waaah sudah sampai bab ke 100 nih terima kasih bagi para pembaca kesayangan yang selalu dukung novel ini masih akan ada bab-bab selanjutnya yang seru tunggu update dr author ya ;-) thankyou <3
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Jelita melangkah pelan menuruni tangga, menyeret kopernya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.Bambang mengikuti di belakangnya, membawa tas lain milik Jelita. Mereka berusaha tidak membangunkan Novita dan Raditya yang masih terlelap.Sesampainya di lantai bawah, mereka bertemu dengan Bi Inah yang sedang menyapu teras. Melihat Jelita dengan koper besarnya, wajah Bi Inah langsung berubah pucat."Non Jelita mau ke mana?" tanya Bi Inah dengan suara bergetar.Jelita tersenyum lemah, "Bi, saya mau pulang ke rumah orang tuaku untuk sementara waktu."Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Bi Inah. "Tapi kenapa, Non? Apa ada masalah?"Jelita menggeleng pelan, "Tidak ada apa-apa, Bi. Aku hanya ingin istirahat sejenak di rumah orang tua. Aku ingin didampingi oleh ibuku saat kehamilan anak keduaku ini."Bi Inah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia terisak pelan, "Non Jelita jangan pergi. Nanti siapa yang akan m
"Jelita, ayo masuk dulu, Nak. Kita bicara di dalam," ujar ibu Jelita sambil membuka pintu rumah lebih lebar.Jelita mengangguk pelan, lalu berbalik sejenak untuk melambai pada Bambang yang masih berdiri di samping mobilnya. Bambang membalas lambaian itu dengan senyum sedih, sebelum akhirnya masuk ke mobil dan perlahan menjauh dari rumah mertuanya.Begitu masuk ke dalam rumah, ibu Jelita langsung membawa putrinya ke ruang keluarga. Ayah Jelita yang baru saja keluar dari kamar, terkejut melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba."Lho, Jelita? Kenapa tiba-tiba pulang?" tanya ayahnya heran.Jelita duduk di sofa, sementara kedua orang tuanya mengambil posisi di hadapannya. Selama beberapa saat, ruangan itu dipenuhi keheningan yang canggung.Jelita menunduk, memainkan jari-jarinya dengan gelisah, sementara kedua orang tuanya saling bertukar pandang penuh tanya."Jelita, sayang," ibunya akhirnya memecah keheningan, "ada apa sebenarnya? Kenapa kamu tiba-tiba pulang
Ibunya menghela napas panjang. Ia tahu putrinya sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga tahu bahwa memaksa Jelita untuk bicara hanya akan membuatnya semakin menutup diri."Baiklah, Jelita," ujar ibunya akhirnya. "Jika itu yang kamu mau, kami akan senang sekali menemanimu selama masa kehamilanmu. Tapi ingat, kami selalu ada di sini jika kamu ingin bicara, oke?"Jelita mengangguk, merasa lega sekaligus bersalah. Lega karena orang tuanya tidak memaksa ia untuk bercerita lebih jauh, tapi bersalah karena ia harus menyembunyikan kebenaran dari mereka."Terima kasih, Bu, Yah," ucap Jelita lirih.Ayahnya bangkit dari duduknya, "Baiklah, karena kamu akan tinggal di sini untuk sementara, bagaimana kalau kita bereskan barang-barangmu? Kamarmu masih sama seperti dulu, Nak."Jelita tersenyum kecil dan mengangguk. Ia berdiri, bersiap untuk mengikuti ayahnya ke lantai atas, tapi tiba-tiba tubuhnya oleng. Untungnya, ibunya dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum ia terjatuh.
