"Raditya, ayo sayang, nanti terlambat ke sekolah," suara Novita terdengar dari ruang tamu, memanggil putranya yang masih berada di kamar.
"Iya, Mama! Radit sedang pakai sepatu!" sahut suara kecil Raditya dari dalam kamarnya.
Jelita, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, tersenyum mendengar percakapan ibu dan anak itu. Sudah lima tahun berlalu sejak Raditya lahir, dan hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah taman kanak-kanak. Waktu memang berlalu begitu cepat.
Seiring berjalannya waktu, peran Jelita dalam mengasuh Raditya semakin berkurang. Novita dan Bambang telah memutuskan untuk mempekerjakan dua pengasuh, dan Jelita kembali ke posisinya untuk membantu Bi Inah dalam mengurus rumah tangga. Meski begitu, ikatan batin antara Jelita dan Raditya tetap tidak bisa dipisahkan.
"Tentu saja boleh, sayang," jawab Novita, berusaha terdengar ceria. "Tapi ingat, Radit juga harus mendengarkan apa yang diceritakan teman-teman ya."Raditya mengangguk patuh. "Siap, Ma!"Tak lama kemudian, mereka tiba di sekolah. Halaman sekolah sudah ramai dengan anak-anak dan orang tua mereka. Raditya, yang tadinya sangat bersemangat, tiba-tiba menjadi sedikit malu-malu melihat banyaknya orang asing di sekelilingnya.Novita menggenggam tangan Raditya lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mama akan menemani Radit sampai masuk kelas."Mereka berjalan memasuki gedung sekolah, mencari kelas Raditya. Di depan kelas, seorang guru muda menyambut mereka dengan senyum ramah."Selamat pagi," sapa guru itu. "Siapa nama adik ganteng ini?"
Siang itu, matahari bersinar terik di atas kota Jakarta. Di kediaman keluarga Bambang, suasana mulai berubah seiring mendekatinya waktu penjemputan Raditya dari sekolah.Novita, yang sejak tadi gelisah memikirkan putranya itu, kini bersiap-siap untuk menjemput Raditya di hari pertamanya bersekolah."Pak Abdul, tolong siapkan mobilnya ya. Kita akan menjemput Raditya," ujar Novita sambil merapikan rambutnya di depan cermin ruang tamu."Baik, Nyonya. Mobil akan siap dalam lima menit," jawab Pak Abdul sopan sebelum bergegas ke garasi.Sementara itu, di dapur, Jelita sedang membereskan peralatan makan siang. Ia bisa mendengar kesibukan Novita dan Pak Abdul yang bersiap untuk menjemput Raditya.Hatinya terasa berat; ia sangat ingin
Mobil yang membawa Novita dan Raditya akhirnya memasuki halaman rumah keluarga Baskara. Begitu mobil berhenti, Raditya langsung membuka pintu dan berlari ke dalam rumah, meninggalkan Novita yang masih duduk terpaku di dalam mobil."Tante Jelita! Tante Jelita!" suara Raditya terdengar memanggil-manggil dari dalam rumah.Novita menghela napas panjang sebelum akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan perlahan menuju pintu depan, pikirannya berkecamuk.Di satu sisi, ia senang melihat Raditya begitu bersemangat sepulang sekolah. Namun di sisi lain, kenyataan bahwa orang pertama yang dicari Raditya adalah Jelita, bukan dirinya, membuat hatinya terasa sakit.Begitu masuk ke dalam rumah, Novita melihat Raditya sudah berada dalam pelukan Jelita. Bocah lima tahun itu berceloteh riang
