"Kau cantik sekali, Nak," bisik ayahnya dengan bangga. "Lihat, semua orang terpesona melihatmu."
Jelita hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Ayah," balasnya lirih.
Setiap langkah terasa seperti beban berat bagi Jelita. Ia melihat ke depan, ke arah meja Akad Nikah di mana Bambang, calon suaminya, duduk menunggu bersama penghulu. Wajahnya menampilkan senyum, tapi Jelita bisa melihat ketegangan di baliknya.
"Ayah," Jelita berbisik, suaranya bergetar. "Apa... apa ini benar-benar yang terbaik untukku?"
Ayahnya mengeratkan genggamannya. "Tentu saja, Sayang. Bambang adalah pria hebat. Dia akan memberikan kehidupan yang layak untukmu."
Jelita menelan ludah, berusaha menahan air matanya.
Sepanjang perjalanan menuju ke meja Akad Nikah, Jelita mengingat betul bagaimana tujuh tahun lalu Novita membantu keluarganya dulu di tengah krisis hebat. Ayahnya, Hendra, seorang pengusaha properti yang cukup sukses, tiba-tiba jatuh sakit. Stroke yang menyerangnya memaksa pria paruh baya itu terbaring lemah di rumah sakit selama berbulan-bulan.
Jelita, yang saat itu berusia 18 tahun, masih ingat betul bagaimana ibunya, Ratna mondar-mandir di lorong rumah sakit dengan wajah cemas. Biaya pengobatan yang tidak murah menguras habis tabungan keluarga mereka.
Di tengah krisis itulah, sosok Novita muncul bagai malaikat penolong. Suatu hari, Novita datang mengunjungi mereka di rumah sakit untuk menawarkan bantuan kepada keluarga Jelita.
Novita juga membantu mencarikan dokter terbaik untuk ayah Jelita dan bahkan meminjamkan salah satu rumahnya untuk ditinggali keluarga Jelita selama masa pemulihan. Tak hanya pengobatan Hendra, Novita juga membiayai kuliah Jelita hingga lulus sarjana.
Dan begitulah, berkat bantuan Novita, Jelita bisa lulus sarjana jurusan Manajemen Bisnis di universitas ternama.
"Tante Novi, aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih," kata Jelita saat wisuda S1-nya.
Novita tersenyum hangat. "Kau tidak perlu berterima kasih, Jelita. Anggap saja ini investasi untuk masa depanmu. Suatu hari nanti, kau pasti bisa membalas kebaikan ini dengan caramu sendiri."
Suatu hari, Novita menemui keluarga Jelita untuk menagih hutang budi keluarga Jelita
“Aku rasa sudah waktunya aku menagih hutang budi kalian. Dan Jelita adalah kunci dari semua ini" ucap Novita kala itu di depan keluarga Jelita. "Jelita, aku ingin kau... menikah dengan suamiku, Bambang."
***
Penghulu menjabat tangan Bambang dan mulai mengucapkan kalimat Ijab Qobul. “Saudara Bambang Wicaksono bin Herry Wicaksono, saya nikahkan engkau dengan Jelita Paramitha binti Hendra Gunawan dengan mas kawin uang sebesar seratus juta rupiah dan sepuluh gram logam emas mulia dibayar tunai.”
Disusul oleh Bambang yang tampak gugup namun terlihat tegas “Saya terima nikahnya Jelita Paramitha binti Hendra Gunawan dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus juta rupiah dan sepuluh gram logam emas mulia dibayar tunai.”
“Sah para saksi?” tanya penghulu.
Sontak, para saksi menjawab “SAH”.
Penghulu mulai membacakan doa. Dilanjutkan pertukaran cincin oleh Bambang dan Jelita. Bambang yang mengulurkan tangan kepada Jelita tampak ragu. Jelita pun tampak ragu menjabat tangan pria paruh baya itu. Kemudian, Jelita mencium tangan pria yang kini sudah menjadi suaminya.
"Paman," bisik Jelita pelan, saat mereka berada di panggung pelaminan. "Apa kau yakin tentang ini?"
