Pagi itu, mentari perlahan merangkak naik, menyinari kediaman keluarga Baskara. Namun, kehangatan sinarnya tak mampu menembus atmosfer dingin yang menyelimuti rumah itu.
Novita sudah bangun sejak subuh, matanya sembab akibat tangisan semalam. Ia duduk termenung di meja makan, tangannya bergerak mekanis mengoles selai ke atas roti tawar.
Semalam, ketika mereka berbaring di tempat tidur, Bambang berusaha memeluk Novita. Namun, wanita itu dengan cepat membalikkan badan, memunggungi suaminya.
Bambang hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa luka yang ia torehkan tak akan sembuh dalam semalam.
Suara langkah kaki kecil terdengar menuruni tangga. Raditya, dengan wajah polosnya, menghampiri Novita yang masih sibuk dengan rotinya.
Sementara itu, Jelita yang masih berada di kamarnya, bisa merasakan ketegangan yang terjadi di bawah. Air matanya mengalir tanpa suara, menyesali keadaan yang telah ia timbulkan. Ia ingin turun, ingin menjelaskan, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak.Setengah jam kemudian, suara mobil Novita terdengar meninggalkan halaman rumah. Bambang berdiri di depan jendela, memandangi mobil yang membawa istri dan anaknya itu menjauh. Hatinya terasa hancur, menyadari betapa rumit situasi yang harus ia hadapi.Dengan langkah berat, Bambang menaiki tangga menuju kamar Jelita. Ia harus memastikan kondisi istri keduanya itu sebelum berangkat ke kantor. Namun setiap langkahnya terasa berat, mengingat tatapan terluka Novita tadi pagi.Saat membuka pintu kamar Jelita, Bambang mendapati wanita itu sedang terisak pelan di te
"Selamat, Pak Bambang dan Bu Jelita. Kandungan Ibu sudah memasuki usia 5 minggu," ujar Dokter Amelia dengan senyum hangat.Jelita dan Bambang saling berpandangan. Ada campuran perasaan bahagia dan cemas yang terpancar dari mata mereka."Bagaimana perkembangan janinnya, Dok?" tanya Bambang, suaranya sedikit bergetar."Sejauh ini perkembangannya normal," jawab Dokter Amelia sambil menunjukkan hasil USG. "Lihat ini, ukurannya sekitar 5 milimeter, seperti biji wijen. Tapi jangan khawatir, ini normal untuk usia kehamilan 5 minggu."Jelita menggenggam tangan Bambang erat, matanya berkaca-kaca menatap layar USG. "Itu... itu anak kita, Bang," bisiknya pelan.Bambang mengangguk, tak mampu berkata-kata. Perasaannya campur aduk. Di satu
Sisa perjalanan mereka lalui dalam keheningan. Bambang sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan situasi ini pada Novita dan Raditya. Sementara Jelita, tangannya tak lepas dari perutnya, seolah ingin melindungi kehidupan kecil yang baru tumbuh di sana.Ketika mobil memasuki halaman rumah, Bambang melihat mobil Novita terparkir di sana. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa ia harus segera menghadapi kenyataan."Jelita," ujar Bambang sebelum mereka turun dari mobil. "Biarkan aku yang bicara dengan Novita nanti, ya? Kau istirahatlah dulu di kamarmu."Jelita mengangguk patuh. "Baik, Bang. Tapi... kalau Mbak Novita ingin bicara denganku, aku siap."Bambang tersenyum lemah, "Terima kasih, Jelita. Kau sangat pengertian."
