Hai pembaca kesayangan mohon maaf hari jni terlambat upload (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩) dikarenakan ada acara bersama keluarga
Ponsel Jelita bergetar di meja samping tempat tidurnya. Nama "Bambang" tertera di layar. Dengan tangan sedikit gemetar, Jelita mengangkat telepon itu. "Halo, Bang?" sapa Jelita lembut. "Halo, Jelita. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Bambang dari seberang telepon. "Baik, Bang. Bayinya juga sehat, tadi siang baru saja menendang-nendang," jawab Jelita sambil mengusap perutnya. "Syukurlah kalau begitu," Bambang terdiam sejenak. "Kamu sudah makan? Jangan lupa minum vitamin ya." "Sudah, Bang. Tadi siang juga ada tamu..." "Tamu? Siapa?" tanya Bambang penasaran. Jelita menarik napas pelan sebelum menjawab, "Kak Faris, Bang. Dia baru pulang dari luar negeri." Hening sejenak. Jelita bisa merasakan perubahan atmosfer pembicaraan mereka. "Faris?" suara Bambang terdengar berbeda. "Ngapain dia ke rumah orangtuamu?" "Oh... memang sudah biasa kok, Bang. Kak Faris hampir setiap bulan mengunjungi Ayah dan Ibu," jawab Jelita. “Tapi tujuh bulan kemarin dia di luar negeri, makanya ba
"Selamat pagi, Bu Ratna! Jelita ada?" suara Faris terdengar ceria dari depan pintu.Ibu Jelita tersenyum melihat Faris yang sudah rapi dengan kemeja biru muda. "Ada, Faris. Ayo masuk dulu.""Kak Faris?" Jelita muncul dari arah dapur, masih mengenakan daster rumahan. "Kok pagi-pagi sudah ke sini?"Faris tersenyum lebar, "Aku mau mengajakmu berbelanja keperluan si kecil. Sudah mulai harus disiapkan kan?""Eh?" Jelita terkejut. "Tapi... hari ini aku ada jadwal ke dokter kandungan.""Justru bagus!" sahut Faris antusias. "Aku bisa mengantarmu ke dokter dulu, baru setelah itu kita berbelanja. Bagaimana?"Jelita melirik ibunya, mencari pendapat. Ibu Jelita mengangguk menyetujui."Pergilah, Jelita. Biar Faris yang menemanimu. Ibu ada arisan hari ini," ujar Ibu Jelita."Tap, bui..." Jelita masih ragu."Sudah, tidak ada tapi-tapian," potong Faris. "Ayo cepat bersiap. Nanti terlambat ke dokternya."Setengah jam kemudian, mobil Faris melaju ke rumah saki
Setelah puas berbelanja, Faris mengajak Jelita untuk mampir ke sebuah restoran mewah dekat pusat perbelanjaan. "Kamu mau pesan apa?" tanya Faris sambil membuka menu restoran mewah tersebut."Terserah Kak Faris saja. Kakak yang lebih tahu makanan di sini," jawab Jelita, matanya masih menelusuri belanjaan mereka yang memenuhi kursi di sampingnya."Baiklah, untuk ibu hamil... ah, sepertinya steak salmon ini cocok untukmu. Kaya protein dan omega-3," Faris tersenyum, lalu memanggil pelayan.Sementara menunggu pesanan, mereka membicarakan barang-barang yang baru saja dibeli. Suasana terasa ringan dan menyenangkan, sampai Jelita melihat sosok yang familiar memasuki restoran."Abang..." bisik Jelita pelan, matanya melebar.Faris menoleh ke arah pandangan Jelita. Benar saja, Bambang sedang berjalan dengan seorang pria yang tampak seperti klien bisnisnya. Belum sempat mereka bereaksi, Bambang sudah lebih dulu menangkap sosok mereka."Jelita?" Bambang menghampiri meja mereka, berusaha menyembun
"Jelita," suara Bambang terdengar dari seberang telepon, "bisa kita bicara?"Jelita yang baru saja hendak tidur, mengubah posisinya menjadi duduk. Lampu tidur di kamarnya menyoroti wajahnya yang lelah namun tetap cantik. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. "Iya, Bang.""Tentang tadi siang..." Bambang menarik napas panjang. Suaranya terdengar berat, seolah ada beban besar yang ditanggungnya. "Maaf kalau aku bersikap tidak sopan."Jelita memejamkan mata, teringat kejadian siang tadi di restoran. Pertemuan tidak terduga antara dia, Faris, dan Bambang yang berujung pada ketegangan. "Tidak apa-apa, Bang," jawab Jelita lembut. "Aku mengerti.""Faris..." Bambang terdiam sejenak. Dari nada suaranya, Jelita bisa merasakan kecemburuan yang berusaha ditahan. "Di
