"Kau siap?" tanya Bambang pelan.
Jelita mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat gugup. "Iya, Bang."Bambang mengernyitkan dahinya “Apa kau yakin? Aku tidak akan memaksa.”“Aku yakin, Bang.”Mereka saling bertatapan. Perlahan, Bambang merapatkan dirinya lebih dekat dengan Jelita. Mereka berbagi ciuman lembut. Tangan kekar Bambang menyentuh pipi Jelita. Wajah Jelita pun mulai memanas.Ciuman yang tadinya lembut, berubah menjadi lumatan. Jelita mencengkeram lengan Bambang, sedangkan tangan Bambang sibuk bergerilya menyentuh ke seluruh bagian sensitif tubuh Jelita.“Aahh, Bang.” desahan Jelita menyeruak ke seluruh ruangan.Kini, posisi Bambang sudah berada di atas tubuh Jelita. Satu per satu gaun tidur yang dikenakan Jelita terlepas. Bambang memandangi tubuh Jelita tanpa satu helai kain sambil melepas pakaian yang ia kenakan.“Aku malu, Bang.” Ucap Jelita sambil berusaha menutupi tubuhnya.“Tak perlu malu, Jelita.” Bujuk Bambang sambil mel“Ayo Jelita, Novita, kita ke taman belakang. Udara pagi bagus untuk... kesehatan." kata Bambang sambil beranjak dari kursinya.Jelita mengangguk. "Baik, Bang."Novita tak menjawab. Dia berjalan di belakang Bambang. Mengikuti ke mana suaminya itu pergi.Saat Jelita dan Novita duduk di taman belakang, suasana kembali menegang. Novita memulai percakapan dengan nada yang terdengar ringan, namun ada ketajaman tersembunyi di dalamnya."Jadi, Jelita," Novita memulai, "bagaimana rasanya semalam?"Jelita terkesiap, wajahnya memerah. "M-Mbak, aku...""Apa? Kita sesama istri kan? Wajar kalau kita berbagi cerita," Novita tersenyum, tapi matanya tidak.
Jelita menatap punggung Bambang yang menjauh, mengejar Novita yang bergegas masuk ke dalam rumah. Ia terduduk lemas di kursi taman, air mata mulai mengalir di pipinya. Suara-suara Novita masih terngiang di telinganya, menusuk hatinya seperti ribuan jarum."Kau hanya alat demi memenuhi kebutuhanku untuk memiliki keturunan. Ingat itu!"Kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya merasa kecil dan tidak berharga. Dengan langkah gontai, Jelita akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya.Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh seketika. Ia merosot ke lantai, bersandar pada pintu, dan membiarkan isak tangisnya pecah.Tubuhnya bergetar hebat saat ia memeluk lututnya, mencoba meredam suara tangisannya agar tid
Malam itu, Jelita menatap kalender di dinding kamarnya dengan perasaan campur aduk. Lingkaran merah menandai hari-hari yang dianggap sebagai masa subur-nya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat."Ini demi keluarga," bisiknya pada diri sendiri, sebuah mantra yang terus diulangnya sejak hari pernikahannya dengan Bambang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya."Jelita? Boleh aku masuk?" suara Bambang terdengar dari balik pintu."Ya, Bang. Silakan," jawab Jelita, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergemuruh.Bambang melangkah masuk, senyum hangat menghiasi wajahnya yang mulai menua. "Bagaimana kabarmu hari ini?"Jelita mencob
Jelita menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tangannya dengan perasaan campur aduk. Shock, takut, dan sedikit... bahagia? Jelita tidak yakin. Yang ia tahu, ini terjadi jauh lebih cepat dari yang mereka semua perkirakan."Bagaimana mungkin?" bisik Jelita pada dirinya sendiri, masih tidak percaya.Baru dua bulan sejak pernikahannya dengan Bambang, dan kini Jelita mengandung anak mereka. Anak yang seharusnya menjadi jawaban atas semua masalah ini. Tapi mengapa Jelita merasa begitu takut?Dengan tangan gemetar, Jelita keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana Jelita harus memberitahu Bambang? Dan yang lebih menakutkan lagi, bagaimana reaksi Novita nanti?Suara ketukan di pintu membuat Jelita terlonjak.
Malam harinya, Novita mengundang ayahnya, Roni Baskara, untuk makan malam bersama. Ia berniat mengungkapkan soal kehamilan Jelita dan meminta dukungan ayahnya. Bambang sebenarnya kurang setuju dengan rencana Novita, tapi ia tidak bisa menolak keinginan istrinya itu.Saat makan malam dimulai, suasana di ruang makan terasa tegang. Selain Bambang, Novita, dan Jelita, undangan Novita juga dihadiri oleh orang tua Jelita - Ratna dan Hendra.Roni Baskara, sang ayah Novita sekaligus kakek dari Jelita, duduk di ujung meja dengan wajah tegas. Matanya memindai satu per satu orang yang ada di sana, seolah menilai mereka."Jadi, apa yang ingin kausampaikan, Novita?" tanya Roni dengan nada datar.Novita menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ayah, aku ingin mengungkapkan se
Jelita berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Makan malam tadi terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia mengelus perutnya yang masih rata."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya lembut. "Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti."Tiba-tiba, Jelita merasa tenggorokannya kering. Ia memutuskan untuk turun ke dapur mengambil segelas air. Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu.Saat Jelita hendak menuruni tangga, ia mendengar suara-suara dari arah ruang makan. Jelita mengenali suara itu sebagai suara Bambang dan Novita. Ia berhenti, ragu apakah harus melanjutkan langkahnya atau kembali ke kamar."Bang, kau harus mengerti posisimu!" Suara Novita terdengar tajam. "Aku istrimu yang sah, y
Jelita tertegun mendengar permintaan Novita. Ia tak menyangka Novita akan memintanya untuk menyerahkan anak yang dikandungnya begitu lahir nanti. Namun, Jelita tahu bahwa ini bukan waktunya untuk membantah. Situasi ini sudah sangat rumit dan membutuhkan penyelesaian yang hati-hati."Mbak Novita, aku..." Jelita berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak bisa berjanji begitu saja. Anak ini adalah darah dagingku juga."Novita menghela napas panjang. "Aku tahu, Jelita. Tapi kau harus mengerti posisiku juga. Anak ini adalah pewaris Baskara Group. Masa depannya harus terjamin."Bambang yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Sayang, kupikir kita perlu membicarakan ini baik-baik. Jangan terburu-buru mengambil keputusan."Novita menatap Bambang tajam. "Kau tidak menge
Jelita membuka matanya perlahan, sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengingat kembali perdebatan sengit yang terjadi semalam. Perutnya yang mulai membuncit terasa sedikit kram, mungkin efek dari stres yang ia alami. Namun, Jelita berusaha mengenyahkan pikiran negatif itu dan memutuskan untuk memulai harinya dengan lebih positif.Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Jelita memutuskan untuk membantu Bi Inah di dapur. Mungkin dengan melakukan aktivitas ringan, pikirannya bisa sedikit teralihkan dari masalah yang sedang dihadapinya.Ketika Jelita memasuki dapur, aroma sedap masakan Bi Inah langsung menyambutnya. Wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran ketika menyadari kehadiran Jelita.