Suasana di ruang makan keluarga Baskara masih terasa berat setelah kepergian Raditya ke kamarnya. Bambang dan Novita duduk berhadapan, ketegangan terasa di antara mereka.
Bambang menatap Novita lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi istrinya. "Nov, aku ingin kau jujur padaku. Apa benar kau yang mengusir Jelita?"
Novita menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Bang. Aku tidak mengusir siapa-siapa. Jelita pergi atas kemauannya sendiri."
Bambang menghela napas panjang. "Tapi Radit bilang dia melihatmu keluar dari kamar Jelita dengan wajah marah. Dan dia mendengar Jelita menangis setelahnya. Bagaimana kau menjelaskan itu?"
Novita terdiam sejenak, tangannya gemetar saat mengambil gelas air di depannya. "Itu... itu hanya salah paham, Bang. Kami memang berbicara, tapi aku
"Wah, pancake!" seru Raditya dengan riang saat ia mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Anak laki-laki itu sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya, rambut disisir rapi dan sepatu mengkilap.Novita tersenyum lembut, meletakkan sepiring pancake hangat di hadapan putranya. "Iya sayang, Mama buatkan pancake spesial untukmu pagi ini."Bambang bergabung di meja makan, secangkir kopi panas mengepul di tangannya. "Pagi semua," sapanya, mengecup kening Raditya sebelum duduk di kursinya."Pagi, Pa!" balas Raditya ceria. Ia mengambil garpu dan pisau, mulai memotong pancake-nya dengan antusias.Novita duduk di seberang Raditya, matanya penuh harap mengamati putranya yang akan mencicipi masakannya. "Bagaimana rasanya, sayang?"Raditya
Bambang merangkul bahu Istri pertamanya itu. "Kau lebih dari cukup, Nov. Kau adalah ibu yang luar biasa untuk Radit. Tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa Jelita juga pernah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Dia adalah ibu kandung Raditya.""Tapi dia sendiri yang memutuskan pergi, Bang," isak Novita. "Dia sendiri yang meninggalkan Raditya."Bambang menghela napas. "Kita masih belum tahu alasan sebenarnya dia pergi, Nov. Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlanjut. Demi Raditya. Demi kebahagiaan Raditya kita."Novita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kau benar. Aku... aku akan minta maaf pada Radit, Bang."Mereka berdua keluar dari kamar, kembali ke ruang makan di mana Raditya masih duduk, memainkan sisa pancake di piring
"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu melalui telepon genggamnya. Ia baru saja tiba di kantornya, tapi pikirannya masih tertuju pada kejadian pagi tadi di rumah.Terdengar jeda sejenak sebelum suara lembut Jelita menjawab, "Ya, Bang. Ada apa?"Bambang menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbicara.""Aku... baik-baik saja," jawab Jelita, terdengar sedikit gugup. "Bagaimana dengan Abang dan keluarga?""Kami... yah, kami mencoba untuk baik-baik saja," Bambang menghela napas. "Jelita, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah aku mengunjungimu sore ini?"Hening sejenak sebelum Jelita menjawab, "Baiklah, Bang. Aku ada di rumah sore ini.""Oh," Bam
Bambang menatap Novita dengan hati-hati, menyadari bahwa situasi ini bisa berubah menjadi perdebatan panas. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Nov, aku menemuinya karena kita perlu tahu alasan di balik kepergiannya," Bambang memulai dengan lembut. "Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang Raditya."Novita mendengus, matanya berkilat marah. "Oh, jadi sekarang kau memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk keluarga kita? Tanpa membicarakannya denganku terlebih dahulu?"Bambang mencoba menenangkan istrinya. "Nov, aku tidak bermaksud-""Tidak bermaksud apa, Bang?" potong Novita, suaranya meninggi. "Tidak bermaksud mengabaikan perasaanku? Tidak bermaksud membela wanita itu lagi?""Novita, tolong dengarkan aku du
