Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.
Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.
Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun.
"Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.
Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."
Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," ujarnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Jelita tidak luput menangkap kilatan aneh di mata Novita saat mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.
Jelita duduk dengan canggung, matanya melirik ke arah Bi Inah yang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu tersenyum padanya sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
"Bagaimana tidurmu, Jelita?" tanya Novita, nada suaranya terdengar datar saat mengambil sepotong roti untuk Jelita.
"Baik... Tante," jawab Jelita pelan, masih merasa aneh dengan situasi ini.
Bambang berdeham. "Jelita, mulai sekarang kau tidak perlu memanggil kami Paman dan Tante lagi. Panggil saja aku Abang, seperti Novita. Dan panggillah Novita dengan sebutan Mbak."
Jelita terkesiap, matanya membelalak. "Ta-tapi..."
"Benar, Jel," tambah Novita, suaranya terdengar sedikit kaku. "Kita sekarang satu keluarga. Tidak perlu formalitas lagi."
Jelita menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. "Baik... A-Abang," ujarnya terbata, kata itu terasa asing di lidahnya.
Bambang tersenyum puas. "Nah, begitu lebih baik."
Sarapan berlanjut dalam keheningan yang canggung. Jelita lebih banyak memainkan makanannya daripada memakannya, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang sesekali mengarah padanya, tatapan yang sulit diartikan.
"Jelita," suara Bambang memecah keheningan. "Hari ini aku ada meeting penting. Mungkin akan pulang sedikit terlambat. Kuusahakan aku sudah pulang saat jam makan malam."
"Oh," Jelita mengangguk pelan. "Baik, A-Abang."
"Jangan khawatir," tambah Novita, suaranya terdengar sedikit tegang. "Kita bisa menghabiskan waktu berdua. Ada banyak yang ingin kutunjukkan padamu tentang rumah ini."
Jelita tersenyum tipis, meski hatinya terasa berat. Ia merasa seperti anak kecil yang harus dibimbing, bukan seorang istri.
"Novita Sayang," Bambang beralih pada Novita. "Jangan lupa nanti siang ada arisan keluarga. Kau yang akan mewakili kita, kan?"
Novita mengangguk. "Tentu, sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya."
Jelita merasakan tusukan di hatinya. Ia bahkan tidak tahu tentang arisan keluarga ini. Apakah ia akan selalu merasa seperti orang luar?
"Um, boleh saya ikut?" tanya Jelita ragu-ragu.
Bambang dan Novita saling pandang. "Mungkin belum saatnya, sayang," jawab Novita cepat, nada suaranya terdengar sedikit defensif. "Kita perlu mempersiapkan keluarga besar dulu sebelum memperkenalkanmu."
Jelita mengangguk pelan, merasa ditolak. "Saya mengerti."
Bambang melirik jam tangannya. "Ah, aku harus berangkat sekarang." Ia bangkit, mengecup kening Novita dengan lembut.
Jelita mengalihkan pandangannya, merasa seperti pengintip. Namun, ia terkejut saat Bambang menghampirinya dan mengecup keningnya juga. Jelita tidak luput menangkap perubahan ekspresi Novita yang sesaat mengeras sebelum kembali normal.
"Sampai nanti, Jelita," ujar Bambang sebelum bergegas keluar.
Sepeninggal Bambang, suasana di ruang makan menjadi lebih tegang. Jelita bisa merasakan tatapan Novita padanya, kali ini lebih intens dan penuh selidik.
"Jelita," Novita memulai, nada suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Jantung Jelita berdegup kencang. "Ya, Tan... maksudku, Mbak?"
Novita menarik napas dalam, matanya menyipit saat menatap Jelita. "Ini tentang aturan di rumah ini. Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui dan patuhi."
Jelita menelan ludah, menunggu dengan cemas.
"Pertama," Novita melanjutkan, suaranya tegas. "Kau boleh tidur dengan Bambang hanya pada jadwal yang sudah kutentukan. Kedua, kita akan berbagi tugas rumah tangga, tapi ingat posisimu di sini. Dan yang paling penting..."
Tiba-tiba, suara pecahan piring menginterupsi pembicaraan mereka.
Novita segera menghampiri Bi Inah, wajahnya menunjukkan kekesalan. "Ada apa, Bi?"
"Maaf, Nyonya," ujar Bi Inah panik. "Saya tidak sengaja."
"Tak apa, Bi. Cepat bersihkan pecahan piringnya. Takut melukai kaki." utus Novita sambil mengambilkan sapu, nada suaranya masih terdengar kesal.
"Baik, Nyonya. Terima Kasih." ucap Bi Inah.
Novita kembali ke meja makan, matanya kembali tertuju pada Jelita. "Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Ada banyak yang harus kau pelajari tentang posisimu di rumah ini, Jelita."
Jelita menatap sarapannya yang belum tersentuh, perutnya bergolak oleh kecemasan. Ia tahu kehidupan barunya sebagai istri kedua tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka akan berhadapan dengan kecemburuan dan ketegangan seperti ini.
Jelita sadar bahwa kehidupan barunya sebagai istri kedua Bambang mungkin akan jauh lebih berbahaya dan rumit dari yang ia bayangkan, terutama dengan adanya bibit-bibit kecemburuan yang mulai tumbuh dalam diri Novita.
