali. Hari ini ia harus kembali ke rumah Novita.Dengan berat hati, Jelita bangkit dari tempat tidur dan mulai bersiap-siap. Saat ia keluar kamar, aroma masakan ibunya menyambutnya, membuat hatinya sedikit lebih ringan."Pagi, Bu," sapa Jelita sambil mencium pipi ibunya.Ibunya tersenyum lembut. "Pagi, sayang. Ayo sarapan dulu sebelum kamu pulang."Selama sarapan, Jelita berusaha menikmati setiap momen bersama orang tuanya. Ia tahu, kesempatan seperti ini mungkin akan semakin jarang ia dapatkan seiring bertambah besarnya kandunganny
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa kandungan Jelita sudah memasuki bulan ketujuh. Pagi itu, Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bersemangat karena hari ini mereka akan berbelanja perlengkapan bayi. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa kegembiraan ini akan segera tergantikan oleh kenyataan pahit bahwa ia mungkin tidak akan bisa menikmati semua ini bersama anaknya kelak.Jelita turun untuk sarapan dan mendapati Novita dan Bambang sudah duduk di meja makan. Bambang tersenyum hangat padanya, sementara Novita hanya melirik sekilas."Pagi, Jelita," sapa Bambang. "Siap untuk hari ini?"Jelita mengangguk lemah, "Iya, Bang.""Bagus," timpal Novita. "Kita akan ke pusat perbelanjaan terbesar di kota. Aku sudah menyiapkan daftar semua yang kita butuhkan."Selesai sarapan, mereka bertiga berangkat menuju pusat perbelanjaan. Sepanjang perjalanan, Novita terus berbicara tentang rencana-rencananya untuk kamar bayi, sementara Jelita hanya bisa mendengarkan dalam
"Selamat pagi, Bi Inah. Aku mau jalan-jalan sebentar di sekitar kompleks, ya," ujar Jelita sambil mengenakan sandal.Bi Inah, yang sedang menyapu teras, menoleh dengan wajah cemas. "Eh, Non Jelita yakin mau jalan-jalan sendiri? Nggak mau ditemani saya aja?"Jelita tersenyum, berusaha meyakinkan wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu. "Tidak apa-apa, Bi. Saya cuma sebentar kok. Lagipula, udara pagi bagus untuk janin.""Ya sudah kalau begitu," Bi Inah akhirnya mengalah. "Tapi hati-hati ya, Non. Kalau ada apa-apa langsung telepon saya."Jelita mengangguk dan melangkah keluar gerbang rumah. Udara pagi menyapa wajahnya, terasa segar dan menyenangkan. Entah sudah berapa lama Jelita tidak keluar rumah sendirian seperti ini. Sejak tinggal di rumah Novita dan Bambang, Jel
"Mbak Novita, aku mau izin pergi ke taman kota sebentar. Boleh?" tanya Jelita dengan hati-hati.Novita mengalihkan pandangannya dari laptop, menatap Jelita dengan ekspresi datar. "Siang-siang begini? Untuk apa?""Aku... aku ingin jalan-jalan sebentar. Menikmati udara segar," jawab Jelita berusaha terdengar yakin.Novita menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Dan suruh Pak Abdul mengantarmu.""Terima kasih, Mbak," ucap Jelita berusaha tersenyum meski merasakan dinginnya sikap Novita.Setelah berpamitan, Jelita bergegas menuju garasi di mana Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu."Mau ke mana, Non?" tanya Pak Abdul ramah.
"Diam," bisik suara berat di telinga Jelita. "Atau kau dan bayimu akan celaka." ucap pria itu sambil membekap mulut dan hidung Jelita dari belakang.Air mata Jelita mengalir deras. Ia ketakutan setengah mati. Siapa orang ini? Apa maunya?Kesadaran Jelita mulai menghilang. Hal terakhir yang ia ingat adalah tubuhnya yang diseret ke arah semak-semak sebelum semuanya menjadi gelap.***Sementara itu, di tempat parkir taman...Pak Abdul melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah dua jam lebih sejak Jelita masuk ke taman. Perasaannya mulai tidak enak."Kok lama sekali ya Non Jelita?" gumamnya cemas. "Apa sebaiknya saya cari saja?"S
Malam harinya, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa mencekam. Ruang tamu yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh anggota keluarga dan beberapa staf keamanan. Wajah-wajah cemas terpancar dari setiap orang yang hadir."Bagaimana bisa ini terjadi?" suara Siska Baskara, ibu Novita memecah keheningan. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia telah menangis semalaman.Bambang, yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk, hanya bisa menggeleng lemah. "Aku... aku tidak tahu, Bu.""Kau bilang kau akan menjaganya!" Roni Baskara berdiri, suaranya meninggi. "Lalu sekarang di mana dia? Di mana Jelita?""Ayah, tolong tenang," Novita angkat bicara, meski wajahnya juga tampak pucat. "Kita semua di sini sama khawatirnya. Tapi kita harus tetap tenang untuk bisa berpikir jernih."
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.