Malam telah turun di kediaman keluarga Baskara. Jam dinding di ruang tamu baru saja berdentang tujuh kali, menandakan pukul 7 malam telah tiba. Suasana rumah yang tadinya tenang mulai berubah saat terdengar deru mobil memasuki halaman.
Raditya, yang sedang asyik menggambar di ruang keluarga, langsung melompat dari kursinya. "Papa pulang!" serunya riang, berlari menuju pintu depan.
Novita, yang sedang membaca majalah di sofa, tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia pun bangkit, menyusul Raditya ke pintu depan.
Pintu terbuka, dan sosok Bambang muncul dengan wajah lelah namun tersenyum lebar. "Halo, jagoan Papa!" sapanya, membungkuk untuk memeluk Raditya yang sudah menghambur ke arahnya.
"Papa! Papa! Radit mau cerita!" Raditya berceloteh dengan semangat, menarik-narik tan
Keesokan paginya, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa berbeda. Meski rutinitas pagi berjalan seperti biasa, ada ketegangan yang tak terucap di antara para penghuninya.Bambang, yang biasanya santai saat sarapan, kini tampak gelisah. Ia beberapa kali melirik ke arah Novita dan Jelita, yang sejak tadi hanya diam. Raditya, tidak menyadari ketegangan di sekitarnya, asyik melahap sarapannya sambil sesekali berceloteh tentang rencana sekolahnya hari ini."Ma, Pa, hari ini Radit mau bawa bekal yang banyak, ya!" seru Raditya di sela-sela kunyahannya.Novita tersenyum, berusaha terlihat normal. "Tentu, sayang. Mama sudah siapkan bekal kesukaanmu.""Asik!" Raditya bersorak gembira. "Nanti Radit mau bagi-bagi sama Dani ah!"Bamb
"Apakah benar... Abang mulai mencintaiku?" bisik Jelita pada dirinya sendiri, matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup Bambang.Jelita berjalan perlahan ke arah jendela, memandang sosok Bambang yang mulai memasuki mobilnya di halaman. Pikirannya berkecamuk, mengingat kembali setiap interaksi mereka selama beberapa tahun terakhir."Tapi... sejak aku hamil, dia tak pernah menyentuhku lagi dan setelah Radit lahir, kita tidak pernah sekalipun tidur bersama," gumamnya lirih.Jemarinya tanpa sadar menyentuh dahinya, tempat kecupan Bambang tadi mendarat. "Hanya kecupan di dahi setiap pagi, itu pun saat Radit tak melihat."Mobil Bambang mulai bergerak meninggalkan halaman. Jelita menghela napas panjang, berbalik dan bersandar pada kusen jendela. Matanya terpejam,
"Kakek!" seru Raditya riang, berlari ke arah pintu depan begitu mendengar suara bel berbunyi.Novita tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia membuka pintu, dan tampaklah sosok ayahnya, berdiri dengan senyum lebar."Kakek!" Raditya langsung melompat ke pelukan kakeknya.Roni tertawa, mengangkat cucunya tinggi-tinggi. "Wah, wah, cucu Kakek makin berat saja nih! Pasti makannya banyak ya?"Raditya terkikik geli. "Iya dong, Kek! Radit kan mau jadi besar dan kuat!""Ayah, ayo masuk," ajak Novita, mempersilakan ayahnya memasuki rumah.Jelita yang baru saja keluar dari dapur, membungkuk hormat. "Selamat sore, Kakek."Roni mengangguk ramah pa
Senja mulai merambat ketika Roni akhirnya bangkit dari kursinya, menandakan kunjungannya telah usai. Raditya, yang masih asyik dengan mainan barunya, mendongak dengan raut wajah kecewa."Kakek mau pulang?" tanyanya dengan nada sedih.Roni tersenyum lembut, berlutut untuk menyamakan tingginya dengan sang cucu. "Iya, sayang. Kakek harus pulang sekarang. Tapi Kakek janji akan datang lagi lain waktu."Novita, yang baru saja kembali dari dapur setelah membereskan piring-piring bekas cemilan, menghampiri ayahnya. "Ayah sudah mau pulang? Tidak mau makan malam dulu?""Tidak usah, Novi," jawab Roni sambil bangkit berdiri. "Ayah harus segera pulang. Masih ada beberapa dokumen yang harus Ayah periksa malam ini."Novita mengangguk paham,
