Halo, pembaca kesayangan <3 mohon maaf nih untuk hari ini sampai hari sabtu, author hanya update 1 bab per hari karena ada keperluan di luar. tapi tenang saja, untuk selanjutnya author usahakan untuk update 2-3 bab per hari, ya thankyou <3
"Selamat datang, Ayah," sapa Novita dengan senyum lebar, menyambut ayahnya yang baru saja tiba di kediaman mewah keluarga Baskara. "Kami sangat senang Ayah bisa hadir di acara istimewa ini."Roni Baskara, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, mengangguk puas. "Tentu saja, Novita. Ini adalah momen yang sangat penting bagi keluarga kita. Kelahiran penerus Baskara harus dirayakan dengan semestinya."Bambang yang berdiri di samping Novita ikut menyambut, "Selamat datang, Ayah. Mari, silakan masuk. Para tamu sudah mulai berdatangan."Kediaman Baskara telah disulap menjadi venue pesta yang mewah dan elegan. Rangkaian bunga segar menghiasi setiap sudut, aroma harum pengharum ruangan bercampur dengan wangi hidangan lezat yang telah disiapkan. Para pelayan berseragam rapi hilir mudik melayani tamu undangan yang mulai me
Malam telah larut ketika Jelita duduk di tepi ranjangnya, tangannya memegang botol berisi ASI yang baru saja ia pompa. Matanya menatap kosong ke arah pintu, membayangkan kamar Raditya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada."Bi Inah," panggil Jelita pelan. "Bisakah kau memberikan ini kepada pengasuh Radit?"Bi Inah mengangguk, mengambil botol itu dari tangan Jelita. "Baik, Nona. Akan saya antarkan sekarang."Sebelum Bi Inah keluar, Jelita menahan tangannya. "Bi, bisakah... bisakah kau memberitahuku bagaimana keadaan Radit? Apakah dia sudah tidur?"Raut wajah Bi Inah melembut, ia bisa merasakan kerinduan yang mendalam dari suara Jelita. "Baiklah, Nona. Saya akan mengeceknya sekalian."Beberapa menit kemudian,
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai jendela, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia terdiam, mencoba mengingat mimpi indah yang baru saja ia alami—mimpi di mana ia bisa memeluk dan menimang Raditya sepuasnya.Namun, kenyataan yang pahit segera menghantamnya kembali. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru yang penuh tantangan.Setelah bersiap-siap, Jelita melangkah keluar kamar. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara masih sepi, hanya terdengar sayup-sayup suara para pelayan yang mulai beraktivitas di dapur.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke depan pintu kamar Raditya. Ia berhenti sejenak, tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu namun ragu. Akhirnya, dengan berat hati, ia menurunkan tangannya dan berbal
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari yang ditunggu-tunggu sekaligus ditakuti oleh Jelita pun tiba. Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara sudah riuh sejak subuh.Para pelayan sibuk mondar-mandir, memastikan segala sesuatunya sempurna untuk acara besar nanti malam.Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Selama seminggu terakhir, ia telah menjalani berbagai pelatihan intensif.Dari cara berjalan yang anggun, cara makan yang elegan, hingga cara berbicara yang santun ala kalangan atas. Meskipun awalnya canggung dan sering melakukan kesalahan, Jelita ternyata cepat belajar.Para pengajarnya bahkan memuji kemampuan adaptasinya yang luar biasa."Nona Jelita," panggil Bi Inah sambil mengetuk pintu kamarnya. "Sudah waktunya bersiap-siap. Tim rias akan datang sebentar lagi."Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. "Baik, Bi. Aku akan segera keluar."Begitu Jelita membuka pintu, ia disambut oleh sekelompok wanita yang m
