Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu.
"Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."
Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka.
"Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.
Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Jelita menatap bayangannya di cermin besar yang menghiasi ruang tunggu pengantin. Kebaya putih mewah membalut tubuhnya yang ramping, namun wajahnya yang cantik tampak pucat. Jari-jarinya yang lentik bergetar saat ia mencoba merapikan hiasan rambutnya untuk kesekian kalinya."Tenang, Jelita. Kamu bisa melakukan ini," bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar. "Ini adalah hari bahagiamu. Kamu akan menjadi seorang istri."Namun kenyataan yang tak terucap menghantui pikirannya: ia akan menjadi istri kedua dari Bambang, yang tak lain adalah suami dari Novita. Seorang pria berusia 45 tahun, dua puluh tahun lebih tua darinya.Novita adalah kakak dari ibu Jelita sekaligus pewaris tunggal dari Baskara Group. Perusahaan besar dan terkenal di pusat kota Jakarta. Saat Novita berusia 5 tahun, orang tuanya mengangkat seorang anak perempuan dari sebuah panti asuhan di pusat kota.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Paman Bambang adalah pam
"Kau cantik sekali, Nak," bisik ayahnya dengan bangga. "Lihat, semua orang terpesona melihatmu."Jelita hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Ayah," balasnya lirih.Setiap langkah terasa seperti beban berat bagi Jelita. Ia melihat ke depan, ke arah meja Akad Nikah di mana Bambang, calon suaminya, duduk menunggu bersama penghulu. Wajahnya menampilkan senyum, tapi Jelita bisa melihat ketegangan di baliknya."Ayah," Jelita berbisik, suaranya bergetar. "Apa... apa ini benar-benar yang terbaik untukku?"Ayahnya mengeratkan genggamannya. "Tentu saja, Sayang. Bambang adalah pria hebat. Dia akan memberikan kehidupan yang layak untukmu."Jelita menelan ludah, berusaha menahan air matanya.Sepanjang perjalanan menuju ke meja Akad Nikah, Jelita mengingat betul bagaimana tujuh tahun lalu Novita membantu keluarganya dulu di tengah krisis hebat. Ayahnya, Hendra, seorang pengusaha properti yang cukup sukses, tiba-tiba jatuh sakit. Stroke yang menyerangnya memaksa pria paruh baya itu terbaring
Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap."Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki."Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.Jelita m
Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis."Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun."Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun ha
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No