"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu di ujung telepon.
Jelita yang sedang berbaring di tempat tidurnya tersentak kaget mendengar suara suaminya. "I-iya, Bang. Ada apa?"
Bambang menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana... keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?"
"Sudah agak mendingan, Bang. Tadi Bi Inah membuatkan bubur, jadi perutku tidak terlalu mual lagi," jawab Jelita lembut.
Hening sejenak. Bambang mengumpulkan keberaniannya sebelum akhirnya berkata, "Jelita... maafkan aku. Mungkin... mungkin ini akibat dari kejadian malam itu."
Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang mendengar perkataan Bambang. "Bang... jangan bilang begitu. Mungkin ini hanya masuk angin biasa."
Bambang melangkah masuk ke rumah dengan hati berdebar. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia melihat Novita dan Raditya sudah menunggu di ruang keluarga."Aku pulang," sapa Bambang, berusaha terdengar normal."Halo, Papa!" Raditya menjawab dengan riang, sementara Novita hanya mengangguk singkat."Duduklah, Bang," ujar Novita, gesturnya menunjukkan ada hal serius yang ingin dibicarakan.Bambang menelan ludah, duduk di sofa berhadapan dengan istrinya. "Ada apa, Sayang? Apa ada masalah?"Novita mengambil napas dalam sebelum berbicara, "Begini, Bang. Tadi siang aku dapat telepon dari sekolah Radit."Bambang mengernyitkan dahi, "Ada apa dengan Radit?"
Suasana rumah keluarga Bambang terasa mencekam malam itu. Novita duduk terdiam di ruang keluarga, matanya menerawang jauh. Air mata sudah berhenti mengalir, namun jejak-jejaknya masih terlihat jelas di pipinya.Bambang, dengan langkah ragu, menghampiri istrinya. "Sayang..." panggilnya pelan.Novita tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Matanya tetap terpaku pada satu titik di dinding."Novita, maafkan aku," Bambang berlutut di hadapan Novita, berusaha meraih tangannya. "Aku benar-benar minta maaf."Novita menarik tangannya, menghindari sentuhan Bambang. "Maaf?" akhirnya ia bersuara, nadanya dingin. "Kau pikir maaf cukup, Bang?"Bambang menunduk, "Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kumohon, bicaralah padaku."
Pagi itu, mentari perlahan merangkak naik, menyinari kediaman keluarga Baskara. Namun, kehangatan sinarnya tak mampu menembus atmosfer dingin yang menyelimuti rumah itu.Novita sudah bangun sejak subuh, matanya sembab akibat tangisan semalam. Ia duduk termenung di meja makan, tangannya bergerak mekanis mengoles selai ke atas roti tawar.Semalam, ketika mereka berbaring di tempat tidur, Bambang berusaha memeluk Novita. Namun, wanita itu dengan cepat membalikkan badan, memunggungi suaminya.Bambang hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa luka yang ia torehkan tak akan sembuh dalam semalam.Suara langkah kaki kecil terdengar menuruni tangga. Raditya, dengan wajah polosnya, menghampiri Novita yang masih sibuk dengan rotinya.
Sementara itu, Jelita yang masih berada di kamarnya, bisa merasakan ketegangan yang terjadi di bawah. Air matanya mengalir tanpa suara, menyesali keadaan yang telah ia timbulkan. Ia ingin turun, ingin menjelaskan, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak.Setengah jam kemudian, suara mobil Novita terdengar meninggalkan halaman rumah. Bambang berdiri di depan jendela, memandangi mobil yang membawa istri dan anaknya itu menjauh. Hatinya terasa hancur, menyadari betapa rumit situasi yang harus ia hadapi.Dengan langkah berat, Bambang menaiki tangga menuju kamar Jelita. Ia harus memastikan kondisi istri keduanya itu sebelum berangkat ke kantor. Namun setiap langkahnya terasa berat, mengingat tatapan terluka Novita tadi pagi.Saat membuka pintu kamar Jelita, Bambang mendapati wanita itu sedang terisak pelan di te
"Selamat, Pak Bambang dan Bu Jelita. Kandungan Ibu sudah memasuki usia 5 minggu," ujar Dokter Amelia dengan senyum hangat.Jelita dan Bambang saling berpandangan. Ada campuran perasaan bahagia dan cemas yang terpancar dari mata mereka."Bagaimana perkembangan janinnya, Dok?" tanya Bambang, suaranya sedikit bergetar."Sejauh ini perkembangannya normal," jawab Dokter Amelia sambil menunjukkan hasil USG. "Lihat ini, ukurannya sekitar 5 milimeter, seperti biji wijen. Tapi jangan khawatir, ini normal untuk usia kehamilan 5 minggu."Jelita menggenggam tangan Bambang erat, matanya berkaca-kaca menatap layar USG. "Itu... itu anak kita, Bang," bisiknya pelan.Bambang mengangguk, tak mampu berkata-kata. Perasaannya campur aduk. Di satu
Sisa perjalanan mereka lalui dalam keheningan. Bambang sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan situasi ini pada Novita dan Raditya. Sementara Jelita, tangannya tak lepas dari perutnya, seolah ingin melindungi kehidupan kecil yang baru tumbuh di sana.Ketika mobil memasuki halaman rumah, Bambang melihat mobil Novita terparkir di sana. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa ia harus segera menghadapi kenyataan."Jelita," ujar Bambang sebelum mereka turun dari mobil. "Biarkan aku yang bicara dengan Novita nanti, ya? Kau istirahatlah dulu di kamarmu."Jelita mengangguk patuh. "Baik, Bang. Tapi... kalau Mbak Novita ingin bicara denganku, aku siap."Bambang tersenyum lemah, "Terima kasih, Jelita. Kau sangat pengertian."
Setelah pertengkaran hebat di ruang tamu, suasana rumah menjadi sunyi dan mencekam. Bambang mengurung diri di ruang kerjanya, sementara Jelita duduk termenung di kamarnya. Novita, yang tadinya mengunci diri di kamar, akhirnya keluar dengan wajah yang sulit dibaca.Dengan langkah mantap, Novita mengetuk pintu kamar Jelita. "Jelita, bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan nada datar.Jelita, yang masih terkejut dengan kedatangan Novita, hanya bisa mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. "Silakan masuk, Mbak," ujarnya lirih.Novita masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya. Ia memandang sekeliling kamar yang ditempati Jelita selama ini, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara."Jelita, aku ingin kau pulang ke rumah orang tuamu," ucap Novita
Malam semakin larut, namun Bambang masih terjaga. Pikirannya berkecamuk, memikirkan pertengkaran hebat yang baru saja terjadi di rumahnya. Ia merasa bersalah telah membuat kedua istrinya terluka, tapi di sisi lain, ia juga merasa frustrasi dengan situasi yang seolah tak ada jalan keluarnya. Setelah beberapa jam mengurung diri di ruang kerja, Bambang memutuskan untuk berbicara dengan Jelita. Ia ingin memastikan bahwa istrinya itu baik-baik saja setelah pertengkaran tadi. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju kamar Jelita. Bambang mengetuk pintu kamar Jelita perlahan. "Jelita, ini aku. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara lembut. Tak ada jawaban. Bambang mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Jelita?" panggilnya lagi. Masih tak ada jawaban. Khawatir terjadi sesuatu, Bambang akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di hadapannya. Jelita sedang sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam sebuah koper bes