Malam telah larut ketika keluarga kecil itu tiba di rumah setelah seharian penuh bersenang-senang di taman bermain.
Raditya, yang kelelahan setelah berbagai petualangannya, tertidur pulas di gendongan Bambang. Dengan hati-hati, Bambang membaringkan putra kesayangannya di tempat tidur, sementara Novita menyelimutinya dengan lembut."Tidur yang nyenyak ya, sayang," bisik Novita, mengecup kening Raditya. Bambang pun mengusap rambut putranya dengan penuh kasih sayang sebelum mereka berdua keluar dari kamar, meninggalkan Raditya dalam tidurnya yang damai.Di lorong, Novita menghela nafas panjang. "Hari yang melelahkan, tapi menyenangkan," ujarnya sambil tersenyum pada suaminya.Bambang mengangguk setuju. "Ya, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama seperti ini. Radit kelihatan sangat senang."Mereka berjalan menuju kamar mereka, namun langkah Bambang terhenti ketika ia melihat sekilas bayangan yang bergerak di ujung lorong. Matanya menyipit, berusaha memfokusMatahari pagi mulai mengintip dari balik tirai, menyinari kamar Bambang dan Novita dengan cahaya keemasannya. Bambang, yang semalaman nyaris tak bisa memejamkan mata, merasakan beban berat di dadanya semakin menekan seiring dengan naiknya matahari.Ia melirik ke samping, di mana Novita masih terlelap dengan damai. Wajah istrinya yang tenang membuat hati Bambang semakin teriris. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya dengan Jelita? Meski ia tahu bahwa Jelita masih istri sahnya.Perlahan, Bambang duduk di tepi tempat tidur. Kepalanya terasa berat, dipenuhi oleh berbagai pikiran dan penyesalan. Kejadian semalam dengan Jelita terus berputar di benaknya, seperti film yang tak bisa ia hentikan."Apa yang telah kulakukan?" gumamnya lirih, mengusap wajahnya dengan frustrasi.Suara ketukan halus di pintu kamar mengejutkan Bambang dari lamunannya. Jantungnya berdegup kencang, takut jika itu adalah Jelita."Papa? Mama? Sudah bangun?" Suara Raditya terdengar dari balik pintu
"Oh iya, Ma!" Raditya tiba-tiba bersuara, menarik perhatian semua orang. "Tadi malam Radit mimpi lho!" "Mimpi apa, sayang?" tanya Novita, mengalihkan perhatiannya pada putranya. "Radit mimpi punya adik perempuan!" seru Raditya dengan mata berbinar. "Adiknya lucu banget, Ma. Rambutnya panjang kayak Tante Jelita." Suasana di meja makan mendadak hening. Bambang nyaris tersedak nasi gorengnya, sementara Jelita tampak membeku dengan sendok di tangan. Novita, yang tak menyadari perubahan atmosfer, hanya tersenyum lembut. "Wah, mimpi yang indah ya, Radit. Tapi ingat, mimpi ya tetap mimpi." "Tapi Ma, kemarin kan Radit sudah bilang mau punya adik. Siapa tahu mimpi Radit jadi kenyataan!" Raditya bersikeras, matanya menatap bergantian ke arah Bambang dan Novita dengan penuh harap. Bambang merasakan keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia melirik ke arah Jelita, yang tampak sama tegangnya. "Radit sayang," Novita mulai berbicara dengan lembut, "Papa dan Mama sudah bilang kan, tida
Siang itu, suasana pasar tradisional riuh seperti biasa. Aroma rempah-rempah bercampur dengan bau ikan segar dan sayuran hijau yang baru dipetik. Di tengah hiruk pikuk para pedagang yang menawarkan dagangan mereka, Novita berjalan dengan langkah mantap, sementara Jelita mengikuti beberapa langkah di belakangnya. Sebagai istri kedua, Jelita sudah terbiasa dengan posisi ini - selalu di belakang, tidak terlalu diperhatikan. "Tomat yang ini masih bagus tidak ya?" gumam Novita pada dirinya sendiri, mengamati beberapa tomat merah di lapak sayuran. Jari-jarinya yang lentik memilih dengan teliti, mencari yang terbaik untuk menu makan malam nanti. Jelita, yang sedari tadi tampak gelisah, hanya berdiri diam di samping Novita. Tangannya berkeringat meski udara pasar cukup sejuk di jam segini, dan sesekali ia menggigit bibir bawahnya - kebiasaan yang muncul saat ia merasa cemas. Pikirannya melayang ke kejadian semalam, membuat wajahnya memanas setiap kali mengingatnya. "Jelita," pang
