Paramedis bergegas menghampiri Faris, memberikan pertolongan pertama pada lukanya. Sementara itu, polisi membawa si penculik ke mobil tahanan.
Ketika cahaya lampu mobil polisi menerangi wajah si penculik, Bambang terkesiap. "Tunggu... aku mengenalnya!"Novita menoleh cepat. "Siapa dia, Bang?"Bambang menatap si penculik dengan campuran kemarahan dan ketidakpercayaan. "Dia... Gunawan Wijaya. Pesaing lama Baskara Group. Dulu dia nyaris berhasil mengambil alih perusahaan kita, tapi gagal di detik-detik terakhir."Jelita, yang masih gemetar dalam pelukan Bambang, mengangkat wajahnya. "Jadi... semua ini karena dendam bisnis?"Bambang mengangguk pelan. "Sepertinya begitu. Tapi kenapa harus melibatkanmu, Jelita? Kenapa harus membahayakan bayiku?"Si penculik, Gunawan, tertawa getir dari dalam mobil polisi. "Karena itu satu-satunya cara untuk menghancurkan kalian, Baskara! Mengambil penerus kalian, menghancurkan masa depan Baskara Group!"Novita melangkah maju, mSinar mentari pagi menembus tirai jendela rumah sakit, menerangi ruangan tempat Jelita dirawat. Suasana tenang, kontras dengan kekacauan yang mereka alami semalam. Jelita berbaring di ranjang, sementara Faris duduk di kursi roda di sampingnya. Keduanya tampak lelah, namun ada kelegaan yang terpancar dari wajah mereka."Bagaimana keadaanmu, Jel?" tanya Faris, memecah keheningan.Jelita tersenyum lemah. "Baik. Dokter bilang bayiku juga baik-baik saja. Syukurlah." Ia menatap pundak Faris yang dibalut perban. "Kau sendiri? Masih sakit?"Faris menggeleng. "Tidak seberapa. Aku lebih khawatir padamu."Hening sejenak. Faris tampak gelisah, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu."Jel," akhirnya Faris bersuara. "Ada... ada yang ingin kukatakan padamu."Jelita menoleh, menatap Faris dengan penasaran. "Apa itu?"Faris menarik napas dalam. "Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi setelah apa yang terjadi semalam, aku sadar bahwa hidup ini singkat. Ada ha
Keesokan harinya, sinar mentari pagi kembali menerangi kamar rumah sakit tempat Jelita dirawat. Suasana terasa lebih ringan dibandingkan hari sebelumnya.Dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Jelita dan memberikan kabar gembira bahwa ia sudah diperbolehkan pulang.Novita, yang sejak pagi sudah berada di rumah sakit untuk menjemput Jelita, tersenyum ringan mendengar kabar tersebut. Ia segera membantu Jelita bersiap-siap, sementara Bambang mengurus administrasi rumah sakit."Syukurlah kamu sudah boleh pulang, Jel," ucap Novita sambil membantu Jelita mengemasi barang-barangnya. "Kau tahu kan, kami semua sangat khawatir."Jelita menunduk. "Terima kasih, Mbak Novi. Maaf sudah membuat kalian cemas."Saat mereka sedang bersiap-siap, Faris muncul di pintu kamar. "Kudengar kau sudah boleh pulang, Jel?" tanyanya dengan senyum lega.Jelita mengangguk. "Iya, Kak. Dokter bilang kondisiku dan bayiku sudah stabil."Novita menatap Faris, kemudian beralih ke Jelita.