"Novita, apa kamu yang mengusir Jelita?" tanya Bambang dengan nada tegas begitu ia melangkah masuk ke ruang tamu.Novita, yang sudah duduk di kursi ruang tamu setelah mengantar Raditya ke sekolah, hanya melirik sekilas ke arah Bambang. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan emosi apa pun."Itu kemauan Jelita sendiri," jawab Novita dingin. "Aku tidak ikut campur."Bambang mengerutkan dahinya, jelas tidak puas dengan jawaban yang diberikan Novita. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan wanita itu."Benarkah? Lalu kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi? Jelita bukan tipe orang yang akan mengambil keputusan seperti itu tanpa alasan," desak Bambang.Novita menghela napas panjang, terlihat sedikit jengkel dengan pertan
Siang itu, matahari bersinar terik di atas kota. Novita beranjak dari kursinya di ruang tamu, meraih tas dan berjalan menuju garasi. Sudah waktunya untuk menjemput Raditya dari sekolah."Pak Abdul, tolong siapkan mobilnya," ujar Novita pada sopir pribadinya melalui interkom."Baik, Nyonya," jawab Pak Abdul singkat.Novita melangkah keluar rumah, disambut oleh Pak Abdul yang sudah membukakan pintu mobil untuknya. Setelah Novita masuk dan duduk dengan nyaman, Pak Abdul pun mulai menjalankan mobil.Keheningan menyelimuti perjalanan mereka selama beberapa saat. Namun, Pak Abdul yang biasanya pendiam, tiba-tiba membuka percakapan."Maaf, Nyonya," ujar Pak Abdul ragu-ragu. "Boleh saya bertanya sesuatu?"
Senja mulai merambat di langit Kota, ketika Jelita duduk di beranda rumah orang tuanya. Tangannya mengelus lembut perutnya yang masih rata, merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya. Aroma masakan menguar dari dapur, mengingatkannya akan masa kecilnya dulu."Jelita, ayo masuk, Nak. Makan malam sudah siap," panggil Ibu Jelita, dari dalam rumah.Jelita tersenyum, perlahan bangkit dari kursinya. "Iya, Bu. Jelita segera ke sana."Melangkah masuk ke ruang makan, Jelita disambut oleh pemandangan meja makan yang penuh dengan hidangan lezat dan bergizi.Ada sup ayam kampung, ikan bakar rica-rica, tumis kangkung, dan beberapa jenis sayuran rebus. Semua hidangan itu adalah favorit Jelita sejak kecil."Wah, Bu. Ini semua untuk J
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa berbeda. Bambang, Novita, dan Raditya duduk mengelilingi meja makan. Hidangan lezat tersaji di hadapan mereka, namun atmosfer di ruangan itu terasa berat dan canggung.Raditya, dengan kepolosannya, memecah keheningan. "Papa," panggilnya, menatap Bambang dengan mata besarnya yang penuh tanya.Bambang mengalihkan perhatiannya dari piring ke putranya. "Ya, Radit? Ada apa?"Raditya meletakkan sendoknya, ekspresinya berubah serius. "Papa, Radit mau tanya. Kenapa Tante Jelita tidak kembali ke sini? Radit kangen ingin dibuatkan pancake lagi."Pertanyaan itu membuat Bambang dan Novita terdiam sejenak. Bambang melirik ke arah Novita, yang terlihat tidak nyaman dengan topik pembicaraan ini.
Suasana di ruang makan keluarga Baskara masih terasa berat setelah kepergian Raditya ke kamarnya. Bambang dan Novita duduk berhadapan, ketegangan terasa di antara mereka.Bambang menatap Novita lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi istrinya. "Nov, aku ingin kau jujur padaku. Apa benar kau yang mengusir Jelita?"Novita menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Bang. Aku tidak mengusir siapa-siapa. Jelita pergi atas kemauannya sendiri."Bambang menghela napas panjang. "Tapi Radit bilang dia melihatmu keluar dari kamar Jelita dengan wajah marah. Dan dia mendengar Jelita menangis setelahnya. Bagaimana kau menjelaskan itu?"Novita terdiam sejenak, tangannya gemetar saat mengambil gelas air di depannya. "Itu... itu hanya salah paham, Bang. Kami memang berbicara, tapi aku