Pagi itu, mentari baru saja mengintip dari balik tirai jendela dapur kediaman keluarga Bambang. Suara denting piring dan sendok yang beradu memecah keheningan, menandakan aktivitas sudah dimulai meski hari masih terbilang pagi.Jelita berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk sup ayam yang masih mengepul. Di sampingnya, Bi Inah sibuk memotong-motong sayuran untuk pelengkap sarapan pagi ini."Bi, tolong ambilkan garam ya," pinta Jelita dengan suara lembut.Bi Inah mengangguk, "Baik, Non. Sebentar ya."Saat Bi Inah berbalik untuk mengambil garam, tiba-tiba Jelita merasakan gelombang mual yang luar biasa. Ia mencengkeram pinggiran meja dapur, berusaha menstabilkan dirinya."Astaga... ada apa ini?" gumamnya pelan
Kepergian Jelita yang tiba-tiba membuat suasana di meja makan kembali hening. Novita menatap punggung Jelita yang menjauh dengan tatapan penuh selidik."Ada apa dengan Jelita, Bang?" tanya Novita pada suaminya, nadanya terdengar curiga.Bambang yang sedang menyuap nasi hampir tersedak mendengar pertanyaan istrinya. "Eh... mungkin dia memang masuk angin seperti yang dia bilang tadi," jawabnya, berusaha terdengar santai.Novita mengerutkan keningnya, jelas tidak puas dengan jawaban Bambang. "Masuk angin tidak seperti itu gejalanya, Bang. Ada yang aneh."Raditya yang sedari tadi memperhatikan percakapan kedua orangtuanya akhirnya angkat bicara, "Mungkin Tante Jelita mau punya adik? Waktu itu teman Radit cerita, ibunya juga sering mual-mual waktu mau punya adik."
Setelah kepergian Bambang ke kantor dan Novita yang mengantar Raditya ke sekolah, suasana rumah kembali tenang. Bi Inah, yang sedari tadi memperhatikan kondisi Jelita dengan khawatir, memutuskan untuk membuatkan sarapan khusus untuk majikan mudanya itu.Dengan hati-hati, Bi Inah membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring roti panggang menuju kamar Jelita. Ia mengetuk pintu perlahan."Non Jelita? Boleh saya masuk?" tanya Bi Inah dari luar.Terdengar suara lemah dari dalam, "Masuk saja, Bi."Bi Inah membuka pintu dan mendapati Jelita masih berbaring di tempat tidur, wajahnya pucat pasi. "Non, saya bawakan teh hangat dan roti panggang. Mungkin bisa membantu Non merasa lebih baik."Jelita berusaha tersenyum, "Terima
"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu di ujung telepon.Jelita yang sedang berbaring di tempat tidurnya tersentak kaget mendengar suara suaminya. "I-iya, Bang. Ada apa?"Bambang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana... keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?""Sudah agak mendingan, Bang. Tadi Bi Inah membuatkan bubur, jadi perutku tidak terlalu mual lagi," jawab Jelita lembut.Hening sejenak. Bambang mengumpulkan keberaniannya sebelum akhirnya berkata, "Jelita... maafkan aku. Mungkin... mungkin ini akibat dari kejadian malam itu."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang mendengar perkataan Bambang. "Bang... jangan bilang begitu. Mungkin ini hanya masuk angin biasa."
Bambang melangkah masuk ke rumah dengan hati berdebar. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia melihat Novita dan Raditya sudah menunggu di ruang keluarga."Aku pulang," sapa Bambang, berusaha terdengar normal."Halo, Papa!" Raditya menjawab dengan riang, sementara Novita hanya mengangguk singkat."Duduklah, Bang," ujar Novita, gesturnya menunjukkan ada hal serius yang ingin dibicarakan.Bambang menelan ludah, duduk di sofa berhadapan dengan istrinya. "Ada apa, Sayang? Apa ada masalah?"Novita mengambil napas dalam sebelum berbicara, "Begini, Bang. Tadi siang aku dapat telepon dari sekolah Radit."Bambang mengernyitkan dahi, "Ada apa dengan Radit?"