Jelita menatap bayangannya di cermin besar yang menghiasi ruang tunggu pengantin. Kebaya putih mewah membalut tubuhnya yang ramping, namun wajahnya yang cantik tampak pucat. Jari-jarinya yang lentik bergetar saat ia mencoba merapikan hiasan rambutnya untuk kesekian kalinya.
"Tenang, Jelita. Kamu bisa melakukan ini," bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar. "Ini adalah hari bahagiamu. Kamu akan menjadi seorang istri."
Namun kenyataan yang tak terucap menghantui pikirannya: ia akan menjadi istri kedua dari Bambang, yang tak lain adalah suami dari Novita. Seorang pria berusia 45 tahun, dua puluh tahun lebih tua darinya.
Novita adalah kakak dari ibu Jelita sekaligus pewaris tunggal dari Baskara Group. Perusahaan besar dan terkenal di pusat kota Jakarta. Saat Novita berusia 5 tahun, orang tuanya mengangkat seorang anak perempuan dari sebuah panti asuhan di pusat kota.
Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Paman Bambang adalah pamanmu. Dia akan menjagamu dengan baik. Kamu tidak perlu takut," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka. Seorang wanita berpakaian rapi melangkah masuk dengan senyum profesional di wajahnya.
"Nona Jelita? Saya dari tim WO. Apakah Anda sudah siap? Ijab Qobul akan dimulai dalam 15 menit lagi," ujarnya dengan nada riang.
Jelita tersentak dari lamunannya. "Oh, um... bisakah saya diberi waktu sebentar lagi?" pintanya dengan suara pelan.
Wanita itu mengerutkan keningnya sedikit, namun tetap tersenyum. "Tentu, Nona. Tapi mohon jangan terlalu lama. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan."
"Baik, terima kasih," jawab Jelita singkat.
Setelah Wanita itu keluar, Jelita kembali menatap cermin. Ia melihat bayangan seorang gadis muda yang seharusnya penuh semangat dan harapan di hari pernikahannya. Namun, yang ia lihat hanyalah keraguan dan ketakutan.
"Apa yang sedang kulakukan?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Apakah ini benar-benar yang kuinginkan?"
Pikirannya melayang pada percakapan dengan ibunya beberapa minggu lalu.
"Jelita sayang, pernikahan ini adalah kesempatan yang bagus," kata ibunya waktu itu. "Pamanmu adalah yang baik. Dan Tante Novita bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu."
"Tapi Bu, aku bahkan belum mengenalnya dengan baik," Jelita berargumen. "Dan dia adalah suami dari Tanteku..."
"Justru itu, kamu tidak perlu khawatir. Tante Novita akan membimbingmu dengan baik.” ujar ibu Jelita sambil mengelus rambut semata wayangnya itu.
“Tapi, bu…”
“Kamu hanya perlu memberikan keturunan untuk Tantemu, nak."
Jelita menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir ingatan itu. Ia tahu ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi apakah ini benar-benar yang terbaik?
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Jelita? Boleh aku masuk?" terdengar suara wanita berkebaya Lavender dari balik pintu.
"Ya, Tante. Masuk saja," jawab Jelita pelan.
Dia adalah Novita ‘Tante Jelita sekaligus Istri pertama Bambang’ melangkah masuk, wajahnya berseri-seri melihat Jelita dalam balutan kebaya pengantin. "Oh, kamu cantik sekali," ujarnya terharu.
Jelita mencoba tersenyum, namun air matanya mulai menggenang. "Tante... aku takut," bisiknya.
Novita menghampiri dan memeluknya erat. "Sssh, tidak apa-apa, sayang. Wajar kalau kamu merasa gugup. Ini hari besar dalam hidupmu."
"Tapi Tante, apa ini benar-benar yang terbaik Tante dan Paman? Menjadi istri kedua..." Jelita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Tantenya melepaskan pelukan dan memegang pundak Jelita. "Dengar, Sayang. Aku tahu ini bukan situasi ideal. Tapi percayalah, keputusanku ini bukan sembarangan. Ini semua kulakukan untuk Baskara Group. Dan juga, ini semua demi orang tuamu, bukan?”