"Jel, aku baru ingat sesuatu," ujar Faris tiba-tiba, memecah keheningan di taman belakang rumah keluarga Baskara.Jelita menoleh, menatap Faris dengan pandangan bertanya. "Apa itu, Kak?"Faris tersenyum misterius. "Tunggu sebentar ya." Ia bangkit dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jelita yang kebingungan.Beberapa saat kemudian, Faris kembali dengan sebuah bingkisan di tangannya. "Ini," katanya sambil menyerahkan bingkisan itu kepada Jelita. "Sebenarnya aku membawa ini saat... yah, saat insiden itu terjadi."Jelita menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu. "Apa ini, Kak?""Bukalah," jawab Faris, senyum masih tersungging di wajahnya.Dengan hati-hati, Jelita membuka bingkisan itu. Matanya melebar saat melihat isinya. "Ini...""Baju couple untuk kamu dan bayimu," Faris menjelaskan. "Bergambar gajah lucu. Kamu masih menyukai gajah kan?"Jelita mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Tentu saja masih, Kak. Tapi... bagaimana kak
"Wah, lihat baju hamil itu, Kak! Bagus sekali," seru Jelita dengan mata berbinar-binar.Faris mengikuti arah pandang Jelita. Mereka baru saja tiba di pusat perbelanjaan kota dan langsung menuju ke sebuah toko pakaian ibu hamil."Iya, bagus," Faris mengangguk setuju. "Kamu mau mencobanya?"Jelita mengangguk antusias. Seorang pelayan toko, wanita paruh baya dengan senyum ramah, menghampiri mereka."Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu."Ah, iya," jawab Jelita. "Saya ingin mencoba baju hamil yang di sana itu."Pelayan itu mengangguk dan mengambilkan baju yang ditunjuk Jelita. "Silakan, ruang ganti ada di sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah pojok toko.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian, Kak Faris," ujar Jelita dengan senyum lembut saat mereka tiba di depan kediaman Baskara. Langit sudah mulai menggelap, memberi tanda bahwa hari telah beranjak petang.Faris mengangguk, membalas senyuman Jelita. "Sama-sama, Jel. Aku senang bisa menemanimu hari ini."Jelita turun dari mobil, diikuti oleh Faris yang membantunya membawakan beberapa tas belanjaan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu depan rumah megah itu.Mereka masuk ke dalam rumah. Jelita langsung menuju ke kamarnya, sementara Faris masih duduk di ruang tamu. Ia memandang sekeliling, mengamati interior mewah kediaman Baskara yang selalu membuatnya merasa tertegun.Tak lama kemudian, Bambang muncul dari arah ruang kerja. Matanya menyipit saat melihat Faris duduk s
"Jelita." Suara dingin Novita terdengar dari balik pintu kamar, disusul dengan ketukan keras yang mengejutkan.Jelita tersentak dari lamunannya, cepat-cepat menghapus sisa air mata. "Ya, Mbak. Silakan masuk."Pintu terbuka, dan Novita melangkah masuk dengan wajah kaku. Matanya yang tajam langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada tas-tas belanjaan di lantai sebelum akhirnya menatap Jelita dengan pandangan menilai."Kulihat kau habis berbelanja," ujar Novita datar, tanpa nada ketertarikan sedikit pun.Jelita mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Beberapa perlengkapan untukku."Novita mendengus pelan. "Hmm. Setidaknya kau mulai mempersiapkan diri untuk peranmu."
Pagi itu, mentari bersinar redup, seolah enggan menyambut hari yang akan datang. Faris berdiri di ruang tamu kediaman Baskara, tas travel kecil di sampingnya. Ia telah memutuskan untuk kembali ke apartemennya, meski hatinya berat meninggalkan Jelita."Saya pamit, Bu Novita, Pak Bambang," ujar Faris dengan sopan, mengangguk kepada pasangan Baskara yang berdiri di hadapannya.Novita mengangguk singkat, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hati-hati di jalan, Faris."Bambang, di sisi lain, hanya menatap Faris dengan dingin, tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di antara mereka terasa begitu pekat, seolah bisa dipotong dengan pisau.Jelita berdiri di samping Bambang, matanya berkaca-kaca. "Kak Faris..." bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis.Faris tersenyum lembut pada Jelita. "Jaga dirimu baik-baik, Jel. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup."Jelita mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Ia ingin berlari, memeluk Faris dan memintanya untuk tinggal. Namun, ke
Suasana di kediaman Baskara berubah drastis setelah kepergian Faris. Jelita merasakan kekosongan yang menyelimuti rumah besar itu, seolah cahaya terakhir yang menerangi hidupnya telah padam. Ia kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari tanpa kehadiran Faris.Namun, belum sempat Jelita benar-benar menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Bambang masuk dengan wajah merah padam, matanya menyala-nyala penuh amarah."Apa-apaan yang tadi itu?" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Jelita tersentak kaget, tubuhnya gemetar menghadapi kemarahan Bambang. "A-apa maksudnya, Bang?"Bambang mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Jangan pura-pura bodoh! Aku melihat semuanya. Pelukan itu, ciuman itu..