Jelita tersentak dari lamunannya, cepat-cepat menghapus sisa air mata. "Ya, Mbak. Silakan masuk."
Pintu terbuka, dan Novita melangkah masuk dengan wajah kaku. Matanya yang tajam langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada tas-tas belanjaan di lantai sebelum akhirnya menatap Jelita dengan pandangan menilai.
"Kulihat kau habis berbelanja," ujar Novita datar, tanpa nada ketertarikan sedikit pun.
Jelita mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Beberapa perlengkapan untukku."
Novita mendengus pelan. "Hmm. Setidaknya kau mulai mempersiapkan diri untuk peranmu."
Pagi itu, mentari bersinar redup, seolah enggan menyambut hari yang akan datang. Faris berdiri di ruang tamu kediaman Baskara, tas travel kecil di sampingnya. Ia telah memutuskan untuk kembali ke apartemennya, meski hatinya berat meninggalkan Jelita."Saya pamit, Bu Novita, Pak Bambang," ujar Faris dengan sopan, mengangguk kepada pasangan Baskara yang berdiri di hadapannya.Novita mengangguk singkat, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hati-hati di jalan, Faris."Bambang, di sisi lain, hanya menatap Faris dengan dingin, tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di antara mereka terasa begitu pekat, seolah bisa dipotong dengan pisau.Jelita berdiri di samping Bambang, matanya berkaca-kaca. "Kak Faris..." bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis.Faris tersenyum lembut pada Jelita. "Jaga dirimu baik-baik, Jel. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup."Jelita mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Ia ingin berlari, memeluk Faris dan memintanya untuk tinggal. Namun, ke
Suasana di kediaman Baskara berubah drastis setelah kepergian Faris. Jelita merasakan kekosongan yang menyelimuti rumah besar itu, seolah cahaya terakhir yang menerangi hidupnya telah padam. Ia kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari tanpa kehadiran Faris.Namun, belum sempat Jelita benar-benar menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Bambang masuk dengan wajah merah padam, matanya menyala-nyala penuh amarah."Apa-apaan yang tadi itu?" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Jelita tersentak kaget, tubuhnya gemetar menghadapi kemarahan Bambang. "A-apa maksudnya, Bang?"Bambang mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Jangan pura-pura bodoh! Aku melihat semuanya. Pelukan itu, ciuman itu..
"Jelita, ayo makan dulu," suara Bi Inah, pelayan setia keluarga Baskara, terdengar lembut dari balik pintu kamar.Jelita berbaring menyamping di ranjangnya, matanya kosong menatap jendela. "Nanti saja, Bi. Aku belum lapar," jawabnya pelan.Bibi Inah menghela nafas panjang. Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Faris, dan selama itu pula Jelita seolah kehilangan semangat hidupnya. Perutnya yang semakin membesar seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, namun justru semakin menambah beban di pundaknya.Hari-hari Jelita dipenuhi dengan kesedihan dan kekosongan. Ia jarang keluar kamar, hanya sesekali turun untuk makan atau check-up rutin kehamilannya. Bambang dan Novita pun semakin jarang berinteraksi dengannya, seolah Jelita hanyalah wadah yang harus dijaga sampai saatnya tiba.
