Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis.
"Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.
Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun.
"Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"
Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun hanya untuk membangunkannya di pagi hari.
Bambang melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang, menjaga jarak dengan Jelita. Aroma cologne-nya yang maskulin memenuhi ruangan, membuat Jelita semakin gugup.
"Aku tahu ini situasi yang tidak biasa," Bambang memulai, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Tapi... kita sudah menikah sekarang."
Jelita menunduk, jemarinya memainkan ujung selimut. "Iya, Paman. Aku tahu."
Hening sejenak menyelimuti ruangan. Jelita bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya. Ia melirik Bambang, mendapati pria itu juga tampak gugup, keringat tipis membasahi dahinya.
Bambang berdeham pelan, memecah keheningan. "Jelita, aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau inginkan. Kita bisa... pelan-pelan."
Jelita memberanikan diri menatap Bambang. Di bawah sinar remang-remang, ia bisa melihat kilatan lembut di mata pria itu. Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat Jelita sedikit lebih tenang.
"Terima kasih, Paman," ujar Jelita lirih. "Aku... Aku belum siap."
Bambang mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Kita punya banyak waktu untuk saling mengenal."
Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jelita merasakan campuran emosi yang rumit - kelegaan karena Bambang tidak memaksakan apa pun, tapi juga rasa bersalah karena merasa telah mengecewakan suaminya di malam pertama mereka.
"Paman," Jelita akhirnya memberanikan diri berbicara. "Boleh Aku tanya sesuatu?"
"Tentu," jawab Bambang, terdengar sedikit lega dengan adanya topik pembicaraan.
"Kenapa Paman setuju menikah lagi? Apalagi... dengan keponakan istri Paman sendiri?"
Bambang menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, terlihat mencari kata-kata yang tepat. "Itu keputusan yang tidak mudah, Jelita. Tapi aku dan Novita sudah membicarakannya matang-matang. Kami... kami ingin punya keturunan. Novita butuh penerus untuk Baskara Group."
Jelita merasa ada yang menusuk hatinya. Meski ia sudah menduga alasan ini, mendengarnya langsung dari mulut Bambang tetap terasa menyakitkan. "Jadi... Aku hanya untuk itu?"
"Bukan begitu," Bambang cepat-cepat menjawab, tangannya hampir menyentuh tangan Jelita namun terhenti di udara. "Kau lebih dari itu, Jelita. Kami memilihmu karena kami percaya padamu. Kau bagian dari keluarga ini sekarang."
Jelita mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Paman."
Bambang tersenyum lembut. "Aku tahu. Kita akan melalui ini bersama-sama."
Mereka kembali terdiam. Jelita bisa merasakan kehangatan tubuh Bambang di sampingnya, membuatnya sedikit gugup. Ia mencuri pandang ke arah Bambang, mengamati profilnya yang masih tampan di usia 45 tahun. Jelita tak bisa memungkiri bahwa secara fisik, Bambang adalah pria yang menarik. Namun situasi ini - menjadi istri kedua, menikah tanpa cinta - membuat segalanya terasa rumit.
"Paman," Jelita berbisik, "boleh Aku jujur?"
Bambang menoleh, matanya menatap Jelita dengan lembut. "Tentu, Jelita. Katakan saja."
"Aku... Aku takut," ujar Jelita, suaranya bergetar. "Semua ini terasa begitu asing. Menikah dengan pria yang hampir tidak Aku kenal, menjadi istri kedua... Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap."
Bambang menghela napas panjang. "Aku mengerti, Jelita. Percayalah, aku juga merasa takut. Ini situasi baru bagi kita semua."
"Bahkan bagi Paman?" tanya Jelita, sedikit terkejut.
Bambang tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku mungkin lebih tua darimu, tapi ini juga pengalaman pertamaku memiliki dua istri. Ada banyak hal yang harus kita pelajari bersama."
Jelita merasa sedikit lega mendengar kejujuran Bambang. "Lalu... bagaimana dengan Tante Novi? Apa dia benar-benar setuju dengan semua ini?"
Bambang terdiam sejenak sebelum menjawab. "Novita... dia wanita yang luar biasa. Dia yang mengusulkan ide ini. Dia ingin aku bahagia, dan dia juga ingin kau punya kehidupan yang layak."
Air mata mulai menggenang di mata Jelita. "Tante Novi terlalu baik. Aku merasa seperti penghancur rumah tangga kalian."
"Sssh," Bambang menggeleng pelan. "Jangan pernah berpikir seperti itu. Kau tidak menghancurkan apa pun, Jelita. Kau justru melengkapi keluarga kami."
Jelita mengangguk pelan, mencoba menerima kata-kata Bambang meski hatinya masih berat.
"Mungkin sebaiknya Aku tidur sekarang, Paman," ujar Jelita akhirnya, merasa lelah secara emosional.
Bambang mengangguk. "Tentu. Istirahatlah." Ia bangkit dari ranjang, sosoknya yang tinggi memenuhi pandangan Jelita. "Selamat malam, Jelita."
"Selamat malam, Paman," balas Jelita.
Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun."Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," uj
"Mbak, boleh saya pamit sebentar? Saya ingin berkeliling kota, menenangkan pikiran."Jelita menghampiri Novita yang sedang menyiram tanaman di teras belakang. Novita menoleh, alisnya terangkat. "Berkeliling? Sendirian?""Iya, Mbak. Saya rasa saya butuh waktu sendiri sejenak," jawab Jelita pelan.Novita menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Baiklah. Tapi jangan pulang terlalu malam. Bambang tidak akan suka."Jelita mengangguk dan bergegas keluar rumah. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang mengikutinya hingga ia menghilang di balik pagar.Beberapa jam kemudian, Jelita kembali dengan taksi. Sopir taksi, seorang pria berkemeja biru muda, melirik Jelita dari kaca spion."Nona baik-baik saja?" tanyanya, membuyarkan lamunan Jelita.Jelita tersentak, berusaha tersenyum. "Oh, ya. Saya baik-baik saja.""Maaf kalau saya lancang, tapi Nona terlihat seperti sedang ada masalah," ujar pria paruh baya berambut putih itu.Jelita menghela napas. "Hanya sedikit lelah, Pak. Hari yang panjang.""A
"Kau bisa melakukan ini, Jelita," bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar.Jelita berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang mengenakan piyama merah muda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Malam ini adalah jadwal pertamanya tidur bersama Bambang, dan ia merasa sangat gugup.Dengan langkah ragu, Jelita membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar utama. Tangannya gemetar saat ia mengetuk pintu."Masuk," suara Bambang terdengar dari dalam.Jelita membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bambang sudah berbaring di tempat tidur, mengenakan piyama merah yang senada dengan miliknya."Hai," sapa Bambang lembut. "Kemarilah."Jelita mengangguk kaku dan berjalan ke sisi tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berani menatap Bambang."Jelita," Bambang berkata pelan. "Kau tidak perlu takut. Kita tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan."Jelita akhirnya memberanikan diri menatap Bambang. "Maaf, Bang.
"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No
"Nyonya Jelita, Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahim Anda dalam kondisi sangat sehat," ujar Dokter Amelia dengan senyum lembut. "Dan berdasarkan siklus Anda, masa subur Anda dimulai hari ini."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ke arah Novita yang duduk di sampingnya, wajahnya sulit dibaca."Jadi... apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dok?" tanya Jelita dengan suara pelan.Dokter Amelia menjelaskan dengan hati-hati, "Untuk memaksimalkan peluang kehamilan, saya sarankan Anda dan suami Anda... um, berusaha mulai malam ini. Masa subur biasanya berlangsung sekitar 5-6 hari, jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin."Novita berdehem pelan, membuat Jelita dan Dokter Amelia menoleh ke arahnya. "Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Dokter?" tanyanya dengan nada datar."Tentu, Nyonya Novita. Saya sarankan Jelita untuk mengurangi stres, menjaga pola makan yang sehat, dan berolahraga ringan secara teratur. Semua ini akan membantu meningkatkan peluang keham
"Kau siap?" tanya Bambang pelan.Jelita mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat gugup. "Iya, Bang."Bambang mengernyitkan dahinya “Apa kau yakin? Aku tidak akan memaksa.”“Aku yakin, Bang.”Mereka saling bertatapan. Perlahan, Bambang merapatkan dirinya lebih dekat dengan Jelita. Mereka berbagi ciuman lembut. Tangan kekar Bambang menyentuh pipi Jelita. Wajah Jelita pun mulai memanas.Ciuman yang tadinya lembut, berubah menjadi lumatan. Jelita mencengkeram lengan Bambang, sedangkan tangan Bambang sibuk bergerilya menyentuh ke seluruh bagian sensitif tubuh Jelita.“Aahh, Bang.” desahan Jelita menyeruak ke seluruh ruangan.Kini, posisi Bambang sudah berada di atas tubuh Jelita. Satu per satu gaun tidur yang dikenakan Jelita terlepas. Bambang memandangi tubuh Jelita tanpa satu helai kain sambil melepas pakaian yang ia kenakan.“Aku malu, Bang.” Ucap Jelita sambil berusaha menutupi tubuhnya.“Tak perlu malu, Jelita.” Bujuk Bambang sambil mel
“Ayo Jelita, Novita, kita ke taman belakang. Udara pagi bagus untuk... kesehatan." kata Bambang sambil beranjak dari kursinya.Jelita mengangguk. "Baik, Bang."Novita tak menjawab. Dia berjalan di belakang Bambang. Mengikuti ke mana suaminya itu pergi.Saat Jelita dan Novita duduk di taman belakang, suasana kembali menegang. Novita memulai percakapan dengan nada yang terdengar ringan, namun ada ketajaman tersembunyi di dalamnya."Jadi, Jelita," Novita memulai, "bagaimana rasanya semalam?"Jelita terkesiap, wajahnya memerah. "M-Mbak, aku...""Apa? Kita sesama istri kan? Wajar kalau kita berbagi cerita," Novita tersenyum, tapi matanya tidak.