"Mbak, boleh saya pamit sebentar? Saya ingin berkeliling kota, menenangkan pikiran."Jelita menghampiri Novita yang sedang menyiram tanaman di teras belakang. Novita menoleh, alisnya terangkat. "Berkeliling? Sendirian?""Iya, Mbak. Saya rasa saya butuh waktu sendiri sejenak," jawab Jelita pelan.Novita menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Baiklah. Tapi jangan pulang terlalu malam. Bambang tidak akan suka."Jelita mengangguk dan bergegas keluar rumah. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang mengikutinya hingga ia menghilang di balik pagar.Beberapa jam kemudian, Jelita kembali dengan taksi. Sopir taksi, seorang pria berkemeja biru muda, melirik Jelita dari kaca spion."Nona baik-baik saja?" tanyanya, membuyarkan lamunan Jelita.Jelita tersentak, berusaha tersenyum. "Oh, ya. Saya baik-baik saja.""Maaf kalau saya lancang, tapi Nona terlihat seperti sedang ada masalah," ujar pria paruh baya berambut putih itu.Jelita menghela napas. "Hanya sedikit lelah, Pak. Hari yang panjang.""A
"Kau bisa melakukan ini, Jelita," bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar.Jelita berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang mengenakan piyama merah muda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Malam ini adalah jadwal pertamanya tidur bersama Bambang, dan ia merasa sangat gugup.Dengan langkah ragu, Jelita membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar utama. Tangannya gemetar saat ia mengetuk pintu."Masuk," suara Bambang terdengar dari dalam.Jelita membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bambang sudah berbaring di tempat tidur, mengenakan piyama merah yang senada dengan miliknya."Hai," sapa Bambang lembut. "Kemarilah."Jelita mengangguk kaku dan berjalan ke sisi tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berani menatap Bambang."Jelita," Bambang berkata pelan. "Kau tidak perlu takut. Kita tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan."Jelita akhirnya memberanikan diri menatap Bambang. "Maaf, Bang.
"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No
"Nyonya Jelita, Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahim Anda dalam kondisi sangat sehat," ujar Dokter Amelia dengan senyum lembut. "Dan berdasarkan siklus Anda, masa subur Anda dimulai hari ini."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ke arah Novita yang duduk di sampingnya, wajahnya sulit dibaca."Jadi... apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dok?" tanya Jelita dengan suara pelan.Dokter Amelia menjelaskan dengan hati-hati, "Untuk memaksimalkan peluang kehamilan, saya sarankan Anda dan suami Anda... um, berusaha mulai malam ini. Masa subur biasanya berlangsung sekitar 5-6 hari, jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin."Novita berdehem pelan, membuat Jelita dan Dokter Amelia menoleh ke arahnya. "Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Dokter?" tanyanya dengan nada datar."Tentu, Nyonya Novita. Saya sarankan Jelita untuk mengurangi stres, menjaga pola makan yang sehat, dan berolahraga ringan secara teratur. Semua ini akan membantu meningkatkan peluang keham
"Kau siap?" tanya Bambang pelan.Jelita mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat gugup. "Iya, Bang."Bambang mengernyitkan dahinya “Apa kau yakin? Aku tidak akan memaksa.”“Aku yakin, Bang.”Mereka saling bertatapan. Perlahan, Bambang merapatkan dirinya lebih dekat dengan Jelita. Mereka berbagi ciuman lembut. Tangan kekar Bambang menyentuh pipi Jelita. Wajah Jelita pun mulai memanas.Ciuman yang tadinya lembut, berubah menjadi lumatan. Jelita mencengkeram lengan Bambang, sedangkan tangan Bambang sibuk bergerilya menyentuh ke seluruh bagian sensitif tubuh Jelita.“Aahh, Bang.” desahan Jelita menyeruak ke seluruh ruangan.Kini, posisi Bambang sudah berada di atas tubuh Jelita. Satu per satu gaun tidur yang dikenakan Jelita terlepas. Bambang memandangi tubuh Jelita tanpa satu helai kain sambil melepas pakaian yang ia kenakan.“Aku malu, Bang.” Ucap Jelita sambil berusaha menutupi tubuhnya.“Tak perlu malu, Jelita.” Bujuk Bambang sambil mel
“Ayo Jelita, Novita, kita ke taman belakang. Udara pagi bagus untuk... kesehatan." kata Bambang sambil beranjak dari kursinya.Jelita mengangguk. "Baik, Bang."Novita tak menjawab. Dia berjalan di belakang Bambang. Mengikuti ke mana suaminya itu pergi.Saat Jelita dan Novita duduk di taman belakang, suasana kembali menegang. Novita memulai percakapan dengan nada yang terdengar ringan, namun ada ketajaman tersembunyi di dalamnya."Jadi, Jelita," Novita memulai, "bagaimana rasanya semalam?"Jelita terkesiap, wajahnya memerah. "M-Mbak, aku...""Apa? Kita sesama istri kan? Wajar kalau kita berbagi cerita," Novita tersenyum, tapi matanya tidak.
Jelita menatap punggung Bambang yang menjauh, mengejar Novita yang bergegas masuk ke dalam rumah. Ia terduduk lemas di kursi taman, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara-suara Novita masih terngiang di telinganya, menusuk hatinya seperti ribuan jarum."Kau hanya alat demi memenuhi kebutuhanku untuk memiliki keturunan. Ingat itu!"Kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya merasa kecil dan tidak berharga. Dengan langkah gontai, Jelita akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya.Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh seketika. Ia merosot ke lantai, bersandar pada pintu, dan membiarkan isak tangisnya pecah.Tubuhnya bergetar hebat saat ia memeluk lututnya, mencoba meredam suara tangisannya agar tid