Share

BAB 5 - Pagi yang Mengusik

Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.

Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.

Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun.

"Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.

Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."

Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," ujarnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Jelita tidak luput menangkap kilatan aneh di mata Novita saat mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.

Jelita duduk dengan canggung, matanya melirik ke arah Bi Inah yang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu tersenyum padanya sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

"Bagaimana tidurmu, Jelita?" tanya Novita, nada suaranya terdengar datar saat mengambil sepotong roti untuk Jelita.

"Baik... Tante," jawab Jelita pelan, masih merasa aneh dengan situasi ini.

Bambang berdeham. "Jelita, mulai sekarang kau tidak perlu memanggil kami Paman dan Tante lagi. Panggil saja aku Abang, seperti Novita. Dan panggillah Novita dengan sebutan Mbak."

Jelita terkesiap, matanya membelalak. "Ta-tapi..."

"Benar, Jel," tambah Novita, suaranya terdengar sedikit kaku. "Kita sekarang satu keluarga. Tidak perlu formalitas lagi."

Jelita menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. "Baik... A-Abang," ujarnya terbata, kata itu terasa asing di lidahnya.

Bambang tersenyum puas. "Nah, begitu lebih baik."

Sarapan berlanjut dalam keheningan yang canggung. Jelita lebih banyak memainkan makanannya daripada memakannya, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang sesekali mengarah padanya, tatapan yang sulit diartikan.

"Jelita," suara Bambang memecah keheningan. "Hari ini aku ada meeting penting. Mungkin akan pulang sedikit terlambat. Kuusahakan aku sudah pulang saat jam makan malam."

"Oh," Jelita mengangguk pelan. "Baik, A-Abang."

"Jangan khawatir," tambah Novita, suaranya terdengar sedikit tegang. "Kita bisa menghabiskan waktu berdua. Ada banyak yang ingin kutunjukkan padamu tentang rumah ini."

Jelita tersenyum tipis, meski hatinya terasa berat. Ia merasa seperti anak kecil yang harus dibimbing, bukan seorang istri.

"Novita Sayang," Bambang beralih pada Novita. "Jangan lupa nanti siang ada arisan keluarga. Kau yang akan mewakili kita, kan?"

Novita mengangguk. "Tentu, sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya."

Jelita merasakan tusukan di hatinya. Ia bahkan tidak tahu tentang arisan keluarga ini. Apakah ia akan selalu merasa seperti orang luar?

"Um, boleh saya ikut?" tanya Jelita ragu-ragu.

Bambang dan Novita saling pandang. "Mungkin belum saatnya, sayang," jawab Novita cepat, nada suaranya terdengar sedikit defensif. "Kita perlu mempersiapkan keluarga besar dulu sebelum memperkenalkanmu."

Jelita mengangguk pelan, merasa ditolak. "Saya mengerti."

Bambang melirik jam tangannya. "Ah, aku harus berangkat sekarang." Ia bangkit, mengecup kening Novita dengan lembut.

Jelita mengalihkan pandangannya, merasa seperti pengintip. Namun, ia terkejut saat Bambang menghampirinya dan mengecup keningnya juga. Jelita tidak luput menangkap perubahan ekspresi Novita yang sesaat mengeras sebelum kembali normal.

"Sampai nanti, Jelita," ujar Bambang sebelum bergegas keluar.

Sepeninggal Bambang, suasana di ruang makan menjadi lebih tegang. Jelita bisa merasakan tatapan Novita padanya, kali ini lebih intens dan penuh selidik.

"Jelita," Novita memulai, nada suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Jantung Jelita berdegup kencang. "Ya, Tan... maksudku, Mbak?"

Novita menarik napas dalam, matanya menyipit saat menatap Jelita. "Ini tentang aturan di rumah ini. Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui dan patuhi."

Jelita menelan ludah, menunggu dengan cemas.

"Pertama," Novita melanjutkan, suaranya tegas. "Kau boleh tidur dengan Bambang hanya pada jadwal yang sudah kutentukan. Kedua, kita akan berbagi tugas rumah tangga, tapi ingat posisimu di sini. Dan yang paling penting..."

Tiba-tiba, suara pecahan piring menginterupsi pembicaraan mereka.

Novita segera menghampiri Bi Inah, wajahnya menunjukkan kekesalan. "Ada apa, Bi?"

"Maaf, Nyonya," ujar Bi Inah panik. "Saya tidak sengaja."

"Tak apa, Bi. Cepat bersihkan pecahan piringnya. Takut melukai kaki." utus Novita sambil mengambilkan sapu, nada suaranya masih terdengar kesal.

"Baik, Nyonya. Terima Kasih." ucap Bi Inah.

Novita kembali ke meja makan, matanya kembali tertuju pada Jelita. "Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Ada banyak yang harus kau pelajari tentang posisimu di rumah ini, Jelita."

Jelita menatap sarapannya yang belum tersentuh, perutnya bergolak oleh kecemasan. Ia tahu kehidupan barunya sebagai istri kedua tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka akan berhadapan dengan kecemburuan dan ketegangan seperti ini.

Jelita sadar bahwa kehidupan barunya sebagai istri kedua Bambang mungkin akan jauh lebih berbahaya dan rumit dari yang ia bayangkan, terutama dengan adanya bibit-bibit kecemburuan yang mulai tumbuh dalam diri Novita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status