Jelita terdiam, air matanya mulai jatuh. "Tapi Tante…”
Novita menghela napas panjang. “Setelah pernikahan ini, hutang orang tuamu akan kuanggap lunas. Dan juga, hanya kamu yang bisa memberikan keturunan untukku dan Bambang. Bukankah itu yang kita semua inginkan?"
Sebelum Jelita bisa menjawab, terdengar ketukan lagi di pintu. Tim WO, kembali masuk.
"Maaf mengganggu, tapi kita harus segera bersiap. Para tamu sudah menunggu," ujarnya dengan nada sedikit mendesak.
Novita mengangguk. "Baik, kami akan segera siap. Beri kami lima menit lagi," pintanya pada Wanita itu.
Setelah Wanita itu keluar, Novita kembali menatapnya. "Nah, sekarang hapus air matamu. Kita tidak ingin merusak riasanmu yang cantik ini, kan?"
Dengan tangan gemetar, Jelita menghapus air matanya. "Tante..."
"Sssh, jangan berpikir terlalu banyak. Ini adalah langkah besar menuju masa depan yang lebih baik. Percayalah padaku," ujar wanita bersanggul itu sambil membantu merapikan gaun Jelita.
Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menatap bayangannya di cermin sekali lagi. Seorang pengantin cantik balas menatapnya, namun matanya menyiratkan keraguan yang mendalam.
Novita tersenyum lega. "Itu baru keponakanku. Ayo, jangan buat Bambang menunggu terlalu lama."
Dengan langkah berat, Jelita berjalan menuju pintu. Setiap langkah terasa seperti membawanya menjauh dari impian dan harapannya sendiri. Namun ia terus melangkah, membawa beban ekspektasi keluarga di pundaknya.
Saat pintu ruang tunggu terbuka, Jelita mendengar alunan musik pernikahan mulai mengalun. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, sebuah babak yang penuh ketidakpastian. Namun bagi dunia luar, ini adalah hari bahagia seorang pengantin cantik yang akan menikah dengan pria mapan dan terpandang.
Jelita melangkah keluar, memasang senyum palsu di wajahnya. Hari ini, ia akan menjadi istri kedua dari Bambang, pria yang tidak dicintainya. Dan dengan itu, ia mengubur dalam-dalam impian gadis muda yang pernah bermimpi tentang cinta sejati dan pernikahan bahagia.
"Kau cantik sekali, Nak," bisik ayahnya dengan bangga. "Lihat, semua orang terpesona melihatmu."Jelita hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Ayah," balasnya lirih.Setiap langkah terasa seperti beban berat bagi Jelita. Ia melihat ke depan, ke arah meja Akad Nikah di mana Bambang, calon suaminya, duduk menunggu bersama penghulu. Wajahnya menampilkan senyum, tapi Jelita bisa melihat ketegangan di baliknya."Ayah," Jelita berbisik, suaranya bergetar. "Apa... apa ini benar-benar yang terbaik untukku?"Ayahnya mengeratkan genggamannya. "Tentu saja, Sayang. Bambang adalah pria hebat. Dia akan memberikan kehidupan yang layak untukmu."Jelita menelan ludah, berusaha menahan air matanya.Sepanjang perjalanan menuju ke meja Akad Nikah, Jelita mengingat betul bagaimana tujuh tahun lalu Novita membantu keluarganya dulu di tengah krisis hebat. Ayahnya, Hendra, seorang pengusaha properti yang cukup sukses, tiba-tiba jatuh sakit. Stroke yang menyerangnya memaksa pria paruh baya itu terbaring
Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap."Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki."Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.Jelita m
Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis."Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun."Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun ha
Mentari pagi mengintip malu-malu melalui celah tirai, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Namun, kesadaran segera menghantamnya - ini adalah hari pertamanya sebagai istri kedua Bambang.Dengan langkah berat, Jelita turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menuntunnya ke ruang makan. Di sana, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya sakit.Bambang dan Novita duduk berdampingan di meja makan, terlihat begitu serasi dan intim. Novita sedang menuangkan kopi untuk Bambang, sementara pria itu membacakan berita dari tabletnya. Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang telah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun."Selamat pagi," sapa Jelita lirih, merasa seperti penyusup dalam adegan romantis itu.Bambang dan Novita menoleh bersamaan. "Ah, selamat pagi, Jelita," sambut Bambang dengan senyum hangat. "Ayo, bergabunglah dengan kami."Novita bangkit, menarik kursi di sebelahnya. "Duduklah di sini, sayang," uj
