"Nona, Anda tampak sedikit pucat. Apakah Anda baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja bergabung dalam lingkaran kecil tempat Jelita berdiri.
Jelita memaksakan senyum sopan, berusaha menyembunyikan gejolak emosi yang baru saja ia alami. "Ah, saya baik-baik saja, Bu. Mungkin hanya sedikit lelah dengan suasana pesta yang ramai.""Ah, saya mengerti. Pesta-pesta seperti ini memang bisa sangat melelahkan, terutama bagi orang yang tidak terbiasa," wanita itu mengangguk simpatik. "Ngomong-ngomong, saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Anda tamu baru dalam pesta ini?"Jelita mengangguk sopan. "Benar, Bu. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan ini adalah pesta pertama yang saya hadiri sejak kepulangan saya.""Oh, begitu rupanya. Pantas saja Anda terlihat sedikit canggung," wanita itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, Anda akan segera terbiasa. Ngomong-ngomong, saya Ibu Amelia, istri Pak Santoso dari Santoso Group. Boleh sayaPesta mewah itu akhirnya mencapai penghujungnya. Satu per satu, para tamu undangan mulai berpamitan, meninggalkan ballroom yang tadinya dipenuhi gelak tawa dan alunan musik.Jelita, yang telah menjalani malam yang menegangkan, merasa lega sekaligus cemas. Ia berhasil melewati malam ini tanpa membongkar penyamarannya, namun entah berapa lama lagi ia bisa mempertahankan kebohongan ini.Bambang, dengan senyum diplomatis yang masih terpasang di wajahnya, menghampiri Jelita yang sedang berdiri di sudut ruangan. "Kau sudah siap untuk pulang?" tanyanya dengan suara pelan.Jelita mengangguk lemah. "Ya, aku rasa sudah waktunya kita pergi."Mereka berdua berjalan menuju tempat Novita berdiri, masih menggendong Raditya yang tertidur pulas. Melihat kedatangan mereka, Novita tersenyum, namun Jelita bisa melihat ketegangan di balik senyum itu."Sayang, aku rasa sudah waktunya kita pulang," ujar Bambang pada istrinya. "Raditya juga sudah tertidur pulas."Novita mengangguk setuju. "Baiklah, ayo kita p
"Raditya, sayang..." bisik Jelita lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan mungil putranya yang terbaring di box bayi.Pagi itu, Jelita terbangun lebih awal dari biasanya. Tidurnya tak nyenyak, dihantui mimpi-mimpi tentang Raditya. Ketika ia melangkah ke ruang tamu untuk menenangkan pikirannya, betapa terkejutnya ia mendapati box bayi Raditya ada di sana. Tanpa pikir panjang, ia mendekat, hatinya berdebar kencang.Raditya, seolah merasakan kehadiran ibunya, membuka matanya perlahan. Tatapan polosnya bertemu dengan mata Jelita yang berkaca-kaca. Tangan mungilnya bergerak, seakan mencari kehangatan yang familiar.Jelita tak kuasa menahan diri. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Raditya dengan lembut. Betapa terkejutnya ia ketika Raditya menggenggam jarinya erat, seolah tak ingin melepaskan.
