"Radit, ayo makan dulu, Sayang," bujuk Novita sambil mengangkat sendok berisi bubur yang sudah mulai dingin. Raditya, bocah satu tahun itu, hanya menggeleng dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Bambang yang duduk di sebelah mereka di ruang tamu menghela napas panjang. "Biar aku coba, Nov," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk dari tangan istrinya.
Novita menyerahkan mangkuk itu dengan enggan. Matanya menyiratkan kelelahan dan frustrasi yang dalam. "Dia belum makan apa-apa sejak pagi, Bang. Aku khawatir."
Sementara itu, dari arah dapur, Jelita diam-diam mengamati pemandangan itu. Hatinya terasa diremas melihat putra kandungnya menolak makan, sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh ke pipinya.
"Non Jelita, kenapa men
"Pagi, Mbak Novita," sapa Jelita hati-hati saat memasuki dapur keesokan paginya. Novita yang sedang menyiapkan sarapan hanya mengangguk singkat.Suasana canggung menyelimuti ruangan itu, hingga tiba-tiba terdengar suara tangisan Raditya dari kamarnya."Biar aku yang lihat," tawar Jelita spontan, namun langsung menyesali kata-katanya begitu melihat ekspresi Novita mengeras."Tidak perlu. Aku saja." ujar Novita dingin, bergegas menuju kamar Raditya.Jelita menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan situasi yang seolah tak ada habisnya ini. Ia baru saja akan melanjutkan pekerjaannya ketika mendengar suara Bambang dari ruang keluarga."Jelita, bisa tolong ambilkan map biru di laci meja kerjaku? Aku perlu beberapa dokumen unt
Malam telah larut ketika Jelita akhirnya bisa menyendiri di kamarnya. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Percakapan yang tak sengaja ia dengar antara Bambang dan Novita masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya terasa berat.Jelita baru saja hendak berbaring ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya tertegun sejenak: Faris.Dengan tangan sedikit gemetar, Jelita mengangkat panggilan itu. "Halo, Kak Faris?""Jelita," suara Faris terdengar lembut di seberang sana. "Bagaimana kabarmu?"Jelita menghela napas panjang sebelum menjawab, "Baik... kurasa. Bagaimana denganmu, Kak?""Aku baik-baik saja," jawab Faris. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyinari kota. Jelita telah bangun sejak subuh, menyiapkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, warna kesukaan ibunya.Setelah berpamitan dengan Bambang, dan Novita. Tak lupa, ia juga berpamitan dengan Bi Inah untuk memastikan semua pekerjaan rumah sudah beres. Jelita melangkah keluar rumah dengan hati yang bercampur aduk.Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu di depan dengan mobil yang sudah disiapkan. "Sudah siap, Non Jelita?" tanya Pak Abdul ramah.Jelita mengangguk, tersenyum tipis. "Sudah, Pak. Terima kasih sudah mau mengantar saya."Selama perjalanan, Jelita hanya diam, memandang ke luar jendela. Pikirannya melayang ke Raditya yang masih tertidur pulas saat ia meningg
Ayah Jelita menambahkan, "Benar kata ibumu, Nak. Kita harus selalu ingat kebaikan orang lain. Jadilah orang yang tahu berterima kasih."Jelita hanya bisa mengangguk, berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Melihat putrinya yang tiba-tiba menjadi murung, Ibu Jelita beranjak dan duduk di samping Jelita."Ada apa, Nak?" tanya Ibu Jelita lembut, menggenggam tangan putrinya. "Cerita sama Ibu kalau ada masalah."Jelita menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Bu. Jelita hanya... hanya sedikit lelah."Ibu Jelita menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun Jelita berusaha menyembunyikannya, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya."Jelita," ujar Ibu J
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara tampak lebih ramai dari biasanya. Bambang, yang biasanya sudah berangkat ke kantor pada jam ini, masih duduk santai di meja makan, menyesap kopi hitamnya sambil membaca koran pagi.Novita sibuk mondar-mandir, menyiapkan berbagai keperluan untuk perjalanan mereka hari ini. Sementara itu, Jelita baru saja selesai memandikan Raditya dan kini sedang menyuapinya sarapan.Kali ini, Jelita ikut andil dalam mengurus Raditya karena desakan dari Bambang. Novita pun sebenarnya menolak, tapi melihat banyak hal yang harus disiapkan, mau tidak mau Novita mengiyakan."Jadi, kita benar-benar akan pergi ke kebun binatang hari ini?" tanya Novita, sambil memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam tas ransel besar.Bambang menurunkan korann
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka tiba di kebun binatang. Raditya, yang sempat tertidur selama perjalanan, langsung terbangun begitu mobil berhenti. Matanya langsung berbinar-binar melihat gerbang besar kebun binatang di depan mereka."Tuh! Tuh!" seru Raditya antusias, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah gerbang.Bambang tertawa melihat tingkah putranya. "Iya, Sayang. Kita sudah sampai di tempat hewan-hewan."Mereka turun dari mobil dan mulai berjalan menuju loket tiket. Novita menggendong Raditya, sementara Bambang dan Jelita membawa tas-tas berisi perlengkapan mereka.Setelah membeli tiket, mereka pun memasuki area kebun binatang. Suasana hari itu cukup ramai, banyak keluarga lain yang juga memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di sini.
"Raditya, ayo sayang, nanti terlambat ke sekolah," suara Novita terdengar dari ruang tamu, memanggil putranya yang masih berada di kamar."Iya, Mama! Radit sedang pakai sepatu!" sahut suara kecil Raditya dari dalam kamarnya.Jelita, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, tersenyum mendengar percakapan ibu dan anak itu. Sudah lima tahun berlalu sejak Raditya lahir, dan hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah taman kanak-kanak. Waktu memang berlalu begitu cepat.Seiring berjalannya waktu, peran Jelita dalam mengasuh Raditya semakin berkurang. Novita dan Bambang telah memutuskan untuk mempekerjakan dua pengasuh, dan Jelita kembali ke posisinya untuk membantu Bi Inah dalam mengurus rumah tangga. Meski begitu, ikatan batin antara Jelita dan Raditya tetap tidak bisa dipisahkan.
"Tentu saja boleh, sayang," jawab Novita, berusaha terdengar ceria. "Tapi ingat, Radit juga harus mendengarkan apa yang diceritakan teman-teman ya."Raditya mengangguk patuh. "Siap, Ma!"Tak lama kemudian, mereka tiba di sekolah. Halaman sekolah sudah ramai dengan anak-anak dan orang tua mereka. Raditya, yang tadinya sangat bersemangat, tiba-tiba menjadi sedikit malu-malu melihat banyaknya orang asing di sekelilingnya.Novita menggenggam tangan Raditya lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mama akan menemani Radit sampai masuk kelas."Mereka berjalan memasuki gedung sekolah, mencari kelas Raditya. Di depan kelas, seorang guru muda menyambut mereka dengan senyum ramah."Selamat pagi," sapa guru itu. "Siapa nama adik ganteng ini?"