"Diam," bisik suara berat di telinga Jelita. "Atau kau dan bayimu akan celaka." ucap pria itu sambil membekap mulut dan hidung Jelita dari belakang.
Air mata Jelita mengalir deras. Ia ketakutan setengah mati. Siapa orang ini? Apa maunya?
Kesadaran Jelita mulai menghilang. Hal terakhir yang ia ingat adalah tubuhnya yang diseret ke arah semak-semak sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Sementara itu, di tempat parkir taman...
Pak Abdul melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah dua jam lebih sejak Jelita masuk ke taman. Perasaannya mulai tidak enak.
"Kok lama sekali ya Non Jelita?" gumamnya cemas. "Apa sebaiknya saya cari saja?"
S
Malam harinya, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa mencekam. Ruang tamu yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh anggota keluarga dan beberapa staf keamanan. Wajah-wajah cemas terpancar dari setiap orang yang hadir."Bagaimana bisa ini terjadi?" suara Siska Baskara, ibu Novita memecah keheningan. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia telah menangis semalaman.Bambang, yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk, hanya bisa menggeleng lemah. "Aku... aku tidak tahu, Bu.""Kau bilang kau akan menjaganya!" Roni Baskara berdiri, suaranya meninggi. "Lalu sekarang di mana dia? Di mana Jelita?""Ayah, tolong tenang," Novita angkat bicara, meski wajahnya juga tampak pucat. "Kita semua di sini sama khawatirnya. Tapi kita harus tetap tenang untuk bisa berpikir jernih."
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Kami ikut," ujar Faris tegas, diikuti anggukan Bambang dan Novita."Ini bisa berbahaya," peringat komandan polisi."Kami tidak akan tinggal diam melihat calon penerus Baskara yang sedang diculik," Novita berkata dengan nada final. "Kami ikut."Melihat tekad di mata mereka, komandan polisi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kalian harus mengikuti instruksi dari kami."***Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota...Jelita membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat dan pandangannya kabur. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari di mana ia berada. Tangannya diikat ke belakang di kursi yang ia duduki."Ah, akhirnya
Suasana mencekam masih menyelimuti area di sekitar gudang tua. Jelita berdiri gemetar, pistol masih menempel di pelipisnya. Penculik bertubuh besar itu terus berteriak, memperingatkan polisi untuk tidak mendekat. Faris, yang sejak tadi mengamati situasi dari dalam mobil, tiba-tiba mendapat sebuah ide. Ia berbisik pada Bambang dan Novita, "Aku punya rencana. Tapi ini berisiko." "Apa pun itu, lakukan!" Bambang menjawab dengan suara tertahan. "Kita harus menyelamatkan Jelita!" Faris mengangguk, lalu perlahan membuka pintu mobil. Seorang petugas keamanan mencoba menahannya, tapi Novita mengisyaratkan untuk membiarkannya pergi. "Hei!" Faris berteriak, melangkah ke depan dengan tangan terangkat. "Aku temannya Jelita. Biarkan aku bicara denganmu!" Penculik itu mengalihkan pandangannya ke arah Faris, matanya menyipit curiga. "Jangan mendekat! Atau kubunuh dia!" Faris terus melangkah perlahan, suaranya tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak bersenjata. Lihat, tanganku terang
Paramedis bergegas menghampiri Faris, memberikan pertolongan pertama pada lukanya. Sementara itu, polisi membawa si penculik ke mobil tahanan.Ketika cahaya lampu mobil polisi menerangi wajah si penculik, Bambang terkesiap. "Tunggu... aku mengenalnya!"Novita menoleh cepat. "Siapa dia, Bang?"Bambang menatap si penculik dengan campuran kemarahan dan ketidakpercayaan. "Dia... Gunawan Wijaya. Pesaing lama Baskara Group. Dulu dia nyaris berhasil mengambil alih perusahaan kita, tapi gagal di detik-detik terakhir."Jelita, yang masih gemetar dalam pelukan Bambang, mengangkat wajahnya. "Jadi... semua ini karena dendam bisnis?"Bambang mengangguk pelan. "Sepertinya begitu. Tapi kenapa harus melibatkanmu, Jelita? Kenapa harus membahayakan bayiku?"Si penculik, Gunawan, tertawa getir dari dalam mobil polisi. "Karena itu satu-satunya cara untuk menghancurkan kalian, Baskara! Mengambil penerus kalian, menghancurkan masa depan Baskara Group!"Novita melangkah maju, m
Sinar mentari pagi menembus tirai jendela rumah sakit, menerangi ruangan tempat Jelita dirawat. Suasana tenang, kontras dengan kekacauan yang mereka alami semalam. Jelita berbaring di ranjang, sementara Faris duduk di kursi roda di sampingnya. Keduanya tampak lelah, namun ada kelegaan yang terpancar dari wajah mereka."Bagaimana keadaanmu, Jel?" tanya Faris, memecah keheningan.Jelita tersenyum lemah. "Baik. Dokter bilang bayiku juga baik-baik saja. Syukurlah." Ia menatap pundak Faris yang dibalut perban. "Kau sendiri? Masih sakit?"Faris menggeleng. "Tidak seberapa. Aku lebih khawatir padamu."Hening sejenak. Faris tampak gelisah, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu."Jel," akhirnya Faris bersuara. "Ada... ada yang ingin kukatakan padamu."Jelita menoleh, menatap Faris dengan penasaran. "Apa itu?"Faris menarik napas dalam. "Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi setelah apa yang terjadi semalam, aku sadar bahwa hidup ini singkat. Ada ha
Keesokan harinya, sinar mentari pagi kembali menerangi kamar rumah sakit tempat Jelita dirawat. Suasana terasa lebih ringan dibandingkan hari sebelumnya.Dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Jelita dan memberikan kabar gembira bahwa ia sudah diperbolehkan pulang.Novita, yang sejak pagi sudah berada di rumah sakit untuk menjemput Jelita, tersenyum ringan mendengar kabar tersebut. Ia segera membantu Jelita bersiap-siap, sementara Bambang mengurus administrasi rumah sakit."Syukurlah kamu sudah boleh pulang, Jel," ucap Novita sambil membantu Jelita mengemasi barang-barangnya. "Kau tahu kan, kami semua sangat khawatir."Jelita menunduk. "Terima kasih, Mbak Novi. Maaf sudah membuat kalian cemas."Saat mereka sedang bersiap-siap, Faris muncul di pintu kamar. "Kudengar kau sudah boleh pulang, Jel?" tanyanya dengan senyum lega.Jelita mengangguk. "Iya, Kak. Dokter bilang kondisiku dan bayiku sudah stabil."Novita menatap Faris, kemudian beralih ke Jelita.