Malam telah turun di kediaman keluarga Baskara. Jam dinding di ruang tamu baru saja berdentang tujuh kali, menandakan pukul 7 malam telah tiba. Suasana rumah yang tadinya tenang mulai berubah saat terdengar deru mobil memasuki halaman.Raditya, yang sedang asyik menggambar di ruang keluarga, langsung melompat dari kursinya. "Papa pulang!" serunya riang, berlari menuju pintu depan.Novita, yang sedang membaca majalah di sofa, tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia pun bangkit, menyusul Raditya ke pintu depan.Pintu terbuka, dan sosok Bambang muncul dengan wajah lelah namun tersenyum lebar. "Halo, jagoan Papa!" sapanya, membungkuk untuk memeluk Raditya yang sudah menghambur ke arahnya."Papa! Papa! Radit mau cerita!" Raditya berceloteh dengan semangat, menarik-narik tan
Keesokan paginya, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa berbeda. Meski rutinitas pagi berjalan seperti biasa, ada ketegangan yang tak terucap di antara para penghuninya.Bambang, yang biasanya santai saat sarapan, kini tampak gelisah. Ia beberapa kali melirik ke arah Novita dan Jelita, yang sejak tadi hanya diam. Raditya, tidak menyadari ketegangan di sekitarnya, asyik melahap sarapannya sambil sesekali berceloteh tentang rencana sekolahnya hari ini."Ma, Pa, hari ini Radit mau bawa bekal yang banyak, ya!" seru Raditya di sela-sela kunyahannya.Novita tersenyum, berusaha terlihat normal. "Tentu, sayang. Mama sudah siapkan bekal kesukaanmu.""Asik!" Raditya bersorak gembira. "Nanti Radit mau bagi-bagi sama Dani ah!"Bamb
"Apakah benar... Abang mulai mencintaiku?" bisik Jelita pada dirinya sendiri, matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup Bambang.Jelita berjalan perlahan ke arah jendela, memandang sosok Bambang yang mulai memasuki mobilnya di halaman. Pikirannya berkecamuk, mengingat kembali setiap interaksi mereka selama beberapa tahun terakhir."Tapi... sejak aku hamil, dia tak pernah menyentuhku lagi dan setelah Radit lahir, kita tidak pernah sekalipun tidur bersama," gumamnya lirih.Jemarinya tanpa sadar menyentuh dahinya, tempat kecupan Bambang tadi mendarat. "Hanya kecupan di dahi setiap pagi, itu pun saat Radit tak melihat."Mobil Bambang mulai bergerak meninggalkan halaman. Jelita menghela napas panjang, berbalik dan bersandar pada kusen jendela. Matanya terpejam,
"Kakek!" seru Raditya riang, berlari ke arah pintu depan begitu mendengar suara bel berbunyi.Novita tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia membuka pintu, dan tampaklah sosok ayahnya, berdiri dengan senyum lebar."Kakek!" Raditya langsung melompat ke pelukan kakeknya.Roni tertawa, mengangkat cucunya tinggi-tinggi. "Wah, wah, cucu Kakek makin berat saja nih! Pasti makannya banyak ya?"Raditya terkikik geli. "Iya dong, Kek! Radit kan mau jadi besar dan kuat!""Ayah, ayo masuk," ajak Novita, mempersilakan ayahnya memasuki rumah.Jelita yang baru saja keluar dari dapur, membungkuk hormat. "Selamat sore, Kakek."Roni mengangguk ramah pa
Senja mulai merambat ketika Roni akhirnya bangkit dari kursinya, menandakan kunjungannya telah usai. Raditya, yang masih asyik dengan mainan barunya, mendongak dengan raut wajah kecewa."Kakek mau pulang?" tanyanya dengan nada sedih.Roni tersenyum lembut, berlutut untuk menyamakan tingginya dengan sang cucu. "Iya, sayang. Kakek harus pulang sekarang. Tapi Kakek janji akan datang lagi lain waktu."Novita, yang baru saja kembali dari dapur setelah membereskan piring-piring bekas cemilan, menghampiri ayahnya. "Ayah sudah mau pulang? Tidak mau makan malam dulu?""Tidak usah, Novi," jawab Roni sambil bangkit berdiri. "Ayah harus segera pulang. Masih ada beberapa dokumen yang harus Ayah periksa malam ini."Novita mengangguk paham,