Hari demi hari berlalu dengan begitu lambat bagi Jelita. Setiap pagi ia terbangun dengan harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk, namun kenyataan selalu menghantamnya dengan kejam. Raditya, putra kecilnya yang begitu ia rindukan, berada begitu dekat namun terasa begitu jauh.Setiap hari, Jelita harus menyaksikan putranya tumbuh di bawah asuhan orang lain. Ia melihat bagaimana Raditya belajar tengkurap, kemudian merangkak, dan akhirnya berdiri dengan bantuan.Setiap pencapaian kecil Raditya membuat hati Jelita membuncah dengan kebanggaan, namun pada saat yang sama juga membuatnya hancur karena ia tak bisa merayakannya bersama putranya.Novita, dengan kewaspadaannya yang tak pernah surut, selalu memastikan Jelita tak pernah berada terlalu dekat dengan Raditya. Setiap kali Jelita mencoba mendekati Raditya, Novita
Pagi itu, kediaman Baskara tampak berbeda dari biasanya. Hiasan warna-warni menghiasi setiap sudut rumah, balon-balon berbentuk karakter kartun favorit Raditya mengambang di udara, dan aroma lezat kue-kue serta hidangan pesta menguar dari dapur. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba - ulang tahun pertama Raditya.Jelita bangun pagi-pagi sekali, hatinya berdebar-debar menyambut hari istimewa ini. Meski ia tahu posisinya yang sulit, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik pada hari ulang tahun putranya. Dengan hati-hati, ia mengenakan gaun terbaiknya, sebuah gaun berwarna biru muda yang elegan namun sederhana.Sementara itu, Bambang dan Novita sibuk menyambut tamu-tamu yang mulai berdatangan. Para rekan bisnis Baskara Group, tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis, serta kerabat dekat keluarga Baskara memenuhi halaman dan ruang tamu yang luas.Raditya, yang menjadi bintang utama acara, digendong bergantian oleh Bambang dan Novita, dipeluk dan dicium oleh para tamu yang gemas melihat
Malam telah larut ketika pesta akhirnya usai. Para tamu mulai berpamitan satu per satu, meninggalkan rumah keluarga Baskara yang kini tampak berantakan dengan sisa-sisa pesta. Jelita, yang sepanjang acara berusaha untuk tetap tidak mencolok, akhirnya bisa kembali ke kamarnya.Begitu pintu tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh. Ia jatuh terduduk di lantai, isakan yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi gaun biru mudanya yang indah.Bayangan Raditya yang memanggil "Ma... ma..." terus berputar dalam benaknya. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah di suatu tempat dalam diri putra kecilnya itu, masih ada ingatan tentang ibunya yang sebenarnya?Sementara Jelita larut dalam kesedihannya, di ruang keluarga, Bambang, Novita, dan Roni Baskara sedang terlibat dalam percakapan s
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai-tirai jendela ruang makan keluarga Baskara, menerangi meja makan yang telah ditata rapi dengan berbagai hidangan sarapan. Bambang, Novita, dan Roni duduk mengelilingi meja, suasana terasa tegang meski tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.Roni memecah keheningan, "Jadi, Bambang, bagaimana dengan rencana kita semalam? Sudah kau pikirkan?"Bambang meletakkan sendoknya, matanya menatap piring di hadapannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Roni dan Novita bergantian."Maaf, Ayah, Novita. Saya... saya tidak bisa melakukannya," ujar Bambang dengan suara pelan namun tegas.Novita hampir tersedak kopinya. "Apa maksudmu, Bang?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Malam telah larut ketika Bambang melangkahkan kakinya menuju kamar Jelita. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara terasa begitu sunyi, hanya detak jam dinding yang sesekali memecah keheningan.Bambang berhenti sejenak di depan pintu kamar Jelita, tangannya terangkat hendak mengetuk, namun ia ragu. Pikirannya kembali pada percakapan di meja makan pagi tadi, tentang rencana perceraian yang diusulkan Novita. Hatinya berkecamuk, antara rasa bersalah dan kebingungan yang tak berkesudahan.Akhirnya, dengan satu tarikan napas dalam, Bambang memberanikan diri mengetuk pintu. "Jelita? Ini aku, Bambang. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara pelan.Terdengar suara langkah kaki dari dalam kamar, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Jelita berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur sederhana namun tetap memancarkan kecantikan alaminya. Matanya yang lelah menatap Bambang dengan sedikit terkejut."Abang? Ada apa malam-malam begini?" tanya Jelita, suaranya lembut namun terdengar sedikit kha
Pagi menjelang, sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar Bambang. Ia terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.Semalaman ia nyaris tak bisa memejamkan mata, pikirannya terus berputar pada percakapannya dengan Jelita dan rencana perceraian yang diusulkan Novita.Bambang bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju jendela dan menyibak tirai. Pemandangan taman belakang rumahnya yang asri menyambutnya, namun bahkan keindahan alam pagi itu tak mampu mengusir kegelisahan yang bersarang di hatinya.Ia menghela napas panjang, mengingat kembali setiap detail percakapannya dengan Jelita semalam. Kelembutan suaranya, kesabaran dalam matanya, dan bagaimana ia dengan mudah memaafkan semua perlakuan tidak adil yang telah ia terima.
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No