Pagi menyingsing, membawa kehangatan mentari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai. Novita membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk mengusir sisa kantuk.Sejenak, ia berbaring diam, mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya bangkit dan mulai bersiap menghadapi hari. Di kamar Raditya, Bambang sudah selesai memandikan Raditya dan merapikan rambut anaknya itu.Sementara itu, di dapur, Jelita sudah sibuk menyiapkan sarapan bersama Bi Inah. Tangannya bergerak cekatan memotong sayuran dan mengaduk adonan pancake, tapi pikirannya masih terpaku pada kejadian kemarin sore. Sesekali, Jelita menghela napas berat, berusaha mengenyahkan kekhawatiran yang terus menghantuinya.Namun, momen membuat sarapan selalu membuatnya semangat. Bagaimana tidak? Karena inilah kasih sayang Jelita kepada Raditya bisa ia sampai
"Papa, Mama, Radit mau adik perempuan," ujar Raditya tiba-tiba, mengalihkan perhatiannya dari mainan baru pemberian kakeknya.Novita yang sedang membaca koran langsung tersentak kaget, nyaris menjatuhkan korannya. Bambang pun mengangkat pandangannya dari tablet, alisnya terangkat heran mendengar pernyataan putranya yang tak terduga."Adik perempuan?" tanya Bambang, berusaha tetap tenang. "Kenapa tiba-tiba Radit ingin punya adik perempuan?"Raditya, dengan polosnya, menjawab, "Soalnya Dani baru punya adik perempuan kecil. Katanya lucu banget, Papa. Radit juga mau sama seperti Dani."Novita melirik suaminya dengan cemas, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa pertanyaan ini pasti akan datang suatu hari, tapi tetap saja ia merasa tidak siap.
"Ayo, Ma! Pa! Kita berangkat sekarang ya!" seru Raditya bersemangat, melompat-lompat kecil di depan pintu rumah.Novita tersenyum melihat antusiasme putranya. "Sabar ya, sayang. Papa masih mengambil kunci mobil."Bambang muncul dari arah garasi, kunci mobil di tangannya. "Baiklah, semuanya sudah siap? Ayo kita berangkat."Sementara itu, Jelita berdiri di ambang pintu, tersenyum lembut melihat kegembiraan Raditya. "Hati-hati di jalan ya, Radit. Jangan nakal sama Papa dan Mama," ujarnya.Raditya menoleh, dahinya berkerut bingung. "Lho, Tante Jelita nggak ikut?""Tidak, sayang. Tante ada urusan hari ini," jawab Jelita lembut.Novita dan Bambang bertukar pandang sekilas sebelum Novita
Malam telah larut ketika keluarga kecil itu tiba di rumah setelah seharian penuh bersenang-senang di taman bermain.Raditya, yang kelelahan setelah berbagai petualangannya, tertidur pulas di gendongan Bambang. Dengan hati-hati, Bambang membaringkan putra kesayangannya di tempat tidur, sementara Novita menyelimutinya dengan lembut."Tidur yang nyenyak ya, sayang," bisik Novita, mengecup kening Raditya. Bambang pun mengusap rambut putranya dengan penuh kasih sayang sebelum mereka berdua keluar dari kamar, meninggalkan Raditya dalam tidurnya yang damai.Di lorong, Novita menghela nafas panjang. "Hari yang melelahkan, tapi menyenangkan," ujarnya sambil tersenyum pada suaminya.Bambang mengangguk setuju. "Ya, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Radit kelihatan sangat senang."Mereka berjalan menuju kamar mereka, namun langkah Bambang terhenti ketika ia melihat sekilas bayangan yang bergerak di ujung lorong. Matanya menyipit, berusaha memfokus