Enam bulan berlalu. Musim berganti, daun-daun berguguran dan tumbuh kembali, namun waktu seolah berhenti bagi keluarga yang terpecah ini.Bambang hanya bisa menghubungi Jelita melalui telepon. Dan sesekali saat ia ada kesempatan, ia mengunjungi Jelita ke rumah orangtuanya meski hanya sebentar untuk memastikan keadaan Jelita.Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Jelita berdiri di teras, sapu di tangan dan perut yang kini membuncit. Ia menyapu dedaunan kering dengan gerakan lambat, pikirannya melayang jauh. Enam bulan, pikirnya. Enam bulan tanpa melihat wajah Raditya, tanpa mendengar tawanya, tanpa memeluknya.Sementara itu, di rumah Bambang dan Novita, suasana tidak jauh berbeda dari enam bulan lalu. Novita masih menyimpan amarah dan kekecewaan, ego yang terlalu besar untuk diredakan oleh waktu atau bujukan B
"Papa," panggil Radit, mengambil foto itu dan menunjukkannya pada Bambang.Bambang, yang kebetulan lewat, terkejut melihat foto di tangan Radit. Ia melirik ke arah dapur, memastikan Novita tidak mendengar."Itu... itu Tante Jelita, Radit. Kamu ingat?" jawab Bambang pelan.Radit mengerutkan dahinya, berusaha mengingat. "Tante Jelita? Yang suka buatin pancake itu ya, Pa?"Bambang tersenyum sedih. "Iya, sayang. Yang suka buatin pancake buat kamu.""Kenapa Tante Jelita nggak pernah ke sini lagi, Pa?" tanya Radit polos.Bambang terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi rumit ini pada anaknya yang masih kecil?
Sore itu, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah orang tua Jelita. Faris, dengan setelan rapi khas pengusaha muda, keluar dari mobilnya dengan membawa oleh-oleh dari luar negeri.Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengunjungi keluarga Jelita setiap kali ia pulang dari perjalanan bisnis.Namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang sangat familiar berdiri di halaman. Jelita, dengan perut membuncit, sedang merapikan tanaman. Faris mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi."Jelita?" panggil Faris pelan, suaranya penuh keterkejutan.Jelita menoleh, sama terkejutnya. "Kak Faris? Kamu... sedang apa di sini?"Mereka berdua terdiam sejenak, tenggelam dalam keterkejutan masing-masing. Jelita segera menghampiri Faris dan berbisik, "Kak Faris, apa kamu pernah cerita ke orang tuaku tentang... tentang aku?"Faris menggeleng. "Tidak, aku tidak pernah cerita apa-apa. Aku hanya datang berkunjung dan mengobrol dengan Ayah dan Ibumu seperti biasa. Tapi Jelita, k
"Kamu tahu, Jelita... Faris itu anak yang sangat baik," ujar Ibu Jelita sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. "Sebelum pergi ke luar negeri, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke sini hampir setiap bulan." Jelita mengaduk tehnya perlahan, "Benarkah, Bu?" "Iya. Dia sering mengobrol dengan ayahmu, membawakan oleh-oleh, dan selalu menanyakan kabar keluarga kita," Ibu Jelita tersenyum lembut. "Tujuh bulan kemarin memang dia tidak datang karena harus mengurus bisnis di luar negeri." "Ibu..." Jelita menatap ibunya ragu. "Kenapa Ibu tidak pernah cerita?" Ibu Jelita menghela napas, "Ibu pikir kamu sudah tahu. Lagipula, waktu itu kan kamu tinggal di rumah Bambang." Hening sejenak. Suara angin yang berhembus mengisi kekosongan di antara mereka. "Jelita," panggil ibunya lembut. "Ibu lihat bagaimana Faris memandangmu tadi. Tatapan itu... tatapan yang penuh cinta dan ketulusan." Jelita menunduk, tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang membuncit. "Aku tahu, Bu." "Kalau kamu lelah