Halo, pembaca kesayangan Mohon maaf yaa hari ini hanya sanggup update 1 bab saja karena kondisi author kurang fit semalam sempat drop :( doakan segera pulih ya supaya bisa update banyak2 lagi :*
Jelita menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang nyaris lolos. Semua ini terlalu mendadak, terlalu membingungkan. Ia datang ke sini dengan niat untuk mengakhiri semuanya, tapi sekarang... “Bang, aku… aku tidak tahu harus bagaimana," Jelita akhirnya berkata. "Ini semua terlalu... tiba-tiba." Bambang mengangguk paham. "Aku mengerti, Jelita. Ini pasti membingungkan untukmu. Tapi bisakah kau memberiku... memberi kita kesempatan? Mungkin kita bisa mencoba menjalani ini dengan cara yang berbeda." Jelita menatap Bambang, mencari-cari kepastian di matanya. "Maksudnya, Bang?" "Mungkin kita bisa mencoba untuk benar-benar menjadi keluarga," Bambang menjawab pelan. "Bukan hanya karena perjanjian, tapi sungguh-sungguh mencoba membangun hubungan yang lebih baik. Demi Raditya, dan mungkin... demi kita juga." Jelita merasa seolah napasnya tercekat. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia hanya berpikir tentang bagaimana cara keluar dari situasi ini
Malam itu, kediaman keluarga Baskara yang biasanya tenang dipenuhi oleh tangisan memilukan. Suara Raditya yang meraung-raung memecah keheningan, menggema di setiap sudut rumah.Bambang mondar-mandir di ruang keluarga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Novita duduk di sofa, tangannya gemetar memegang segelas air yang belum ia sentuh sejak tadi."Sudah berapa lama dia menangis seperti ini?" tanya Bambang, suaranya terdengar frustasi.Novita menggeleng lemah. "Entahlah, Bang. Rasanya sudah berjam-jam. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi."Pengasuh Raditya, keluar dari kamar anak itu dengan wajah lesu. "Maaf, Pak, Bu. Tuan Raditya masih belum mau berhenti menangis. Saya sudah coba semua cara, tapi..."Bambang menghela napas berat. "Bagaimana dengan obatnya? Sudah diminum?""Sudah, Pak," jawab pengasuh itu. "Tapi sepertinya belum bereaksi. Demamnya masih tinggi."Novita bangkit dari duduknya, air matanya mulai menggenang. "Aku akan coba menenangkannya lagi."Namun, belum
Fajar mulai menyingsing, sinar mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai kamar Raditya. Jelita, yang semalaman tidak bisa tidur nyenyak, perlahan membuka matanya. Ia merasakan kehangatan tubuh mungil Raditya yang masih terlelap dalam pelukannya.Dengan hati-hati, Jelita menyentuh kening Raditya. Ia menghela napas lega saat merasakan suhu tubuh bayi berusia satu tahun itu sudah tidak sepanas semalam. Demamnya sudah turun."Syukurlah," bisik Jelita, mengecup lembut kening Raditya.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka perlahan. Novita muncul, wajahnya menunjukkan kelelahan sekaligus kecemasan."Bagaimana keadaannya?" tanya Novita, suaranya terdengar serak.Jelita menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga jarak dengan Raditya
"Syukurlah demam Raditya sudah benar-benar turun," ujar Novita lega, matanya mengawasi putranya yang sedang bermain di ruang tamu bersama pengasuhnya.Bambang mengangguk, senyum lega terpancar di wajahnya. "Iya, akhirnya kita bisa bernapas lega. Tiga hari ini benar-benar menegangkan.""Tapi lihat dia sekarang," Novita tersenyum lembut, "seolah-olah tidak pernah sakit. Energinya luar biasa."Memang benar, Raditya yang baru saja pulih dari demamnya terlihat sangat aktif. Bocah berusia satu tahun itu berlarian kesana-kemari di ruang tamu, sesekali berhenti untuk memainkan mainannya, lalu kembali berlari dengan tawa riang.Pengasuhnya, berusaha mengimbangi energi Raditya. "Aduh, Tuan Muda. Pelan-pelan ya, nanti jatuh," ujarnya dengan nada khawatir bercampur geli.
Malam itu, setelah Raditya tertidur, Bambang memanggil Novita dan Jelita ke ruang kerjanya. Ada ketegangan yang jelas terasa di udara saat kedua wanita itu memasuki ruangan."Ada apa, Bang?" tanya Novita, matanya sesekali melirik ke arah Jelita dengan curiga.Bambang menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kita perlu membicarakan tentang apa yang terjadi hari ini."Jelita, yang berdiri agak jauh dari Novita, hanya bisa menunduk. Ia tahu persis apa yang akan dibicarakan."Apa maksudmu?" Novita bertanya, meski dari nada suaranya, ia juga sudah bisa menebak."Tentang Raditya dan... mainan yang dia berikan pada Jelita," jawab Bambang hati-hati.Novita langsung menegang. "Itu hanya
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Baskara masih terasa mencekam. Novita, dengan mata sembab dan wajah lelah, sibuk mondar-mandir di ruang keluarga, berusaha menjaga Raditya yang baru berusia satu tahun.Bocah kecil itu berjalan dengan lincah, dan mencoba mengambil apa saja yang bisa diraihnya. Sementara itu, Jelita hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, hatinya perih melihat putranya begitu dekat namun tak terjangkau."Radit, jangan, Nak," ujar Novita lembut sambil mengambil remote TV dari tangan mungil Raditya. Balita itu mulai merengek, tangannya menggapai-gapai ingin mengambil kembali benda yang menarik perhatiannya.Jelita, yang sejak tadi hanya berdiri di ambang pintu, akhirnya memberanikan diri untuk mendekat. "Mbak, biar saya bantu—""Tidak perlu," potong
Hari-hari berlalu dengan atmosfer yang semakin mencekam di kediaman keluarga Baskara. Novita, dengan tekadnya yang kuat, berusaha keras mengurus Raditya sendirian. Namun, kelelahan dan frustrasi mulai tampak jelas di wajahnya.Pagi itu, seperti biasa, Raditya bangun dengan penuh semangat. Ia berjalan dengan cepat di sekitar ruang tamu, sesekali berlari di sekitar sofa atau meja, membuat Novita kewalahan mengawasinya."Radit, jangan, Nak," ujar Novita lelah, berusaha mengambil vas bunga yang hampir dijatuhkan oleh tangan mungil Raditya.Namun Raditya, dengan rasa ingin tahunya yang besar, terus berusaha meraih benda-benda di sekitarnya. Novita berusaha mengikutinya, tapi ia tersandung mainan yang berserakan di lantai dan jatuh tersungkur."Aduh!" pekiknya kesakitan.
"Radit, ayo makan dulu, Sayang," bujuk Novita sambil mengangkat sendok berisi bubur yang sudah mulai dingin. Raditya, bocah satu tahun itu, hanya menggeleng dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Bambang yang duduk di sebelah mereka di ruang tamu menghela napas panjang. "Biar aku coba, Nov," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk dari tangan istrinya.Novita menyerahkan mangkuk itu dengan enggan. Matanya menyiratkan kelelahan dan frustrasi yang dalam. "Dia belum makan apa-apa sejak pagi, Bang. Aku khawatir."Sementara itu, dari arah dapur, Jelita diam-diam mengamati pemandangan itu. Hatinya terasa diremas melihat putra kandungnya menolak makan, sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh ke pipinya."Non Jelita, kenapa men
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No