"Selamat pagi, Jelita," suara Novita memecah keheningan pagi itu, membuat Jelita tersentak dari lamunannya. "Sudah waktunya."Jelita menatap Novita dengan mata sembab, tangannya masih erat mendekap bayi mungil yang tertidur lelap di pelukannya. "Mbak, kumohon... beri aku waktu sedikit lagi," pintanya dengan suara bergetar.Novita menggeleng tegas. "Kita sudah sepakat, Jelita. Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang, biarkan kami yang mengambil alih."Air mata kembali mengalir di pipi Jelita saat ia mencium kening bayinya untuk terakhir kali. "Ibu mencintaimu, sayang," bisiknya lirih. "Selalu."Dengan hati yang hancur, Jelita menyerahkan bayinya kepada Novita. Saat tangan mungil itu terlepas dari genggamannya, Jelita merasakan sebagian dari dirinya ikut terenggut.Novita menggendong bayi itu dengan canggung, seolah tidak terbiasa dengan kehangatan makhluk mungil di pelukannya. "Dia akan mendapatkan yang terbaik, Jelita. Percayalah."Jelita hanya bisa mengangguk lemah, matany
"Selamat datang, Ayah," sapa Novita dengan senyum lebar, menyambut ayahnya yang baru saja tiba di kediaman mewah keluarga Baskara. "Kami sangat senang Ayah bisa hadir di acara istimewa ini."Roni Baskara, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, mengangguk puas. "Tentu saja, Novita. Ini adalah momen yang sangat penting bagi keluarga kita. Kelahiran penerus Baskara harus dirayakan dengan semestinya."Bambang yang berdiri di samping Novita ikut menyambut, "Selamat datang, Ayah. Mari, silakan masuk. Para tamu sudah mulai berdatangan."Kediaman Baskara telah disulap menjadi venue pesta yang mewah dan elegan. Rangkaian bunga segar menghiasi setiap sudut, aroma harum pengharum ruangan bercampur dengan wangi hidangan lezat yang telah disiapkan. Para pelayan berseragam rapi hilir mudik melayani tamu undangan yang mulai me
Malam telah larut ketika Jelita duduk di tepi ranjangnya, tangannya memegang botol berisi ASI yang baru saja ia pompa. Matanya menatap kosong ke arah pintu, membayangkan kamar Raditya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada."Bi Inah," panggil Jelita pelan. "Bisakah kau memberikan ini kepada pengasuh Radit?"Bi Inah mengangguk, mengambil botol itu dari tangan Jelita. "Baik, Nona. Akan saya antarkan sekarang."Sebelum Bi Inah keluar, Jelita menahan tangannya. "Bi, bisakah... bisakah kau memberitahuku bagaimana keadaan Radit? Apakah dia sudah tidur?"Raut wajah Bi Inah melembut, ia bisa merasakan kerinduan yang mendalam dari suara Jelita. "Baiklah, Nona. Saya akan mengeceknya sekalian."Beberapa menit kemudian,
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai jendela, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia terdiam, mencoba mengingat mimpi indah yang baru saja ia alami—mimpi di mana ia bisa memeluk dan menimang Raditya sepuasnya.Namun, kenyataan yang pahit segera menghantamnya kembali. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru yang penuh tantangan.Setelah bersiap-siap, Jelita melangkah keluar kamar. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara masih sepi, hanya terdengar sayup-sayup suara para pelayan yang mulai beraktivitas di dapur.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke depan pintu kamar Raditya. Ia berhenti sejenak, tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu namun ragu. Akhirnya, dengan berat hati, ia menurunkan tangannya dan berbal
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari yang ditunggu-tunggu sekaligus ditakuti oleh Jelita pun tiba. Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara sudah riuh sejak subuh.Para pelayan sibuk mondar-mandir, memastikan segala sesuatunya sempurna untuk acara besar nanti malam.Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Selama seminggu terakhir, ia telah menjalani berbagai pelatihan intensif.Dari cara berjalan yang anggun, cara makan yang elegan, hingga cara berbicara yang santun ala kalangan atas. Meskipun awalnya canggung dan sering melakukan kesalahan, Jelita ternyata cepat belajar.Para pengajarnya bahkan memuji kemampuan adaptasinya yang luar biasa."Nona Jelita," panggil Bi Inah sambil mengetuk pintu kamarnya. "Sudah waktunya bersiap-siap. Tim rias akan datang sebentar lagi."Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. "Baik, Bi. Aku akan segera keluar."Begitu Jelita membuka pintu, ia disambut oleh sekelompok wanita yang m