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang baru bagi Jelita. Perutnya yang semakin membesar tidak menghalanginya untuk tetap beraktifitas seperti biasa.Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, lalu duduk di teras belakang rumah, memandangi kebun kecil yang ditanaminya dengan berbagai sayuran dan bunga.Di saat-saat seperti ini, ia sering berbicara dengan bayi dalam kandungannya, bercerita tentang masa depan yang akan mereka jalani berdua."Jelita," suara lembut ibunya menginterupsi lamunannya pagi itu. "Sudah sarapan, Nak?"Jelita tersenyum, menunjukkan piring kosong di sampingnya. "Sudah, Bu. Tadi masak nasi goreng."Ibu duduk di sampingnya, memandangi putrinya dengan tatapan penuh kasih. "Ibu lihat kamu serin
Malam itu, tepat pukul sebelas malam, Jelita merasakan kontraksi yang luar biasa. Ia yang sedang berbaring mencoba tidur, tiba-tiba terbangun dengan rasa sakit yang menusuk."Ibu!" teriaknya, "Ibu... sakit sekali..."Kedua orangtuanya yang masih terjaga di ruang keluarga bergegas ke kamarnya. Ibu Jelita langsung mendekati putrinya yang meringkuk menahan sakit."Astaga, Jelita!" Ibu panik melihat putrinya yang meringis kesakitan. "Sudah berapa lama sakitnya, Nak?""Dari... dari tadi sore sudah mulai terasa, Bu," Jelita menggigit bibirnya. "Tapi tidak sesakit ini...""Ya Tuhan, kenapa tidak bilang dari tadi?" Ibu mengusap keringat di dahi Jelita. "Ayah, cepat siapkan mobil! Kita harus ke rumah sakit sekarang!""Sabar ya, Nak," Ayah bergegas mengambil kunci mobil. "Tahan sebentar."Sementara ayahnya menyiapkan mobil, ibu Jelita dengan sigap mengambil tas yang sudah disiapkan untuk keperluan melahirkan. Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel."Nak Faris," suara ibu terdengar cemas saa
Pagi itu, sekitar pukul enam, Ibu dan Ayah Jelita memutuskan untuk keluar mencari sarapan. Mereka tidak tega membangunkan Faris yang baru saja tertidur setelah semalaman menjaga Jelita.Udara pagi masih terasa sejuk ketika mereka melangkah keluar dari gedung rumah sakit. Suara kicauan burung dan deru kendaraan yang mulai memadati jalanan bercampur menjadi satu."Bu, sepertinya warung nasi uduk di depan sudah buka," Hadi menunjuk ke arah warung yang tampak ramai. Beberapa orang sudah duduk di kursi plastik, menikmati sarapan pagi mereka. "Kita beli di sana saja ya?"Ratna mengangguk setuju, merapatkan cardigan yang dipakainya untuk menghalau udara dingin. "Iya, Pak. Sekalian beli yang banyak untuk Faris juga. Kasihan dia belum makan dari semalam. Anak itu terlalu mengkhawatirkan Jelita sampai lupa makan."Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, Ratna menangkap sosok yang sangat familiar berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit. Pria itu tampak gelisah, sesekali melongok ke dalam
Di ruang inap Jelita, Pak Hadi baru saja meletakkan bungkusan berisi nasi uduk dan lauk pauknya di meja samping tempat tidur ketika Faris terbangun.Pemuda itu mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Aroma nasi uduk yang menguar membuat perutnya berbunyi pelan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak semalam."Sudah bangun, Nak?" sapa Pak Hadi ramah, memperhatikan wajah lelah Faris. "Ini Bapak bawakan sarapan. Makanlah dulu."Faris tersenyum lemah, matanya masih berat karena kurang tidur. "Terima kasih, Pak. Tapi saya tunggu Jelita bangun saja..." Tangannya masih menggenggam tangan Jelita yang tertidur pulas."Tidak usah, Nak. Makan saja duluan," Pak Hadi menepuk pundak Faris dengan kebapakan. "Jelita masih butuh istirahat. Kamu juga harus jaga kesehatan."