"Mbak, boleh saya pamit sebentar? Saya ingin berkeliling kota, menenangkan pikiran."Jelita menghampiri Novita yang sedang menyiram tanaman di teras belakang. Novita menoleh, alisnya terangkat. "Berkeliling? Sendirian?""Iya, Mbak. Saya rasa saya butuh waktu sendiri sejenak," jawab Jelita pelan.Novita menatap Jelita dengan pandangan menyelidik. "Baiklah. Tapi jangan pulang terlalu malam. Bambang tidak akan suka."Jelita mengangguk dan bergegas keluar rumah. Ia bisa merasakan tatapan Novita yang mengikutinya hingga ia menghilang di balik pagar.Beberapa jam kemudian, Jelita kembali dengan taksi. Sopir taksi, seorang pria berkemeja biru muda, melirik Jelita dari kaca spion."Nona baik-baik saja?" tanyanya, membuyarkan lamunan Jelita.Jelita tersentak, berusaha tersenyum. "Oh, ya. Saya baik-baik saja.""Maaf kalau saya lancang, tapi Nona terlihat seperti sedang ada masalah," ujar pria paruh baya berambut putih itu.Jelita menghela napas. "Hanya sedikit lelah, Pak. Hari yang panjang.""A
"Kau bisa melakukan ini, Jelita," bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar.Jelita berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang mengenakan piyama merah muda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Malam ini adalah jadwal pertamanya tidur bersama Bambang, dan ia merasa sangat gugup.Dengan langkah ragu, Jelita membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar utama. Tangannya gemetar saat ia mengetuk pintu."Masuk," suara Bambang terdengar dari dalam.Jelita membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bambang sudah berbaring di tempat tidur, mengenakan piyama merah yang senada dengan miliknya."Hai," sapa Bambang lembut. "Kemarilah."Jelita mengangguk kaku dan berjalan ke sisi tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berani menatap Bambang."Jelita," Bambang berkata pelan. "Kau tidak perlu takut. Kita tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan."Jelita akhirnya memberanikan diri menatap Bambang. "Maaf, Bang.
"Selamat pagi, Mbak Novi, Bi Inah," sapa Jelita pelan saat memasuki dapur. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, mengingatkannya bahwa Jelita bangun terlambat pagi ini setelah semalam sempat terjaga karena ada Bambang yang tidur di sampingnya.Novita menoleh, matanya menyipit saat melihatku. "Oh, akhirnya kau bangun juga, Jelita. Kupikir kau akan tidur sampai siang."Jelita merasakan pipinya memanas. "Maaf, Mbak. Semalam aku...""Semalam kau sibuk dengan suamiku, aku tahu," potong Novita cepat, suaranya terdengar getir. "Tapi bukan berarti kau bisa melupakan kewajibanmu di rumah ini."Bi Inah, yang sedang mengaduk sesuatu di kompor, melirik Jelita dengan cemas. "Sudah, sudah. Nyonya Jelita pasti masih lelah. Biar saya yang urus sarapan pagi ini.""Bukan itu masalahnya, Bi," Novita menghela napas panjang. "Jelita harus belajar tanggung jawabnya sebagai istri di rumah ini."Jelita menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Semalam memang malam pertamanya tidur dengan Bambang s
"Jelita, kau sudah siap?" suara Novita terdengar dari luar kamar Jelita, nada bicaranya datar dan dingin.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Iya, Mbak. Aku sudah siap," jawabnya sambil membuka pintu.Novita berdiri di hadapan Jelita, tatapannya menilai dari atas ke bawah. "Baiklah, ayo kita berangkat. Dokter Amelia tidak suka pasiennya terlambat."Jelita dan Novita berjalan dalam diam menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Sopir membukakan pintu untuk mereka Suasana di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka berdua.Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Jelita memberanikan diri untuk berbicara. "Mbak, boleh saya bertanya sesuatu?"No