Seiring berjalannya malam, suasana pesta semakin meriah. Para tamu berdansa di lantai dansa diiringi alunan musik orkestra yang memukau.Hidangan mewah terus mengalir, disajikan oleh para pramusaji berseragam rapi. Di tengah kemewahan itu, Jelita merasa seperti pengamat yang tak kasat mata, menyaksikan dunia yang begitu asing baginya.Beberapa kali ia hampir terjebak dalam percakapan yang sulit, namun berhasil mengelak dengan anggun berkat pelatihan intensif yang telah ia jalani.Namun, ketegangan terus menggerogoti batinnya. Setiap kali matanya bertemu pandang dengan Raditya—meski hanya sekilas—hatinya terasa diremas kuat-kuat."Ah, Nona Jelita," sebuah suara mengejutkannya. Jelita berbalik dan mendapati Hadi, rekan bisnis Bambang yang tadi dikenalkan padanya. "Sendirian saja?"Jelita tersenyum sopan, "Ah, ya Pak Hadi. Saya sedang menikmati suasana pesta yang meriah ini.""Bagus, bagus," Hadi mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong,
"Nona, Anda tampak sedikit pucat. Apakah Anda baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja bergabung dalam lingkaran kecil tempat Jelita berdiri.Jelita memaksakan senyum sopan, berusaha menyembunyikan gejolak emosi yang baru saja ia alami. "Ah, saya baik-baik saja, Bu. Mungkin hanya sedikit lelah dengan suasana pesta yang ramai.""Ah, saya mengerti. Pesta-pesta seperti ini memang bisa sangat melelahkan, terutama bagi orang yang tidak terbiasa," wanita itu mengangguk simpatik. "Ngomong-ngomong, saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Anda tamu baru dalam pesta ini?"Jelita mengangguk sopan. "Benar, Bu. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan ini adalah pesta pertama yang saya hadiri sejak kepulangan saya.""Oh, begitu rupanya. Pantas saja Anda terlihat sedikit canggung," wanita itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, Anda akan segera terbiasa. Ngomong-ngomong, saya Ibu Amelia, istri Pak Santoso dari Santoso Group. Boleh saya
Pesta mewah itu akhirnya mencapai penghujungnya. Satu per satu, para tamu undangan mulai berpamitan, meninggalkan ballroom yang tadinya dipenuhi gelak tawa dan alunan musik.Jelita, yang telah menjalani malam yang menegangkan, merasa lega sekaligus cemas. Ia berhasil melewati malam ini tanpa membongkar penyamarannya, namun entah berapa lama lagi ia bisa mempertahankan kebohongan ini.Bambang, dengan senyum diplomatis yang masih terpasang di wajahnya, menghampiri Jelita yang sedang berdiri di sudut ruangan. "Kau sudah siap untuk pulang?" tanyanya dengan suara pelan.Jelita mengangguk lemah. "Ya, aku rasa sudah waktunya kita pergi."Mereka berdua berjalan menuju tempat Novita berdiri, masih menggendong Raditya yang tertidur pulas. Melihat kedatangan mereka, Novita tersenyum, namun Jelita bisa melihat ketegangan di balik senyum itu."Sayang, aku rasa sudah waktunya kita pulang," ujar Bambang pada istrinya. "Raditya juga sudah tertidur pulas."Novita mengangguk setuju. "Baiklah, ayo kita p
"Raditya, sayang..." bisik Jelita lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan mungil putranya yang terbaring di box bayi.Pagi itu, Jelita terbangun lebih awal dari biasanya. Tidurnya tak nyenyak, dihantui mimpi-mimpi tentang Raditya. Ketika ia melangkah ke ruang tamu untuk menenangkan pikirannya, betapa terkejutnya ia mendapati box bayi Raditya ada di sana. Tanpa pikir panjang, ia mendekat, hatinya berdebar kencang.Raditya, seolah merasakan kehadiran ibunya, membuka matanya perlahan. Tatapan polosnya bertemu dengan mata Jelita yang berkaca-kaca. Tangan mungilnya bergerak, seakan mencari kehangatan yang familiar.Jelita tak kuasa menahan diri. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Raditya dengan lembut. Betapa terkejutnya ia ketika Raditya menggenggam jarinya erat, seolah tak ingin melepaskan.