"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.
Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."
Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?"
"Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"
Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon.
"Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Kami ikut," ujar Faris tegas, diikuti anggukan Bambang dan Novita."Ini bisa berbahaya," peringat komandan polisi."Kami tidak akan tinggal diam melihat calon penerus Baskara yang sedang diculik," Novita berkata dengan nada final. "Kami ikut."Melihat tekad di mata mereka, komandan polisi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kalian harus mengikuti instruksi dari kami."***Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota...Jelita membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat dan pandangannya kabur. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari di mana ia berada. Tangannya diikat ke belakang di kursi yang ia duduki."Ah, akhirnya
Suasana mencekam masih menyelimuti area di sekitar gudang tua. Jelita berdiri gemetar, pistol masih menempel di pelipisnya. Penculik bertubuh besar itu terus berteriak, memperingatkan polisi untuk tidak mendekat. Faris, yang sejak tadi mengamati situasi dari dalam mobil, tiba-tiba mendapat sebuah ide. Ia berbisik pada Bambang dan Novita, "Aku punya rencana. Tapi ini berisiko." "Apa pun itu, lakukan!" Bambang menjawab dengan suara tertahan. "Kita harus menyelamatkan Jelita!" Faris mengangguk, lalu perlahan membuka pintu mobil. Seorang petugas keamanan mencoba menahannya, tapi Novita mengisyaratkan untuk membiarkannya pergi. "Hei!" Faris berteriak, melangkah ke depan dengan tangan terangkat. "Aku temannya Jelita. Biarkan aku bicara denganmu!" Penculik itu mengalihkan pandangannya ke arah Faris, matanya menyipit curiga. "Jangan mendekat! Atau kubunuh dia!" Faris terus melangkah perlahan, suaranya tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak bersenjata. Lihat, tanganku terang
Paramedis bergegas menghampiri Faris, memberikan pertolongan pertama pada lukanya. Sementara itu, polisi membawa si penculik ke mobil tahanan.Ketika cahaya lampu mobil polisi menerangi wajah si penculik, Bambang terkesiap. "Tunggu... aku mengenalnya!"Novita menoleh cepat. "Siapa dia, Bang?"Bambang menatap si penculik dengan campuran kemarahan dan ketidakpercayaan. "Dia... Gunawan Wijaya. Pesaing lama Baskara Group. Dulu dia nyaris berhasil mengambil alih perusahaan kita, tapi gagal di detik-detik terakhir."Jelita, yang masih gemetar dalam pelukan Bambang, mengangkat wajahnya. "Jadi... semua ini karena dendam bisnis?"Bambang mengangguk pelan. "Sepertinya begitu. Tapi kenapa harus melibatkanmu, Jelita? Kenapa harus membahayakan bayiku?"Si penculik, Gunawan, tertawa getir dari dalam mobil polisi. "Karena itu satu-satunya cara untuk menghancurkan kalian, Baskara! Mengambil penerus kalian, menghancurkan masa depan Baskara Group!"Novita melangkah maju, m
Sinar mentari pagi menembus tirai jendela rumah sakit, menerangi ruangan tempat Jelita dirawat. Suasana tenang, kontras dengan kekacauan yang mereka alami semalam. Jelita berbaring di ranjang, sementara Faris duduk di kursi roda di sampingnya. Keduanya tampak lelah, namun ada kelegaan yang terpancar dari wajah mereka."Bagaimana keadaanmu, Jel?" tanya Faris, memecah keheningan.Jelita tersenyum lemah. "Baik. Dokter bilang bayiku juga baik-baik saja. Syukurlah." Ia menatap pundak Faris yang dibalut perban. "Kau sendiri? Masih sakit?"Faris menggeleng. "Tidak seberapa. Aku lebih khawatir padamu."Hening sejenak. Faris tampak gelisah, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu."Jel," akhirnya Faris bersuara. "Ada... ada yang ingin kukatakan padamu."Jelita menoleh, menatap Faris dengan penasaran. "Apa itu?"Faris menarik napas dalam. "Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi setelah apa yang terjadi semalam, aku sadar bahwa hidup ini singkat. Ada ha
Keesokan harinya, sinar mentari pagi kembali menerangi kamar rumah sakit tempat Jelita dirawat. Suasana terasa lebih ringan dibandingkan hari sebelumnya.Dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Jelita dan memberikan kabar gembira bahwa ia sudah diperbolehkan pulang.Novita, yang sejak pagi sudah berada di rumah sakit untuk menjemput Jelita, tersenyum ringan mendengar kabar tersebut. Ia segera membantu Jelita bersiap-siap, sementara Bambang mengurus administrasi rumah sakit."Syukurlah kamu sudah boleh pulang, Jel," ucap Novita sambil membantu Jelita mengemasi barang-barangnya. "Kau tahu kan, kami semua sangat khawatir."Jelita menunduk. "Terima kasih, Mbak Novi. Maaf sudah membuat kalian cemas."Saat mereka sedang bersiap-siap, Faris muncul di pintu kamar. "Kudengar kau sudah boleh pulang, Jel?" tanyanya dengan senyum lega.Jelita mengangguk. "Iya, Kak. Dokter bilang kondisiku dan bayiku sudah stabil."Novita menatap Faris, kemudian beralih ke Jelita.
"Jel, aku baru ingat sesuatu," ujar Faris tiba-tiba, memecah keheningan di taman belakang rumah keluarga Baskara.Jelita menoleh, menatap Faris dengan pandangan bertanya. "Apa itu, Kak?"Faris tersenyum misterius. "Tunggu sebentar ya." Ia bangkit dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jelita yang kebingungan.Beberapa saat kemudian, Faris kembali dengan sebuah bingkisan di tangannya. "Ini," katanya sambil menyerahkan bingkisan itu kepada Jelita. "Sebenarnya aku membawa ini saat... yah, saat insiden itu terjadi."Jelita menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu. "Apa ini, Kak?""Bukalah," jawab Faris, senyum masih tersungging di wajahnya.Dengan hati-hati, Jelita membuka bingkisan itu. Matanya melebar saat melihat isinya. "Ini...""Baju couple untuk kamu dan bayimu," Faris menjelaskan. "Bergambar gajah lucu. Kamu masih menyukai gajah kan?"Jelita mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Tentu saja masih, Kak. Tapi... bagaimana kak
"Wah, lihat baju hamil itu, Kak! Bagus sekali," seru Jelita dengan mata berbinar-binar.Faris mengikuti arah pandang Jelita. Mereka baru saja tiba di pusat perbelanjaan kota dan langsung menuju ke sebuah toko pakaian ibu hamil."Iya, bagus," Faris mengangguk setuju. "Kamu mau mencobanya?"Jelita mengangguk antusias. Seorang pelayan toko, wanita paruh baya dengan senyum ramah, menghampiri mereka."Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu."Ah, iya," jawab Jelita. "Saya ingin mencoba baju hamil yang di sana itu."Pelayan itu mengangguk dan mengambilkan baju yang ditunjuk Jelita. "Silakan, ruang ganti ada di sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah pojok toko.