Bambang melirik sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Kita tidak punya pilihan lain, Jelita. Keluarga kita mengharapkan ini. Terutama Tantemu, Novita"
Jelita menghela napas pelan. "Aku tahu. Tapi... bagaimana dengan cinta?"
"Cinta?" Bambang tersenyum getir. " Yang penting sekarang adalah keturunan."
Jelita merasakan hatinya sakit mendengar kata-kata itu. Ia tahu pernikahan ini diatur demi mendapatkan keturunan, tapi mendengarnya langsung dari mulut Bambang membuatnya semakin nyata dan menyakitkan.
Jelita berbisik pelan, "Semoga kita bisa menjalani ini dengan baik, Paman."
Bambang mengangguk kecil. "Ya, semoga. Kita akan berusaha yang terbaik, demi kebahagiaan keluarga kita."
Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap."Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki."Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.Jelita m
Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis."Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun."Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun ha
Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun."Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," uj
"Mbak, boleh saya pamit sebentar? Saya ingin berkeliling kota, menenangkan pikiran."Jelita menghampiri Novita yang sedang menyiram tanaman di teras belakang. Novita menoleh, alisnya terangkat. "Berkeliling? Sendirian?""Iya, Mbak. Saya rasa saya butuh waktu sendiri sejenak," jawab Jelita pelan.Novita menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Baiklah. Tapi jangan pulang terlalu malam. Bambang tidak akan suka."Jelita mengangguk dan bergegas keluar rumah. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang mengikutinya hingga ia menghilang di balik pagar.Beberapa jam kemudian, Jelita kembali dengan taksi. Sopir taksi, seorang pria berkemeja biru muda, melirik Jelita dari kaca spion."Nona baik-baik saja?" tanyanya, membuyarkan lamunan Jelita.Jelita tersentak, berusaha tersenyum. "Oh, ya. Saya baik-baik saja.""Maaf kalau saya lancang, tapi Nona terlihat seperti sedang ada masalah," ujar pria paruh baya berambut putih itu.Jelita menghela napas. "Hanya sedikit lelah, Pak. Hari yang panjang.""A
"Kau bisa melakukan ini, Jelita," bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar.Jelita berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang mengenakan piyama merah muda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Malam ini adalah jadwal pertamanya tidur bersama Bambang, dan ia merasa sangat gugup.Dengan langkah ragu, Jelita membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar utama. Tangannya gemetar saat ia mengetuk pintu."Masuk," suara Bambang terdengar dari dalam.Jelita membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bambang sudah berbaring di tempat tidur, mengenakan piyama merah yang senada dengan miliknya."Hai," sapa Bambang lembut. "Kemarilah."Jelita mengangguk kaku dan berjalan ke sisi tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berani menatap Bambang."Jelita," Bambang berkata pelan. "Kau tidak perlu takut. Kita tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan."Jelita akhirnya memberanikan diri menatap Bambang. "Maaf, Bang.
"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No
"Nyonya Jelita, Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahim Anda dalam kondisi sangat sehat," ujar Dokter Amelia dengan senyum lembut. "Dan berdasarkan siklus Anda, masa subur Anda dimulai hari ini."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ke arah Novita yang duduk di sampingnya, wajahnya sulit dibaca."Jadi... apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dok?" tanya Jelita dengan suara pelan.Dokter Amelia menjelaskan dengan hati-hati, "Untuk memaksimalkan peluang kehamilan, saya sarankan Anda dan suami Anda... um, berusaha mulai malam ini. Masa subur biasanya berlangsung sekitar 5-6 hari, jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin."Novita berdehem pelan, membuat Jelita dan Dokter Amelia menoleh ke arahnya. "Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Dokter?" tanyanya dengan nada datar."Tentu, Nyonya Novita. Saya sarankan Jelita untuk mengurangi stres, menjaga pola makan yang sehat, dan berolahraga ringan secara teratur. Semua ini akan membantu meningkatkan peluang keham
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No