Malam telah larut ketika pesta akhirnya usai. Para tamu mulai berpamitan satu per satu, meninggalkan rumah keluarga Baskara yang kini tampak berantakan dengan sisa-sisa pesta. Jelita, yang sepanjang acara berusaha untuk tetap tidak mencolok, akhirnya bisa kembali ke kamarnya.Begitu pintu tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh. Ia jatuh terduduk di lantai, isakan yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi gaun biru mudanya yang indah.Bayangan Raditya yang memanggil "Ma... ma..." terus berputar dalam benaknya. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah di suatu tempat dalam diri putra kecilnya itu, masih ada ingatan tentang ibunya yang sebenarnya?Sementara Jelita larut dalam kesedihannya, di ruang keluarga, Bambang, Novita, dan Roni Baskara sedang terlibat dalam percakapan s
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai-tirai jendela ruang makan keluarga Baskara, menerangi meja makan yang telah ditata rapi dengan berbagai hidangan sarapan. Bambang, Novita, dan Roni duduk mengelilingi meja, suasana terasa tegang meski tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.Roni memecah keheningan, "Jadi, Bambang, bagaimana dengan rencana kita semalam? Sudah kau pikirkan?"Bambang meletakkan sendoknya, matanya menatap piring di hadapannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Roni dan Novita bergantian."Maaf, Ayah, Novita. Saya... saya tidak bisa melakukannya," ujar Bambang dengan suara pelan namun tegas.Novita hampir tersedak kopinya. "Apa maksudmu, Bang?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Malam telah larut ketika Bambang melangkahkan kakinya menuju kamar Jelita. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara terasa begitu sunyi, hanya detak jam dinding yang sesekali memecah keheningan.Bambang berhenti sejenak di depan pintu kamar Jelita, tangannya terangkat hendak mengetuk, namun ia ragu. Pikirannya kembali pada percakapan di meja makan pagi tadi, tentang rencana perceraian yang diusulkan Novita. Hatinya berkecamuk, antara rasa bersalah dan kebingungan yang tak berkesudahan.Akhirnya, dengan satu tarikan napas dalam, Bambang memberanikan diri mengetuk pintu. "Jelita? Ini aku, Bambang. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara pelan.Terdengar suara langkah kaki dari dalam kamar, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Jelita berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur sederhana namun tetap memancarkan kecantikan alaminya. Matanya yang lelah menatap Bambang dengan sedikit terkejut."Abang? Ada apa malam-malam begini?" tanya Jelita, suaranya lembut namun terdengar sedikit kha
Pagi menjelang, sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar Bambang. Ia terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.Semalaman ia nyaris tak bisa memejamkan mata, pikirannya terus berputar pada percakapannya dengan Jelita dan rencana perceraian yang diusulkan Novita.Bambang bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju jendela dan menyibak tirai. Pemandangan taman belakang rumahnya yang asri menyambutnya, namun bahkan keindahan alam pagi itu tak mampu mengusir kegelisahan yang bersarang di hatinya.Ia menghela napas panjang, mengingat kembali setiap detail percakapannya dengan Jelita semalam. Kelembutan suaranya, kesabaran dalam matanya, dan bagaimana ia dengan mudah memaafkan semua perlakuan tidak adil yang telah ia terima.
Jelita menatap bayangannya di cermin besar yang menghiasi ruang tunggu pengantin. Kebaya putih mewah membalut tubuhnya yang ramping, namun wajahnya yang cantik tampak pucat. Jari-jarinya yang lentik bergetar saat ia mencoba merapikan hiasan rambutnya untuk kesekian kalinya."Tenang, Jelita. Kamu bisa melakukan ini," bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar. "Ini adalah hari bahagiamu. Kamu akan menjadi seorang istri."Namun kenyataan yang tak terucap menghantui pikirannya: ia akan menjadi istri kedua dari Bambang, yang tak lain adalah suami dari Novita. Seorang pria berusia 45 tahun, dua puluh tahun lebih tua darinya.Novita adalah kakak dari ibu Jelita sekaligus pewaris tunggal dari Baskara Group. Perusahaan besar dan terkenal di pusat kota Jakarta. Saat Novita berusia 5 tahun, orang tuanya mengangkat seorang anak perempuan dari sebuah panti asuhan di pusat kota.Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Paman Bambang adalah pam
"Kau cantik sekali, Nak," bisik ayahnya dengan bangga. "Lihat, semua orang terpesona melihatmu."Jelita hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Ayah," balasnya lirih.Setiap langkah terasa seperti beban berat bagi Jelita. Ia melihat ke depan, ke arah meja Akad Nikah di mana Bambang, calon suaminya, duduk menunggu bersama penghulu. Wajahnya menampilkan senyum, tapi Jelita bisa melihat ketegangan di baliknya."Ayah," Jelita berbisik, suaranya bergetar. "Apa... apa ini benar-benar yang terbaik untukku?"Ayahnya mengeratkan genggamannya. "Tentu saja, Sayang. Bambang adalah pria hebat. Dia akan memberikan kehidupan yang layak untukmu."Jelita menelan ludah, berusaha menahan air matanya.Sepanjang perjalanan menuju ke meja Akad Nikah, Jelita mengingat betul bagaimana tujuh tahun lalu Novita membantu keluarganya dulu di tengah krisis hebat. Ayahnya, Hendra, seorang pengusaha properti yang cukup sukses, tiba-tiba jatuh sakit. Stroke yang menyerangnya memaksa pria paruh baya itu terbaring
Jelita melangkah masuk ke kediaman Novita dengan hati berdebar. Rumah mewah bergaya modern itu terasa asing namun juga anehnya familiar. Bambang, berjalan di sampingnya dengan langkah mantap."Selamat datang di rumah kita, Jelita," ujar Bambang, suaranya terdengar kaku.Belum sempat Jelita menjawab, pintu utama terbuka lebar. Seorang wanita cantik berusia sekitar 43 tahun menyambut mereka dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Akhirnya kalian sampai," ucap wanita itu, yang Jelita kenali sebagai Novita. Ada kilatan aneh di mata Novita saat memandang Jelita dari ujung kepala hingga kaki."Tante Novi," Jelita berbisik, suaranya bergetar.Novita memeluk Jelita, pelukannya terasa kaku. "Selamat datang, sayang. Masuklah."Bambang terlihat canggung menyaksikan interaksi mereka. "Aku... akan membawa koper-koper ini ke dalam," ujarnya sebelum bergegas masuk.Novita menggandeng Jelita masuk ke ruang tamu yang luas. "Bagaimana perasaanmu, Jel?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar.Jelita m
Jelita terbangun dengan sentakan, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pintu kamarnya berderit terbuka. Dalam keremangan cahaya yang merayap dari celah tirai, ia melihat sosok tegap Bambang melangkah masuk. Refleks, Jelita menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis."Paman Bambang?" ujar Jelita terbata, suaranya serak oleh kantuk dan keterkejutan.Bambang berdiri canggung di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop. Dalam cahaya remang-remang, Jelita bisa melihat garis-garis wajah Bambang yang tegas dan bahunya yang bidang. Piyama sutra yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih terjaga dengan baik di usia 45 tahun."Maaf mengagetkanmu, Jelita," ujar Bambang pelan. "Aku... boleh masuk?"Jelita mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdegup kencang. Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Selama ini, kamarnya adalah wilayah pribadinya. Hanya ayahnya yang sesekali masuk, itu pun ha