Share

BAB 4 - Malam yang Tak Terduga

Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis.

"Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.

Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun.

"Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"

Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun hanya untuk membangunkannya di pagi hari.

Bambang melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang, menjaga jarak dengan Jelita. Aroma cologne-nya yang maskulin memenuhi ruangan, membuat Jelita semakin gugup.

"Aku tahu ini situasi yang tidak biasa," Bambang memulai, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Tapi... kita sudah menikah sekarang."

Jelita menunduk, jemarinya memainkan ujung selimut. "Iya, Paman. Aku tahu."

Hening sejenak menyelimuti ruangan. Jelita bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya. Ia melirik Bambang, mendapati pria itu juga tampak gugup, keringat tipis membasahi dahinya.

Bambang berdeham pelan, memecah keheningan. "Jelita, aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau inginkan. Kita bisa... pelan-pelan."

Jelita memberanikan diri menatap Bambang. Di bawah sinar remang-remang, ia bisa melihat kilatan lembut di mata pria itu. Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat Jelita sedikit lebih tenang.

"Terima kasih, Paman," ujar Jelita lirih. "Aku... Aku belum siap."

Bambang mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Kita punya banyak waktu untuk saling mengenal."

Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jelita merasakan campuran emosi yang rumit - kelegaan karena Bambang tidak memaksakan apa pun, tapi juga rasa bersalah karena merasa telah mengecewakan suaminya di malam pertama mereka.

"Paman," Jelita akhirnya memberanikan diri berbicara. "Boleh Aku tanya sesuatu?"

"Tentu," jawab Bambang, terdengar sedikit lega dengan adanya topik pembicaraan.

"Kenapa Paman setuju menikah lagi? Apalagi... dengan keponakan istri Paman sendiri?"

Bambang menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, terlihat mencari kata-kata yang tepat. "Itu keputusan yang tidak mudah, Jelita. Tapi aku dan Novita sudah membicarakannya matang-matang. Kami... kami ingin punya keturunan. Novita butuh penerus untuk Baskara Group."

Jelita merasa ada yang menusuk hatinya. Meski ia sudah menduga alasan ini, mendengarnya langsung dari mulut Bambang tetap terasa menyakitkan. "Jadi... Aku hanya untuk itu?"

"Bukan begitu," Bambang cepat-cepat menjawab, tangannya hampir menyentuh tangan Jelita namun terhenti di udara. "Kau lebih dari itu, Jelita. Kami memilihmu karena kami percaya padamu. Kau bagian dari keluarga ini sekarang."

Jelita mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Paman."

Bambang tersenyum lembut. "Aku tahu. Kita akan melalui ini bersama-sama."

Mereka kembali terdiam. Jelita bisa merasakan kehangatan tubuh Bambang di sampingnya, membuatnya sedikit gugup. Ia mencuri pandang ke arah Bambang, mengamati profilnya yang masih tampan di usia 45 tahun. Jelita tak bisa memungkiri bahwa secara fisik, Bambang adalah pria yang menarik. Namun situasi ini - menjadi istri kedua, menikah tanpa cinta - membuat segalanya terasa rumit.

"Paman," Jelita berbisik, "boleh Aku jujur?"

Bambang menoleh, matanya menatap Jelita dengan lembut. "Tentu, Jelita. Katakan saja."

"Aku... Aku takut," ujar Jelita, suaranya bergetar. "Semua ini terasa begitu asing. Menikah dengan pria yang hampir tidak Aku kenal, menjadi istri kedua... Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap."

Bambang menghela napas panjang. "Aku mengerti, Jelita. Percayalah, aku juga merasa takut. Ini situasi baru bagi kita semua."

"Bahkan bagi Paman?" tanya Jelita, sedikit terkejut.

Bambang tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku mungkin lebih tua darimu, tapi ini juga pengalaman pertamaku memiliki dua istri. Ada banyak hal yang harus kita pelajari bersama."

Jelita merasa sedikit lega mendengar kejujuran Bambang. "Lalu... bagaimana dengan Tante Novi? Apa dia benar-benar setuju dengan semua ini?"

Bambang terdiam sejenak sebelum menjawab. "Novita... dia wanita yang luar biasa. Dia yang mengusulkan ide ini. Dia ingin aku bahagia, dan dia juga ingin kau punya kehidupan yang layak."

Air mata mulai menggenang di mata Jelita. "Tante Novi terlalu baik. Aku merasa seperti penghancur rumah tangga kalian."

"Sssh," Bambang menggeleng pelan. "Jangan pernah berpikir seperti itu. Kau tidak menghancurkan apa pun, Jelita. Kau justru melengkapi keluarga kami."

Jelita mengangguk pelan, mencoba menerima kata-kata Bambang meski hatinya masih berat.

"Mungkin sebaiknya Aku tidur sekarang, Paman," ujar Jelita akhirnya, merasa lelah secara emosional.

Bambang mengangguk. "Tentu. Istirahatlah." Ia bangkit dari ranjang, sosoknya yang tinggi memenuhi pandangan Jelita. "Selamat malam, Jelita."

"Selamat malam, Paman," balas Jelita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status