Pagi itu, mentari baru saja mengintip dari balik tirai jendela dapur kediaman keluarga Bambang. Suara denting piring dan sendok yang beradu memecah keheningan, menandakan aktivitas sudah dimulai meski hari masih terbilang pagi.Jelita berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk sup ayam yang masih mengepul. Di sampingnya, Bi Inah sibuk memotong-motong sayuran untuk pelengkap sarapan pagi ini."Bi, tolong ambilkan garam ya," pinta Jelita dengan suara lembut.Bi Inah mengangguk, "Baik, Non. Sebentar ya."Saat Bi Inah berbalik untuk mengambil garam, tiba-tiba Jelita merasakan gelombang mual yang luar biasa. Ia mencengkeram pinggiran meja dapur, berusaha menstabilkan dirinya."Astaga... ada apa ini?" gumamnya pelan
Kepergian Jelita yang tiba-tiba membuat suasana di meja makan kembali hening. Novita menatap punggung Jelita yang menjauh dengan tatapan penuh selidik."Ada apa dengan Jelita, Bang?" tanya Novita pada suaminya, nadanya terdengar curiga.Bambang yang sedang menyuap nasi hampir tersedak mendengar pertanyaan istrinya. "Eh... mungkin dia memang masuk angin seperti yang dia bilang tadi," jawabnya, berusaha terdengar santai.Novita mengerutkan keningnya, jelas tidak puas dengan jawaban Bambang. "Masuk angin tidak seperti itu gejalanya, Bang. Ada yang aneh."Raditya yang sedari tadi memperhatikan percakapan kedua orangtuanya akhirnya angkat bicara, "Mungkin Tante Jelita mau punya adik? Waktu itu teman Radit cerita, ibunya juga sering mual-mual waktu mau punya adik."
Setelah kepergian Bambang ke kantor dan Novita yang mengantar Raditya ke sekolah, suasana rumah kembali tenang. Bi Inah, yang sedari tadi memperhatikan kondisi Jelita dengan khawatir, memutuskan untuk membuatkan sarapan khusus untuk majikan mudanya itu.Dengan hati-hati, Bi Inah membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring roti panggang menuju kamar Jelita. Ia mengetuk pintu perlahan."Non Jelita? Boleh saya masuk?" tanya Bi Inah dari luar.Terdengar suara lemah dari dalam, "Masuk saja, Bi."Bi Inah membuka pintu dan mendapati Jelita masih berbaring di tempat tidur, wajahnya pucat pasi. "Non, saya bawakan teh hangat dan roti panggang. Mungkin bisa membantu Non merasa lebih baik."Jelita berusaha tersenyum, "Terima
"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu di ujung telepon.Jelita yang sedang berbaring di tempat tidurnya tersentak kaget mendengar suara suaminya. "I-iya, Bang. Ada apa?"Bambang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana... keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?""Sudah agak mendingan, Bang. Tadi Bi Inah membuatkan bubur, jadi perutku tidak terlalu mual lagi," jawab Jelita lembut.Hening sejenak. Bambang mengumpulkan keberaniannya sebelum akhirnya berkata, "Jelita... maafkan aku. Mungkin... mungkin ini akibat dari kejadian malam itu."Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang mendengar perkataan Bambang. "Bang... jangan bilang begitu. Mungkin ini hanya masuk angin biasa."
Bambang melangkah masuk ke rumah dengan hati berdebar. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia melihat Novita dan Raditya sudah menunggu di ruang keluarga."Aku pulang," sapa Bambang, berusaha terdengar normal."Halo, Papa!" Raditya menjawab dengan riang, sementara Novita hanya mengangguk singkat."Duduklah, Bang," ujar Novita, gesturnya menunjukkan ada hal serius yang ingin dibicarakan.Bambang menelan ludah, duduk di sofa berhadapan dengan istrinya. "Ada apa, Sayang? Apa ada masalah?"Novita mengambil napas dalam sebelum berbicara, "Begini, Bang. Tadi siang aku dapat telepon dari sekolah Radit."Bambang mengernyitkan dahi, "Ada apa dengan Radit?"
Suasana rumah keluarga Bambang terasa mencekam malam itu. Novita duduk terdiam di ruang keluarga, matanya menerawang jauh. Air mata sudah berhenti mengalir, namun jejak-jejaknya masih terlihat jelas di pipinya.Bambang, dengan langkah ragu, menghampiri istrinya. "Sayang..." panggilnya pelan.Novita tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Matanya tetap terpaku pada satu titik di dinding."Novita, maafkan aku," Bambang berlutut di hadapan Novita, berusaha meraih tangannya. "Aku benar-benar minta maaf."Novita menarik tangannya, menghindari sentuhan Bambang. "Maaf?" akhirnya ia bersuara, nadanya dingin. "Kau pikir maaf cukup, Bang?"Bambang menunduk, "Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kumohon, bicaralah padaku."
Pagi itu, mentari perlahan merangkak naik, menyinari kediaman keluarga Baskara. Namun, kehangatan sinarnya tak mampu menembus atmosfer dingin yang menyelimuti rumah itu.Novita sudah bangun sejak subuh, matanya sembab akibat tangisan semalam. Ia duduk termenung di meja makan, tangannya bergerak mekanis mengoles selai ke atas roti tawar.Semalam, ketika mereka berbaring di tempat tidur, Bambang berusaha memeluk Novita. Namun, wanita itu dengan cepat membalikkan badan, memunggungi suaminya.Bambang hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa luka yang ia torehkan tak akan sembuh dalam semalam.Suara langkah kaki kecil terdengar menuruni tangga. Raditya, dengan wajah polosnya, menghampiri Novita yang masih sibuk dengan rotinya.
Sementara itu, Jelita yang masih berada di kamarnya, bisa merasakan ketegangan yang terjadi di bawah. Air matanya mengalir tanpa suara, menyesali keadaan yang telah ia timbulkan. Ia ingin turun, ingin menjelaskan, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak.Setengah jam kemudian, suara mobil Novita terdengar meninggalkan halaman rumah. Bambang berdiri di depan jendela, memandangi mobil yang membawa istri dan anaknya itu menjauh. Hatinya terasa hancur, menyadari betapa rumit situasi yang harus ia hadapi.Dengan langkah berat, Bambang menaiki tangga menuju kamar Jelita. Ia harus memastikan kondisi istri keduanya itu sebelum berangkat ke kantor. Namun setiap langkahnya terasa berat, mengingat tatapan terluka Novita tadi pagi.Saat membuka pintu kamar Jelita, Bambang mendapati wanita itu sedang terisak pelan di te
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No