Setelah pertengkaran hebat di ruang tamu, suasana rumah menjadi sunyi dan mencekam. Bambang mengurung diri di ruang kerjanya, sementara Jelita duduk termenung di kamarnya. Novita, yang tadinya mengunci diri di kamar, akhirnya keluar dengan wajah yang sulit dibaca.Dengan langkah mantap, Novita mengetuk pintu kamar Jelita. "Jelita, bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan nada datar.Jelita, yang masih terkejut dengan kedatangan Novita, hanya bisa mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. "Silakan masuk, Mbak," ujarnya lirih.Novita masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya. Ia memandang sekeliling kamar yang ditempati Jelita selama ini, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara."Jelita, aku ingin kau pulang ke rumah orang tuamu," ucap Novita
Malam semakin larut, namun Bambang masih terjaga. Pikirannya berkecamuk, memikirkan pertengkaran hebat yang baru saja terjadi di rumahnya. Ia merasa bersalah telah membuat kedua istrinya terluka, tapi di sisi lain, ia juga merasa frustrasi dengan situasi yang seolah tak ada jalan keluarnya. Setelah beberapa jam mengurung diri di ruang kerja, Bambang memutuskan untuk berbicara dengan Jelita. Ia ingin memastikan bahwa istrinya itu baik-baik saja setelah pertengkaran tadi. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju kamar Jelita. Bambang mengetuk pintu kamar Jelita perlahan. "Jelita, ini aku. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara lembut. Tak ada jawaban. Bambang mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Jelita?" panggilnya lagi. Masih tak ada jawaban. Khawatir terjadi sesuatu, Bambang akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di hadapannya. Jelita sedang sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam sebuah koper bes
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Jelita melangkah pelan menuruni tangga, menyeret kopernya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.Bambang mengikuti di belakangnya, membawa tas lain milik Jelita. Mereka berusaha tidak membangunkan Novita dan Raditya yang masih terlelap.Sesampainya di lantai bawah, mereka bertemu dengan Bi Inah yang sedang menyapu teras. Melihat Jelita dengan koper besarnya, wajah Bi Inah langsung berubah pucat."Non Jelita mau ke mana?" tanya Bi Inah dengan suara bergetar.Jelita tersenyum lemah, "Bi, saya mau pulang ke rumah orang tuaku untuk sementara waktu."Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Bi Inah. "Tapi kenapa, Non? Apa ada masalah?"Jelita menggeleng pelan, "Tidak ada apa-apa, Bi. Aku hanya ingin istirahat sejenak di rumah orang tua. Aku ingin didampingi oleh ibuku saat kehamilan anak keduaku ini."Bi Inah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia terisak pelan, "Non Jelita jangan pergi. Nanti siapa yang akan m
"Jelita, ayo masuk dulu, Nak. Kita bicara di dalam," ujar ibu Jelita sambil membuka pintu rumah lebih lebar.Jelita mengangguk pelan, lalu berbalik sejenak untuk melambai pada Bambang yang masih berdiri di samping mobilnya. Bambang membalas lambaian itu dengan senyum sedih, sebelum akhirnya masuk ke mobil dan perlahan menjauh dari rumah mertuanya.Begitu masuk ke dalam rumah, ibu Jelita langsung membawa putrinya ke ruang keluarga. Ayah Jelita yang baru saja keluar dari kamar, terkejut melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba."Lho, Jelita? Kenapa tiba-tiba pulang?" tanya ayahnya heran.Jelita duduk di sofa, sementara kedua orang tuanya mengambil posisi di hadapannya. Selama beberapa saat, ruangan itu dipenuhi keheningan yang canggung.Jelita menunduk, memainkan jari-jarinya dengan gelisah, sementara kedua orang tuanya saling bertukar pandang penuh tanya."Jelita, sayang," ibunya akhirnya memecah keheningan, "ada apa sebenarnya? Kenapa kamu tiba-tiba pulang
Ibunya menghela napas panjang. Ia tahu putrinya sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga tahu bahwa memaksa Jelita untuk bicara hanya akan membuatnya semakin menutup diri."Baiklah, Jelita," ujar ibunya akhirnya. "Jika itu yang kamu mau, kami akan senang sekali menemanimu selama masa kehamilanmu. Tapi ingat, kami selalu ada di sini jika kamu ingin bicara, oke?"Jelita mengangguk, merasa lega sekaligus bersalah. Lega karena orang tuanya tidak memaksa ia untuk bercerita lebih jauh, tapi bersalah karena ia harus menyembunyikan kebenaran dari mereka."Terima kasih, Bu, Yah," ucap Jelita lirih.Ayahnya bangkit dari duduknya, "Baiklah, karena kamu akan tinggal di sini untuk sementara, bagaimana kalau kita bereskan barang-barangmu? Kamarmu masih sama seperti dulu, Nak."Jelita tersenyum kecil dan mengangguk. Ia berdiri, bersiap untuk mengikuti ayahnya ke lantai atas, tapi tiba-tiba tubuhnya oleng. Untungnya, ibunya dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum ia terjatuh.